Mohon tunggu...
Pelangi Wulan Amnirtasari
Pelangi Wulan Amnirtasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Instagram: pelangiwulan_

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Gambut Secara Berkelanjutan

23 Desember 2022   12:31 Diperbarui: 23 Desember 2022   12:36 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelangi Wulan Amnirtasari
Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara


Pendahuluan
Lahan gambut Indonesia diperkirakan mencapai 20,6 juta hektar (Suwondo et al., 2011), yaitu sekitar 10% dari luas daratan Indonesia Ratmini (2012). Lahan basah tersebar luas terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan keterbatasan lahan, lahan gambut dikonversi menjadi lahan pertanian untuk mendukung ketahanan pangan, menyediakan bahan baku untuk industri kertas, dan memenuhi kebutuhan areal perkebunan untuk pengembangan bioenergi. , telah menjadi tempat tinggal manusia. Saat ini, upaya yang paling menonjol dalam pengembangan lahan gambut adalah konversi lahan gambut menjadi perkebunan pulp dan kelapa sawit, Widyati (2011).

Lahan gambut merupakan ekosistem yang unik dari segi struktur, fungsi dan kerentanannya. Lahan gambut tergolong tanah marjinal 'rapuh' yang kurang produktif dan rentan terhadap kerusakan. Penggunaan lahan gambut yang tidak bertanggung jawab menyebabkan hilangnya salah satu sumber daya kita yang paling berharga. Hal ini dikarenakan lahan gambut tidak dapat diperbaharui (Nugraheni dan Pangaribuan, 2008). Teknik dan manajemen yang baik (Adhi dalam Ratmini 2012).

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian lahan gambut yang digunakan untuk pertanian dan perkebunan kini menjadi lahan terlantar yang tidak produktif, sedangkan lahan lainnya yang dikelola dengan baik diharapkan dapat berproduksi dan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar (Wahyunto et al., 2013).

Pengelolaan Sumber Daya Air di Lahan Gambut
Pengelolaan sumber daya air di lahan basah sangat penting. Selain menyerap C, air yang ada di lahan gambut juga berperan sebagai sumber air tawar dalam jumlah yang signifikan, mencapai 8--13 kali volume gambut itu sendiri.Air penting dalam proses pembentukan elemen kubah gambut. Drainase (tetapi tidak selalu) adalah penyebab penurunan/tenggelam. Selain itu, gambut yang telah mengalami proses pengeringan menjadi sangat rapuh dan mudah terbakar, sehingga harus sangat berhati-hati dalam pengelolaan air di lahan gambut.
Beberapa teknik pengelolaan air yang telah lama dikembangkan di lahan rawa (termasuk gambut) antara lain:
1. Sisem Parit/handil di tepi sungai; dan
2. Sistem saluran model garpu di lahan pasang surut (dikembangkan oleh Universitas Gajah Mada)
Kedua sistem ini mempunyai kelemahan yaitu aliran air yang masuk/keluar dari petakan lahan gambut (pada saat pasang dan surut/luapan) terjadi pada satu saluran, dan pada saluran ini sering terjadi pendangkalan yang diakibatkan oleh endapan lumpur sungai. Kondisi demikian menyebabkan penyumbatan saluran sehingga proses penggantian air di dalam petakan lahan tidak berlangsung sempurna, akibatnya bahan-bahan beracun dan juga senyawa asam menumpuk/terakumulasi di dalam saluran dan menyebabkan mutu air menjadi jelek. Kondisi di atas dapat diatasi dengan membuang endapat dari dalam saluran atau memisahkan saluran masuk/irigasi (inlet) dengan air keluar/drainase (outlet).

Gambar 1.

Pengelolaan Air Pada Tingkat Petakan

Sumber: Wetlands, Seri Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut (2005)
 

5d270db9-d990-4789-806e-b63655312b35-63a53acb08a8b515641d04d2.jpeg
5d270db9-d990-4789-806e-b63655312b35-63a53acb08a8b515641d04d2.jpeg

Gambar 2a. Tampak Samping Pintu Air Otomatis (Flapgate)

Gambar 2b. Tampak Depan Pintu Air Otomatis (Flapgate)
Sumber: Wetlands, Seri Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut


Teknologi Ekohidro dikatakan mampu mencegah drainase berlebihan dengan pengelolaan air berdasarkan zonasi.Pengaturan muka air tanah dilakukan melalui hydro buffer di antara tanaman pokok dan kawasan lindung. Ketinggian air diatur mendekati permukaan kawasan lindung kemudian diturunkan secara bertahap di areal hydro buffer dan disesuaikan untuk kebutuhan tanaman pokok.

Beberapa perusahaan juga mengembangkan teknologi pengelolaan air lahan basah, salah satunya adalah Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) milik PT Pangkalan Kerinci. PT RAPP telah mengembangkan Teknologi Pengelolaan Air Eco-Hydro. Eco-Hydro Technology adalah sistem pengelolaan air lahan basah yang mengatur volume dan ketinggian muka air berdasarkan zona dan kontur. "Penerapan teknologi ini akan memberikan manfaat keanekaragaman hayati, meminimalkan degradasi lahan gambut, mengurangi emisi karbon dan meminimalkan bahaya kebakaran."

ba2716e7-7694-4f69-9634-022f47753e2a-63a53b7a4addee3e3705a8b2.jpeg
ba2716e7-7694-4f69-9634-022f47753e2a-63a53b7a4addee3e3705a8b2.jpeg

Gambar 3. Pengelolaan Air Dengan Sistem Garpu
Sumber: Wetlands, Seri Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut (2005)


Untuk mengatasi kelemahan sistem tersebut, para ahli menyarankan untuk membuat saluran lain antara saluran irigasi dan saluran drainase. Ini juga dikenal sebagai "sistem aliran searah"). Pemisahan ini diharapkan dapat memperlancar pertukaran air dan mencegah penumpukan racun di saluran. Saluran satu arah ini membutuhkan dua saluran tersier, satu berfungsi sebagai saluran dan yang lainnya berfungsi sebagai saluran. Kedua saluran dilengkapi dengan kunci otomatis. . Saluran irigasi terbuka saat air pasang, tetapi drainase tetap tertutup.

Pengelolaan air serta muka air tanah pada lahan gambut sangat penting, karena selain untuk penyerapan C, keberadaan air pada lahan gambut juga berfungsi sebagai sumber air tawar dalam volume yang signifikan, yaitu mencapai 8 hingga 13 kali dari volume gambut itu sendiri. Terdapat beberapa teknologi pengelolaan air serta muka air tanah pada lahan gambut, tetapi seluruh teknologi tersebut memiliki dampak adanya penurunan permukaan tanah (subsident) yang disebabkan oleh pemadatan (consolidation) dan emisi CO2 selama lahan digunakan untuk usaha pertanian dan perkebunan.

Pengelolahan Lahan Gambut Berkelanjutan
Konsep pengelolaan berkelanjutan pada lahan gambut sebenarnya bukan merupakan istilah tepat, karena lahan gambut bersifat labil terutama karena adanya penurunan permukaan tanah (subsident) yang disebabkan oleh pemadatan (consolidation) dan emisi CO2 selama lahan digunakan untuk usaha pertanian dan perkebunan.Subsiden dapat dikurangi dengan cara mengadopsi beberapa strategi pengelolaan lahan yang benar. Namun pada akhirnya lahan gambut terutama lahan gambut tipis akan berubah menjadi lahan mineral setelah gambutnya habis terdekomposisi, dan pertanian di atas lahan tersebut menjadi terbengkalai.
Pengembangan lahan gambut secara lestari dan berwawasan lingkungan dapat terwujud apabila pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana dan dikelola serasi dengan karakteristik, dan sifat lahan gambut didukung oleh pembangunan prasarana fisik (terutama tata air), sarana, pembinaan sumberdaya manusia dan penerapan teknologi spesifik lokasi (Mario, 2002 dalam wahyunto et al. 2013). Gambut tipis <1m diarahkan untuk tanaman pangan/semusim, gambut sedang (1-3 m) untuk tanaman tahunan (hortikultura dan perkebunan) dan gambut tebal (>3 meter) harus dijadikan kawasan konservasi untuk menjaga kestabilan ekosistem Daerah Aliran Sungai. Selain dari pertimbangan teknis, pertimbangan dalam pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan sub-optimal, terutama untuk perkebunan besar, adalah: lahan gambut tersedia dalam hamparan yang luas dan relatif jarang penduduknya, sehingga secara ekonomi sangat layak dan konflik tata guna lahan relatif kecil.
Pemanfaatan lahan gambut menimbulkan dampak positif dan negatif, yaitu memberikan keuntungan ekonomi, tetapi di sisi lain menimbulkan kerusakan lingkungan berupa penyusutan keaneka ragaman hayati, kerusakan tata air, dan peningkatan emisi CO2 yang ikut berperan menimbulkan pemanasan global. Agar pengelolaan lahan gambut lebih berhasil, maka selain mempertimbangkan aspek teknis sebaiknya juga mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, Wahyunto et al. (2013).
Menurut penulis, pengelolaan lahan gambut saat ini lebih mengutamakan kepentingan perekonomian dari segelintir penduduk yang menjadi pengusaha. Sedangkan Masyarakat setempat umumnya hanya dapat menjadi pekerja dengan level menagerial ke bawah. Masyarakat kemudian secara turun temurun hanya menjadi buruh pekerja dan tidak ikut menjadi pemilik hak pengolahan lahan.Kondisi ini sering menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi penduduk asli yang secara status hukum tidak memiliki lahan di tanah nenek moyangnya dan hanya menjadi buruh kontrak.Bahkan banyak juga yang pada awalnya mereka memiliki hak garap lahan tersebut tetapi kemudian diakuisisi oleh perusahan yang memiliki kekuatan kapital dan pengorganisasian yang lebih baik.Hal ini tidak sesuai dengan prinsip pro ekonomi kesejahteraan dan pro keadilan sosial
Dari aspek lingkungan, pengelolaan lahan gambut harus dilakukan secara terencana dan penuh kehati-hatian agar mutu dan kelestarian sumber daya lahan dan lingkungannya dapat dipertahankan secara berkesinambungan.Kegiatan pengelolaan lahan gambut seharusnya dilakukan pada lahan gambut yang telah mengalami kerusakan tetapi memiliki potensi pemanfaatan yang tinggi dengan batas kedalaman tidak lebih dari 1 meter.Kegiatan dengan membuka lahan baru, apalagi masih berhutan harus dilarang. Karena sebaik apapun sistem yang digunakan akan tetap menimbulkan kerusakan pada lahan gambut tersebut.
Penulis berpendapat pengelolaan lahan gambut sebaiknya melibatkan penduduk setempat dimana penduduk setempat ikut memiliki hak pengelolaan lahan gambut tersebut (dengan luasan yang cukup untuk memberikan penghasiltan yang baik) sebagai mitra dibawah Perusahaan Inti yang akan mengelola perkebunan dan industri pengolahan hasil kebun tersebut. Perusahaan inti berkewajiban membangun infrastruktur pendukung yang lebih ramah lingkungan, meningkatkan kapasitas masyarakat didalam mengelola kebunnya, membeli hasil kebun dengan harga yang wajar, serta menyediakan fasilitas penunjang lainnya, seperti fasilitas sosial dan fasilitas umum. Memberikan pengetahuan bagi penduduk sekitar tentang pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan agar usaha mereka dapat sinambung hingga generasi yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009. Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Bulletin Tata Ruang PU.
Edisi Januari -- Februari 2009.
Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra. 2005. Panduan pengelolaan
lahan gambut untukpertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International -- Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.
Nugraheni, E., Pangaribuan, N. (2008). Pengelolaan Lahan Pertanian Gambut secara
Berkelanjutan.
Universitas Terbuka, Tangerang Selatan, Universitas Pajajaran Bandung.Setiyo Bardono (2014). Teknologi Ekohidro untuk Mencegah Kebakaran Hutan.
Ratmini, S. 2012. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan
Pertanian.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPPT) Sumatera Selatan.
Wetlands. 2005. Sistem Pengelolaan Tata Air di Lahan Gambut untuk Mendukung Budidaya
Pertanian.Seri Pengelolaan Hutan dan Lahan gambut.
Widyati, E. 2011. Kajian Optimalisasi Pengelolaan Lahan Gambut dan Isu Perubahan
Iklim.Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun