Mohon tunggu...
Anwar Effendi
Anwar Effendi Mohon Tunggu... Jurnalis - Mencari ujung langit

Sepi bukan berarti mati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saya Pancasila

1 Juni 2020   12:21 Diperbarui: 1 Juni 2020   12:29 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum terhapus ingatan sejumlah status di media sosial (medsos) yang menyebut diri "Saya Pancasila". Dari pejabat, selebriti, tokoh agama, aktivis organisasi hingga pegiat medsos ramai-ramai memasang status "Saya Pancasila" dilengkapi foto diri berdampingan dengan lambang Garuda Pancasila.

Kesan dan pesan yang ditangkap dari pemasang status tersebut, mereka masih menganut ideologi Pancasila. Artinya dengan memiliki status tersebut dan dipublis di media sosial, mereka berharap tidak perlu diragukan lagi sebagai pembela Pancasila.

Secara tidak langsung, para pemilik status "Saya Pancasila" melihat ada gelagat beberapa warga negara Indonesia, mulai melenceng dari ideologi Pancasila. Tidak mungkin mereka cuma spontan memasang status "Saya Pancasila" kalau tidak ada masalah yang melatarbelakanginya.

Mereka pasti punya alasan kuat, Pancasila harus dibela. Mereka punya semangat untuk mengingatkan kembali, jika ingin menjalani kehidupan di Bumi Pertiwi ini, hanya Pancasila satu-satunya yang menjadi falsafah hidup warga negara Indonesia. Yang lain tidak!

Lantas pertanyaan yang muncul, seberapa parahkah masalah yang timbul di negara ini hingga Pancasila harus ramai-ramai dibela? Adakah hal-hal yang mengkhawatirkan, hingga menimbulkan kegelisahan, minimal bagi pemilik status "Saya Pancasila".

Memang betul, saat ramai status "Saya Pancasila" bermunculan di medsos, ada friksi yang terjadi di masyarakat. Cuma kalau mau dirunut, friksi yang terjadi cuma masalah klasik. Pertentangan dua kelompok yang masing-masing pasti tidak menemukan ujung kepuasan. Ketika friksi itu mereda dengan sendirinya, tak ada lagi pembelaan terhadap Pancasila.

Tidak ada yang berteriak

Padahal pembelaan terhadap Pancasila, tidak bisa ditawar lagi harus berlangsung sepanjang masa. Sebagai dasar negara, Pancasila tetap menjadi pedoman segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, ketika sendi-sendi kehidupan itu dirusak, justru tidak ada lagi yang berteriak "Saya Pancasila".

Semua laju. Atau pura-pura tidak tahu. Mungkin juga tidak paham. Bisa juga tidak punya keberanian. Semua diam. Dalam kasus ini, Pancasila tinggal berupa hafalan. Entah Pancasila dimana ditempatkan. Mungkin cuma jadi hiasan di dinding-dinding perkantoran.

Contoh yang gampang saat ini, yakni masalah yang timbul akibat pandemi covid-19. Banyak masyarakat yang terdampak dan kehidupannya terjerembab. Saat bantuan datang, bukannya menyelesaikan masalah justru menimbulkan masalah baru. Bantuan itu tidak menyentuh secara merata.

Dari contoh kasus tadi, sudah terbayang kemana butir sila kelima Pancasila yang berbunyi "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Nilai keadilan itu seolah tersingkirkan. Justru yang terjadi, upaya yang gigih mengemukakan alasan yang tepat, mengapa bantuan cuma menyentuh sebagian. Bukannya mensegerakan bantuan yang bisa dirasakan semua masyarakat yang terdampak.

Bisa jadi karena tidak menerima keadilan itu, masyarakat yang terdampak pandemi covid-19, akan berpaling dari Pancasila sebagai pedoman hidupnya. Mereka jadi liar. Dengan memendam kekecewaan, bukan tidak mungkin mereka bisa menjadi golongan yang sulit diatur. Sulit untuk dipimpin lagi. Cenderung memberi perlawanan.

Jadi jangan heran jika ada yang memberikan penilaian, jika Pancasila hingga sekarang masih sebatas hafalan. Sangat susah untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nila-nilai Pancasila banyak menghadapi benturan kepentingnan di lapangan.

Sejatinya para Pendiri Bangsa ini sudah sangat cerdas, bagaimana menyiapkan landasan kehidupan masyarakat dengan Pancasila. Semua sudah diatur, mulai dari bagaimana kebebasan dalam menjalankan kehidupan beragama sesuai kepercayaan masing-masing, menyatukan perbedaan dari Sabang sampai Merauke, hingga adanya jaminan warga untuk mendapatkan hak dan kewajibannya.

Namun semuanya kadang cuma ada di atas kertas. Pelaksanaan di lapangan bisa jadi nol besar. Sangat sulit membuktikan adanya jaminan di bidang hukum, pendidikan, politik, agama, hingga ekonomi. Semua jadi bias dan jauh dari nilai-nilai Pancasila.

Menghadapi hal-hal seperti itu dan sebenarnya terlihat jelas serta dirasakan, anehnya tidak ada yang berteriak "Saya Pancasila". (Anwar Effendi)***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun