Ibu Lilis awalnya mengikuti anjuran tidak berjualan. Hal itu sudah dia lakoni selama seminggu. Nasi kuningnya yang sudah terkenal di Kompleks Keadilan Riung Bandung, tidak tercium lagi aromanya.
Namun memasuki minggu kedua, Ibu Lilis tampaknya tidak tahan menghentikan aktivitasnya sebagai penjual nasi kuning. Apalagi setiap hari, para pelanggannya berdatangan, sambil bertanya mengapa tidak berjualan?
Di sisi lain, dia juga perlu membantu suami, Bapak Hari yang cuma mengandalkan jualan gas melon (3kg). Tidak setiap hari ada orang yang beli gas, sementara kebutuhan sehari-hari harus dipenuhi. Akhirnya modal jualan tergerogoti untuk makan dan keperluan primer lainnya.
Terdesak uang simpanan sudah habis, modal terus berkurang, Ibu Lilis akhirnya memenuhi keinginan para pelanggannya untuk kembali jualan nasi kuning. Selain dikenal cita rasanya enak, nasi kuning Ibu Lilis dibandrol sangat murah.
![Semangat usaha Ibu Lilis patut dicontoh.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/03/30/lilis2-5e81ec33d541df56a832d272.jpg?t=o&v=770)
Keuletan Ibu Lilis dalam berusaha secara mandiri patut diacungi jempol. Dia tidak pernah mengeluh. Dalam kesederhanaannya, pantang bagi dia untuk meminta-minta. Walau usianya semakin senja, semangatnya patut dicontoh.
Seusai shalat Shubuh, dia sudah meracik adonan nasi kuning. Pukul 05.30 dia sudah mengeluarkan dasaran di depan rumahnya. Para pelanggannya yang sudah hafal, pasti langsung memesan. Biasanya ibu-ibu yang tak sempat masak, membeli nasi kuning Ibu Lilis, untuk sarapan anaknya yang mau berangkat sekolah pagi.
Ibu Lilis merasa beruntung, suaminya sering membantu mempersiapkan segala macam terkait penjualan nasi kuning. Bantuan Bapak Hari berupa menggoreng kerupuk hingga mengemasnya, menggoreng bawang hingga ikut membantu memasukan nasi pesanan pelanggan ke kantong plastik.
Durasi jualan Ibu Lilis juga tidak terlalu lama. Pukul 06.30 kadang sudah habis. Pelanggan yang datang pukul 07.00 kadang tidak kebagian. Kalaupun ada sisa, paling satu atau dua porsi saja, sedangkan pembeli kadang ada yang pesan sampai lima porsi.
"Yang belinya datang pagi-pagi semua. Jadi kalau ada yang datang agak siangan, kasihan suka tidak kebagian," ujar Ibu Lilis.
Karakter pelanggan Ibu Lilis juga macam-macam. Ada yang pesan dan menyimpan uang dulu, baru mengambil nasi kuningnya agak siangan setelah berolah raga. Ada juga, minta makan di tempat. Keruan saja Ibu Lilis harus mengeluarkan piring dan menyediakan minuman.
"Ada pelanggan namanya Galih. Dia kalau beli tidak dibawa ke rumah. Maunya minta makan di sini. Terus kalau beli, langsung dua porsi. Bilangnya enak, jadi maunya nambah terus," tutur Ibu Lilis menceritakan seorang pelanggannya.
Sebelum larangan berjualan disebarkan, tiap hari Ibu Lilis membuat nasi kuning dengan takaran 2kg. Namun setelah libur seminggu dan memulai lagi berjualan, Ibu Lilis tidak berani membuat nasi kuning dalam jumlah banyak. Dia khawatir pembelinya masih sepi, takut terkena virus corona.
"Sekarang mah, cuma membuat satu kilogram dulu. Mau tahu respons pembeli bagaimana. Keadaannya masih belum normal. Nanti kalau sudah biasa lagi, porsi jualan nasi kuningnya kembali ke semula," pungkasnya.(Anwar Effendi)***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI