Kerja di rumah, siapa takut? Banyak juga yang semangat bekerja di rumah. Mereka merasa mampu menyelesaikan semua pekerjaan kantor walau harus dikerjakan di rumah.
Bukan itu saja, kerja di rumah dianggap sebagai sesuatu momen yang berharga. Bisa punya waktu yang lebih berkumpul dengan keluarga. Di samping mendapatkan suasana baru, yang beda dengan kantor.
Tapi betulkah semua merasa nyaman bekerja di rumah? Ternyata semuanya tidak demikian. Sebagian pekerja juga mengeluhkan kebijakan physical distancing. Mereka justru mengeluh karena tidak bisa kemana-mana.
Ujung-ujungnya bukan rasa santai yang didapat. Sebaliknya, menambah stres pikiran. Seperti yang dituturkan Gandara karyawan bagian HRD sebuah perusahaan swasta. Menurutnya, justru repot kerja di rumah.
Dia mencontohkan apa yang dialaminya, terkait sarana kerja di rumah yang sangat terbatas. Berbeda dengan sarana kerja di kantor yang lebih lengkap. Hal kecil saja seperti penggunaan komputer untuk kerja. Mau tidak mau menggunakan laptop milik pribadi.
Hal yang sama diutarakan Vietha, karyawati bagian akuntansi perusahaan besar di Kota Bandung. Bagaimana pun, bagi dia lebih enak kerja di kantor. Jika ada masalah langsung bisa didiskusikan. Semua rekan kerja kumpul jadi komunikasi lebih lancar.
"Bukannya kerja di rumah, tidak bisa mendiskusikan masalah dengan rekan kerja. Tapi rasanya agak aneh saja, harus dibicarakan lewat Whats App (WA). Ruangnya sangat terbatas. Lagi pula kurang efektif," imbuhnya.
Nah yang bingung lagi dihadapi Susiyanti. Selama ini dia bertugas di bagian inkaso, yang memaksanya sering berada di luar kantor. Kalau saat ini harus tinggal di rumah, bagaimana pekerjaan bisa selesai.
"Setiap hari ada sejumlah tagihan. Lah kalau sekarang harus diam di rumah, bagaimana tagihan bisa dilaksanakan. Didatangin langsung saja, kadang orang yang ditagih agak sulit. Kalau cuma lewat telefon, mereka nanti banyak berkelitnya, katanya.
Yang sedikit lucu dihadapi Taufik Fathoni. Dia yang menjadi pucuk pimpinan di kantornya mengaku kerja di rumah justru banyak pengeluaran. Loh kenapa hal itu terjadi?
Tidak hanya pekerja yang menghadapi masalah harus tinggal di rumah. Anak sekolah yang yang harus belajar di rumah pun ada yang mengalami kesulitan. Utamanya anak sekolah dari keluarga tak mampu.
Ibu Rohmani malah mengeluhkan selama di rumah jadi tambah capek. Waktunya lebih banyak untuk beberes rumah. Ada saja ruangan yang harus dirapikan. Pas banyak di rumah, jadi tahu ada sejumlah barang yang harus diafkir.
Anak sekolah dari kalangan bawah tidak semuanya memiliki handphone (HP). Sementara tugas-tugas dari guru disampaikan lewat telefon seluler. Belum lagi tugas membuat video tentang virus corona, pastinya butuh kamera HP.
"Pasrah saja. Tinggal tunggu nanti pas masuk sekolah. Sekarang sih tidak tahu apa yang harus diperbuat. Kalaupun ada info dari teman percuma saja, soalnya saya tidak punya handphone," ujar Faisal, siswa kelas XI di SMA pinggiran Kota Bandung.(Anwar Effendi)***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H