Sedikit saja orang yang menyukai benda-benda lawas. Bahkan bagi sebagian orang, benda lawas dianggap sebagai rongsokan. Dibuang begitu saja, seolah tidak memiliki harga.
Berbeda dengan Dicky Harisman (52). Dia justru punya hobi mengumpulkan benda-benda lawas. Tidak hanya milik pribadi atau keluarganya yang disimpan secara puluhan tahun, tapi dia juga suka berburu benda-benda antik sampai keluar kota.
Awalnya Dicky tertarik dengan peninggalan ayahnya, berupa sempoa dan dua buah kursi kafe yang sangat jadul. Dua benda lawas itu dipasang di rumahnya dan Dicky merasa ada pemandangan yang indah. Kesannya unik dan tidak membosankan.
Dari situlah minat Dicky terhadap benda-benda lawas mulai mencul. Dia jadi senang berbelanja pernak-pernik hiasan dinding, yang diproduksi tahun 1960-70-an. Di saat yang bersamaan, dia melirik benda peninggalann lainnya yang masih tersimpan di rumah orangtua.
Hasil dari merayu orangtuanya, Dicky akhirnya menambah koleksi benda jadul berupa nampan enamel besar dan mesin jahit engkol. Sedangkan koleksi berupa setrikaan terbuat dari kuningan dan pigura lawas, didapatnya dari, Pak Hilman seniornya di kantor.
"Waktu itu saya diajak ke rumah Pak Hilman. Ternyata beliau penyuka barang-barang lawas juga. Koleksinya lebih banyak dari saya. Dari situlah saya juga mulai belajar bagaimana menata dan merawat benda-benda antik," tutur Dicky.
Silaturahmi Dicky dan Pak Hilman berlanjut. Dicky sangat antusias ketika Pak Hilman mengajak main ke rumahnya. Rupanya Pak Hilman pun membaca minat Dicky terhadap benda-benda antik. Saat itu dengan suka rela, Pak Hilman menghadiahkan Dicky berupa kapstok produksi tahun 1960-an.
Sebelum serius mengoleksi benda-benda jadul, sebenarnya Dicky sudah rajin mengumpulkan kaset dan CD Audio. Ini berkait erat dengan hobi Dicky yang senang bernyanyi. Tak heran jika dia hafal lagu-lagu baik dari penyanyi luar negeri maupun dalam negeri.
Sejak tahun 1990-an hingga 2006, itu merupakan masa Dicky rajin-rajin berburu benda antik ke sejumlah kota. Untuk wilayah Bandung, Dicky sering  menjelajahi kawasan pedagang loak (besi dan barang elektronik) di daerah Astana Anyar. Di tempat itu, kalau lagi beruntung bisa ditemui radio transistor, jam beker, gilingan kopi, TV lawas hingga piringan hitam dan barang bekas lainnya. Mereka pedagang loak yang mangkal di sana, buka sejak pagi sekira jam 06.00.
Tempat lainnya yang dikunjungi Dicky, yakni Pasar Loak Cilaki. Tidak jauh beda dengan di Astana Anyar, di Pasar Cilaki sering ditemui pedagang benda-benda antik. Transaksi jual beli pun bisa mencapai kata sepakat dengan harga damai.
"Sesekali saya hunting ke Pasar Loak Notoharjo dan Pasar Triwindu di Surakarta. Besoknya sambung ke Yogyakarta. Mencari barang di Pasar Klitikan Nithen Bantul, Pasar Klitikhan Yogya dan Pasar Sentir di kawasan Malioboro yang buka malam hari," ungkap Dicky yang tinggal di kompleks Bumi Harapan Cibiru, Bandung.
Selain Solo dan Yogya, Dicky kerap hunting ke Pasar Jatinegara Jakarta sampai ke Pasar Gembrong Surabaya. Kalau datang langsung, dia merasakan kepuasan karena bisa melihat kondisi barang sebenarnya. Walau begitu, dia harus menyediakan anggaran yang lebih besar.
Sesekali Dicky berburu benda lawas lewat online. Beberapa barang seperti radio tabung, jam dinding, lampu gambreng dan mesin ketik lawas saya pesan dari daerah Jateng dan Jatim.Hingga saat ini, koleksi yang dimiliki Dicky mencapai ratusan.
Barang antik yang dimiliki sebagian besar adalah perkakas atau peralatan rumah tangga yang biasa tersedia di dapur seperti rantang enamel, ceret, nampan, termos lawas dan toples lawas yang rata-rata sudah berusia di atas 50 tahun.
"Secara pribadi saya lebih menyukai industrial vintage seperti radio tabung, kipas angin, TV tabung, jam meja, raket tenis kayu, piala era 1950an, kaleng kue produksi tahun 1969, telefon dan barang elektronik lainnya yamg diproduksi sebelum tahun 1940 ke bawah," ujar Dicky.
Ada satu koleksi favorit Dicky, berupa jam dinding berusia tua. Barang itu bermerek Caro made in Jerman yang diproduksi tahun 1915. Merek Caro ini sudah diproduksi sejak tahun 1800-an. "Jam ini bisa dibilang koleksi saya paling mahal karena saya harus rela menjual 19 koleksi piringan hitam dari musisi Jazz era 1970an senilai 400 ribuan satu buahnya," kata Dicky.
Menurut Dicky, Merawat barang lawas atau antik susah-susah gampang. Terutama yang berbahan besi dan kuningan. Jika rumah tempat kita lembab, benda-benda ini cepat mengalami proses korosi.
Misalnya pada benda ceret yang sudah berkarat. Jika dibiarkan lama akan bertambah banyak. Kuningan akan berkarat dengan ditandai keluar warna hijau pada benda ini seperti setrika kuningan, bokor kuningan dll
Dicky mengingatkan, benda elektronik yang masih hidup seperti radio tabung, laser disc player dll sebulan sekali dipanaskan mesinnya dengan cara disetel (didengarkan). Bagi Dicky, hal itu hitung-hitung bernostalgia.
Selain benda-benda antik Dicky juga megoleksi beberapa tint toys (mobil-mobilan kaleng dll), souvenir luar negeri yang dikumpulkan dalam tempat khusus. Untuk benda-benda antik ini tentu saja banyak mengeluarkan banyak uang. Satu benda radio tabung, misalnya, harganya berkisar antara 1 juta hingga puluhan juta.
Namun karena keterbatasan dana, Dicky pun harus memutar otak. Caranya, saat hunting jika mendapatkan barang yang bagus tapi harganya tak sesuai isi dompet, Dicky buru-buru menjual sebagian barang di rumahnya. Keuntungannya ditabung dan kalau sudah terkumpul banyak, dibelikan barang yang dimaksud.
Walau barang-barang yang dikoleksi berusia tua dan kadang wujudnya aneh, namun selama ini Dicky tidak merasakan hal-hal negatif. Sebaliknya, barang yang dikoleksi memberikan aura positif. "Hidup saya serasa bahagia kalau sudah memandang barang-barang berusia tua. Itu saja," pungkas Dicky.(Anwar Effendi)***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H