Pendahuluan
Perkembangan teknologi mutakhir yang diusahakan dari masa ke masa (selama empat periode revolusi industry), telah membawa banyak perkembangan yang signifikan. Dalam hal ini, teknologi digital telah membuka ‘ruang’ berbasis Cyber yang memungkinkan konektivitas antara manusia yang satu dan manusia yang lain dalam lajur jangkauan yang sangat luas. Sejalan dengan itu, dengan paradigma yang dibangun dalam sistem Cyber tingkat aksebilitas semakin tinggi dan membuka peluang yang besar bagi masyarakat untuk menyatakan partisipasinya dalam kancah politik. Di sisi lain, ruang siber seolah-olah membuka kembali selubung ‘kebebasaan’ asali manusia; kebebasan ‘seolah-olah’ diradikalisasikan, akibat dari sistem Cyber yang tidak menjamin ‘adanya’ kerangka norma, tidak ada batasan dalam ruang (spatio) dan waktu (tempus), sehingga ruang siber tidak dapat menjamin adanya partisipasi politik yang benar-benar menceriminkan citra res publika dan demokratis.
Berhubungan dengan itu, Indonesia pernah menggelar gerakan politik ‘maya’ dan solidarisasi sosial, sebagaimana nyata dalam gerakan Satu Juta Facebookers untuk mendukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Selain itu, muncul aktivisme online kelas menengah mengangkat masalah korupsi sebagai isu penting yang harus diatasi; melalui media sosial, “Gerakan 1 Juta Pendukung KPK” bertujuan untuk mendobrak kemapanan Korupsi dan berbagai bentuk kriminalisasi lain (Jati, 2016: 34). Kedua gerakan ini menjadi parameter sederhana, bahwa ruang siber dapat menjadi locus berpolitik di era sekarang dan kita adalah aktor dalam ruang siber yang disebut sebagai ‘warganet’ dan oleh Hardiman sebagai disebut sebagai homo digitalis.
Namun, ‘ruang siber’ di Indonesia juga pernah menjadi ruang kompetesi ‘tidak sehat’ yang mencakupi semua bentuk ujaran kebencian (hate speech) dan pembeberan kebohongan, serta penggiringan opini secara massa yang membajak kemapanan sistem demokrasi. Budi Hardiman dalam karyanya telah meramal secara komprehensif dampak-dampaknya. Ia mengemukakan bahwa, homo digitalis yang notabene terikat dalam sistem Cyber dengan segala tawarannya membuka ‘kebebasan’ sekaligus ‘brutalitas’ (Hardiman 2021). Mengikuti pembahasan Hardiman, konteks ‘brutalitas’ dalam Cyberspace dapat ditemui dalam konteks berdigital setiap hari. Akhirnya, kebebasan berkelindan dengan kekuasaan, kepentingan personal berkelindan dengan partisipasi politik dan menjadi cara pandang baru bagi masyarakat. di sinilah letak terjadinya pergeseran paradigma berpikir mengenai dengan makna ‘partisipasi politik’.
Ada sebuah penelitian yang relevan dengan konteks pembahasan dalam tulisan ini. Sebagaimana, Wasisto Raharjo Jati, dalam artikelnya yang berjudul: ‘Cyberspace’ Internet, Dan Ruang Publik Baru: Aktivisme ‘Online’ Politik Kelas Menengah Indonesia. membahas tentang Cyberspace sebagai ruang publik baru bagi kelas menengah Indonesia. Ia kemudian tiba pada kesimpulan bahwa, ruang siber membuka arena ruang publik baru bagi masyarakat kelas menengah dalam mengejawantahkan nilai-nilai luhur demokrasi; di dalamnya, dijamin deliberasi yang meliputi voluntarisme, egalitarian dan partisipatorisme (Jati, 2016:25-35).
Berdasarkan latar belakang persoalan dan hasil tinjauan literatur, tulisan ini membahas tentang partisipasi politik dalam ruang siber dan bagaimana dampak-dampaknya bagi kemapanan politik. Sebagai elaborasi, tulisan ini menampilkan kritik republikanisme terhadap model partisipasi politik dalam Cyberspace. Kritik etika republikanisme terhadap model partisipasi politik dalam ruang siber (paradigma dan persoalan yang disebabkan olehnya) bertujuan untuk menjadikan ruang siber sebagai locus berpolitik baru yang benar-benar demokratis.
Tulisan ini sangat relevan dalam konteks sekarang, secara khusus dalam upaya memahami model-model partisipasi politik yang benar-benar demokratis. Selain itu, tulisan ini juga mengangkat tema-tema yang aktual dan kontekstual, berhubung kita akan memasuki fase Pilkada 2024, yang tentunya tidak luput dari persoalan-persoalan tersebut.
Paradigma Ruang Siber (Cyberspace)
Ruang Siber (Cyberspace) adalah bukti nyata pergeseran dari realitas fisik ke realitas virtual. Ruang siber dimediasi oleh teknologi digital untuk mengkonstruksikan ‘ruang baru’ yang dapat diakses oleh setiap orang (pengguna teknologi). Institusi Ruang Siber yang menjamin kelangsungan konstruk ruang ‘baru’ adalah ‘jaringan’ internet itu sendiri. Istilah ruang siber ini dipopulerkan oleh William Gibson, dalam novelnya yang berjudul Neuromancer pada tahun 1984 dan terdiri dari dua kata, yakni Cybernetics dan space. Menurut Stefan Fenz, sebagaimana dikutib oleh Jery Indrawan, ruang siber adalah sebuah metafora untuk menjelaskan wilayah atau medan yang tidak ada secara nyata dan yang diciptakan oleh sistem komputer (Indrawan 2019). Betapapun, Fenz menekankan bahwa, Cyberspace ‘hanyalah’ sebuah metafor, namun dalam konteks ‘hari ini’, Cyberspace benar-benar menjadi ‘ruang baru’, ruang hunian bagi komunitas maya (cybercommunity). Dengan pemahaman seperti ini, manusia dapat diklasifikasikan kedalam dua komunitas: komunitas negara yang metafor pemersatu adalah imajinasi kebangsaan (nation) dan komunitas maya yang metafor pemersatunya adalah imajinasi maya atau yang didefinisikan oleh Jean Baudliard dengan sebutan ‘hiper reality’ atau realitas lain (Saumantri & Zikrillah, 2020:252). Asumsi ini bertolak dari kenyataan, bagaimana terjadinya perubahan paradigma berpikir; dari realitas fisik ke realitas virtual, dari bentuk komunikasi corporeal menjadi incorporeal dan sebagainya. Selain itu, asumsi ini juga bertolak dari makna perubahan evolusioner manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Rafael Capuro yang kemudian dielaborasi oleh Hardiman; pergeseran dari homo sapiens ke homo digitalis. Dengan demikian, apakah layak kita menerima terminologi ini (Cyberspace) secara metaforik, ataukah secara literal, lantaran pikiran (mindset) kita telah ‘dicuri’ oleh sistem tersebut dan kita telah menjadi anggota warganet?
Bertolak dari pertanyaan tersebut, ada beberapa paradigma berpikir dalam ruang siber yang menggambarkan pergeseran paradigma tentang fungsi dan kedudukan Cyberspace: pertama, ruang siber sebagai ‘ruang kebebasan dan aksebilitas’. Sebagaimana, telah dijelaskan pada bagian introduksi, ruang siber adalah ‘ruang’ yang di dalamnya, tidak ada batas antara ruang (secara fisik) dan waktu; ruang siber adalah juga merupakan ‘ruang’ yang di dalamnya, tidak ada hukum yang berlaku secara konvensional. Artinya, orang dapat mengakses internet untuk tujuan apa saja (Internet of Things), di mana saja dan kapan saja tanpa diatur dan dikontrol oleh hukum. Memang, setiap pengguna (user), terikat dengan kebijakan-kebijakan dalam ruang siber (Cyberpolicy), namun kebijakan itu lebih bersifat (teknis penggunaan) dan tidak bisa membatasi manusia untuk mengakses informasi secara lebih luas.
Kedua, paradigma ‘konektivitas dan semua untuk semua’. Ruang Siber diciptakan untuk menghubungkan manusia yang satu dan manusia yanga lain. Dalam horizon yang sama, ruang Siber berupaya untuk menghubungkan manusia secara massa, tak terbatas dan sedapat mungkin bagi sebanyak mungkin orang. Informasi-informasi diproduksi dan direproduksi dalam ruang Siber bertujuan untuk menjangkiti sebanyak mungkin orang. Karena itu, jika kebahagiaan dapat diukur dengan trend ‘menggunakan piranti digital’ (Ruang Siber), maka paham utilitarian: the greatest happy for the greatest number menjadi relevan. Dalam hubungan dengan itu (konektivitas), ruang siber juga adalah ruang gema (echo chamber) dan digemakan oleh para buzzer untuk menjangkiti sebanyak mungkin orang dalam ruang tersebut.
Ketiga, paradigma peleburan. Tidak dapat disangkal bahwa, ruang siber adalah ruang di mana, fakta dan opini, kebohongan dan kebenaran, yang privat dan publik, kontek-konten dewasa dan konten anak-anak melebur bersama dan menjadi ruang yang indiferen; saya tidak peduli apakah itu fakta atau opini, apakah itu sifatnya privat atau publik apakah itu adalah konten anak-anak atau orang dewasa, yang terpenting adalah itu kebebasan saya untuk mengakses atau mengkonsumsi. Ini sejalan dengan Borgman, Teknologi Informasi bukan hanya sibuk menampilkan citra tontonan tetapi juga meleburkan antara fakta dan fiksi (Hardiman, 2010: 342)
Model-Model “Partisipasi Politik” dan Problematikanya dalam Ruang Siber
Pada dasarnya, partisipasi politik merupakan upaya melibatkan diri dalam isu-isu dan kegiatan-kegiatan politik negara. Karena itu, partisipasi politik bukan milik segelintir orang, atau para aktor politik (politisi) semata, melainkan menjadi hak dan kewajiban setiap orang sebagai warga negara. Hal ini sejalan dengan pemahaman Herbert McClosky, sebagaimana dikutib oleh Miriam Budiardjo:
Partisipasi politik kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum (Miriam Budiardjo, 2013:367).
Meskipun, partisipasi politik yang lazim dikenal adalah partisipasi elektoral (memberikan suara untuk memilih pemimpin), namun dalam kenyataanya, partisipasi politik mencakup sikap, perilaku dan tanggapan masyarakat terhadap isu-isu publik. Ada beberapa model partisipasi politik dalam Ruang Siber. Pertama, aktivisme online. Ini sering digencari oleh aktivis-aktivis muda untuk melancarkan demonstrasi sebagai upaya mengajukan aspirasi bagi para pemerintah dan pihak yang berkecimpung dalam membuat kebijakan-kebijakan publik. Melalui, bantuan kekuatan Siber, orang dapat membuat demonstrasi ‘sederhana’ tanpa ‘turun langsung ke lapangan, melalui video-video dan poster-poster yang dapat diakses dan dibuat dalam platform-platform digital.
Kedua, E-Demoracy. Ini merupakan bentuk partisipasi politik yang paling umum terjadi di kalangan masyarakat umum, di kalangan akademisi dan aktor-aktor politik itu sendri. Melalui platform digital, seperti Browser dan lain sebagainya menyediakan bentuk komunikasi secara real time, orang dapat berdiskusi dengan sesamanya yang diperantarai oleh media seperti Zoom Meting, dan lain sebagainya. Yang menarik dalam model partisipasi ini, orang (entah ia aktor politik, pedagang, budak atau semata pencinta politik) dapat duduk di Cafe, tempat-tempat ‘tongkrongan’, atau di ruang-ruang seminar bahkan di kamar pribadi untuk berdiskusi tentang permasalahan-permasalahan politik dan berusaha untuk mencari jalan keluar. Ini sejalan dengan pemahaman Hannah Arend tentang partisipasi dalam ruang publik (Offentlichkeit). Menurut Arend, solidarisasi atau partisipasi masyarakat disebut sebagai ‘kekuasaan’ dan locus kekuasaan bukanlah semata berada di meja-meja kerja para birokrat ataupun di kantor-kantor, melainkan dalam forum-forum inisiatif atau gerakan warga negara yang peduli dengan kepentingan publik (Hardiman, 2010:188). Dari dua model ‘partisipasi politik’ dalam ruang siber dapat disimpulkan bahwa, di dalamnya dapat terjadi proses komunikasi, dialog dan deliberasi publik untuk menetukan arah kebijakan publik secara lebih luas dan menyeluruh.
Betapapun demikian halnya, ruang siber dapat menjadi tempat komunikasi dan deliberasi politik secara lebih luas, namun problematika tetap ada dan mengiringi ziarah menuju locus berpolitik baru. Ruang siber, sebagaimana diuraikan, merupakan ruang yang ‘tidak terdefinisikan’ atau indiferen dan tidak dapat diklasifikasikan kedalam wilayah privat atau wilayah publik. Sedangkan, konteks partisipasi politik adalah konsep ruang publik, di mana setiap orang yang masuk kedalamnya harus melepas semua atribut-atribut privat. Benturan pemahaman konseptual ini sebenarnya menjadi persoalan yang pertama dan utama dalam konteks bahasan mengenai partisipasi politik di ruang siber. Lebih lanjut, Gibson memandang ruang siber sebagai “kerangkeng tak berhingga”; di dalamnya kita mengembara dalam ruang yang tidak diketahui ujung dan pangkalnya (Hardiman, 2010:337). Selain itu, Herry Priyono, dalam subbab karyanya, menjelaskan keragaman ruang publik dengan berbagai labirin definisi yang sama sekali mengambang (Hardiman, 2010:372). Dua pemahaman tersebut (Gibson dan Priyono) hendak menunjukkan bahwa, ruang siber benar-benar ruang yang indiferen, di dalamnya kita tidak peduli dan tidak berusaha untuk memahami apakah ia termasuk dalam wilayah privat atau publik (sebab yang privat dan publik sama-sama berseliweran di ruang tersebut), lantaran kita menerimanya (tanpa protes dan kritik) sebagai yang terberi (taken for granted).
Ketakterdifinisikan ruang siber ini menjadi lonjakan munculnya persoalan-persoalan baru yang lebih kompleks dan tentunya merongrong sistem demokrasi itu sendiri. Kebebasan dan aksebilitas memungkinkan seseorang, bukan hanya berdemokrasi secara adil melalui internet, melainkan melakukan rekayasa bebas atas suatu informasi. Munculnya, media Tik-Tok, Youtbe, Facebook, Instagram, Twitter dan lain sebagainya memungkinkan pencitraan, rekayasa publik. Sebagai sebuah contoh sederhana, pada PEMILU 2024, para pendukung Prabowo-Gibran menyebarkan hasil editan dan rekayasa visual yang ‘sempat’ booming di media Tik-Tok untuk menjatuhkan Rival politik lain (Anies Baswedan). Dukungan dan kampanye tidak sehat serta berbagai upaya untuk menjatuhkan lawan politik menjadi bentuk partisipasi politik masyarakat era kini yang membajak demokrasi. Isu yang booming di-share berulangkali dan bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dari massa; sebagai tanggapan massa, entah bersifat sentimen atau membangun, di-share, dan di-share terus menerus. Kondisi ini didefinisikan oleh Hardiman sebagai kebenaran performatif (Hardiman, 2021:54).
Kedua, benturan antara yang privat dan yang publik. Masuknya kekuasaan-kekuasaan privat dan absolut secara ‘telanjang’ seperti agama, ras, budaya, suku dan golongan mudah dipolitisasi oleh para buzzer politik dalam ruang siber (echo chamber) untuk menggerek elektabilitas seseorang. Hal ini menyebabkan massa terpolarisasi, membentuk kubu dan sub-kubu untuk saling menyerang di media sosial.
Kritik Etika Republikanisme dan Locus Baru dalam Berpolitik
Dalam menanggapi persoalan sepintas, paham republikanisme muncul sebagai kritik untuk mengekang semua persoalan-persoalan tersebut. Memang, republikanisme telah berakar dalam peradaban filsafat Yunani Kuno yang sering digaungkan oleh Aristoteles yang membagi realitas atas res publica dan res private. Namun, pergeseran makna ini menjadi bentuk ‘republik’ baru muncul pada era Cicero (Robert, 2021:36). Aristoteles, dalam gaung republiknya mengidealkan ‘seseorang’ yang harus melampaui semua warga negara lain secara individu dan massa dalam hal keuanggulan, sehingga ia akan menjadi penguasa (Copleston, 2020:184).
Sebagai kritik terhadap ‘republik’ Aristoteles, yang memungkinkan tirani kekuasaan (Aristokrasi), Cicero menekankan suatu kondisi politik yang benar-benar adil dan seimbang di mana warga masyarakat juga mempunyai keutamaan-keuatamaan (virtue). Diskursus republikanisme berkembang sepanjang sejarah peradaban politik dan dielaborasi lebih lanjut oleh Niccolo Machiavelli, James Harrington, Jean Jacques Rousseau dan James Madison. Dari hasil elaborasi pemikiran, pada intinya, republikanisme menekankan: partsispasi publik, kebebasan diartikan ‘sama’ dengan keterlibatan dan partisipasi, patriotisme, menekankan kehendak umum (volunteer generale), dan menekankan pentingnya institusi hukum (Robert, 2021:52). Setelah itu, republikanisme dikembangkan oleh Hannah Arend dan Phillip Pettit yang bertujuan untuk memberikan kemapamanan pemerintahan modern yang bebas dari absoluditas.(Robert, 2021:81).
Republikanisme mengkritik model-model partisipasi politik berbasis Siber atau yang terjadi dalam ruang siber atas beberapa bagian penting. Pertama, kebebasan dan partisipasi politik dalam ruang siber. Etika republikanisme menekankan kebebasaan sebagai bagian yang tidak dipahami dalam konteks kebebasan radikal sebagaimana yang dipraktikan para politisi dalam ruang siber, kebebasan individual dan kesewenang-wenangan untuk merekayasa dan menggiring opini massa, demi terlaksananya segala preferensi individual. Paradigm kebebasan yang direkonstruksikan dalam ruang siber sebagai kebebasan individu sangat bertentangan dengan kebebasan yang diidealkan oleh republik. Karena itu, republikanisme mengkritik bentuk kebebasan individual dan kebebasan radikal yang dan menganut kebebasan positif (freedom for), yakni upaya membebaskan diri dari kebebasan individual yang rentan dan kontras dengan kehendak umum. Dengan demikian, jika mengikuti pembahasan Arend, bahwa kebebasan selalu berdampingan dengan politik, maka praktik kebebasan berpolitik dalam ruang siber harus benar-benar menunjang politik (sesuai dengan kehendak umum), bukan malah sebaliknya (Ranubaya et al., 2023:133). Maka, secara praktis, republikanisme menentang bentuk-bentuk partisipasi politik dalam ruang siber, yang bertujuan untuk mengejar followers atau mengejar jam tayang dan preferensi individual lainnya.
Kedua, kritik republikanisme atas ketidakadanya norma sebagai pengontrol bagi pengguna dan partisipan politik di ruang siber. Dengan adanya tatanan ruang, menuntut pula tatanan individu yang tergabung di dalamnya; sebagaimana yang telah dijelaskan, ruang siber adalah ‘negara’, dan penggunanya adalah bagian dari komunitas tersebut (cybercomunity), maka dibutuhkan kerangka norma, aturan dan hukum untuk mendisiplinkan ‘warga negara digital’ (digital citizenship). Walaupun ini terlalu berlebihan untuk disebut negara imajiner dan memungkinkan delusi ruang publik, namun kerangka norma sangat penting. Diskursus tentang pentingnya hukum dalam republik dimulai oleh Aristoteles (Robert, 2021:79). Selain itu, republic Imannuel Kant mengungkapkan bahwa pentingnya institusi hukum, sebagai basis politik bagi ruang publik dan ia sebut institusi tersebut sebagai hukum publik (Hardiman, 2010:93). Jika tidak ada hokum layaaklah kita membayangkan kembali model state of nature, imajinasi Hobbes.
Ketiga, kritik republikanisme terntang benturan preferensi individual terhadap preferensi publik. Republikanisme menghendaki patriotisme (bukan dalam artian militer, mati karena korban perang dan sebagainya). Republikanisme menghendaki patriotisme dalam artian, setiap orang dapat mengorbankan preferensi individual, segala bentuk kebebasan individualnya untuk membangun komitmen bersama dalam mencapai kehendak umum dalam polis. Permasalahan dalam ruang siber yang muncul dalam bentuk isu SARA, sebenarnya menampilkan kondisi masyarakat yang mengabaikan patriotisme.
Dari ketiga kritik yang secara eksplisit benar-benar membekas dalam sejarah diskursus tentang republikanisme ini, dapat ditemukan bahwa, republikanisme benar-benar menghendaki ruang siber sebagai locus berpolitik baru dalam menciptakan komunikasi publik, deliberasi publik dan partisipasi public secara ‘sehat’ dan demokratis. Sehingga, dari paradigma ruang siber yang cenderung imajiner bukan hanya menciptakan ‘ruang-ruang’ maya, tetapi dari paradigm ruang maya, dapat menghasilkan individu-individu yang benar-benar berpartisipasi dalam politik kebangsaan dan benar-benar diikat oleh imajinasi kebangsaan (nation).
Kesimpulan
Persoalan antara ruang privat dan ruang publik, antara partisipasi politik dan sikap acuh tak acuh, di era digital sangat kental. Masuknya ruang siber dalam politik dan kebangsaan, mengubah cara pandang masyarakat tentang makna partisipasi politik, baik dari segi metode dan tata cara, dari segi motif dan tujuan dan lain sebagainya. Jangan sampai ruang siber menjadi bangkai inkubasi meluasnya praktik-praktik politik yang tidak sehat dan tidak demokratis. Kritik republikanisme bertujuan untuk merestorasi sistem dan bangunan demokrasi yang di era digital, telah berubah menjadi ruang sentimen dan ruang-ruang pembajak politik kebangsaan. Oleh karena itu, melalui ruang siber yang berparadigma republik, hendaknya ruang siber dijadikan sebagai locus berpolitik yang bertujuan untuk memediasi partisipasi masyarakat di era modern dalam konteks persoalan kebangsaan. Melihat persoalan demikian yang sangat urgen, maka direkomendasikan penilitian-penelitian terbaru dari berbagai disiplin ilmu untuk membedah persoalan Cyberspace yang tidak sempat dicatat dalam karangan ini.
Daftar Pustaka
Copleston, Frederick. 2020. Filsafat Aristoteles. Edited by Ama Achmad. Translated by Attolah Renanda Yafi. Yogyakarta: BasaBasi.
Hardiman, F. Budi, ed. 2010. Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis Dari Polis Sampai Cyberspace. Yogyakarta: PT Kanisius.
———. 2021. Aku Klik Maka Aku Ada Manusia Dalam Revolusi Digital. Yogyakarta: PT Kanisius.
Indrawan, Jerry. 2019. “Cyberpolitics Sebagai Perspektif Baru Memahami Politik Di Era Siber [Cyberpolitics as A New Perspective in Understanding Politics in The Cyber Era].” Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional 10 (1): 1–16. https://doi.org/10.22212/jp.v10i1.1315.
Jati, Wasisto Raharjo. 2016. “Cyberspace, Internet, Dan Ruang Publik Baru: Aktivisme Online Politik Kelas Menengah Indonesia.” Jurnal Pemikiran Sosiologi 3 (1): 25. https://doi.org/10.22146/jps.v3i1.23524.
Miriam Budiardjo. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ranubaya, Fransesco Agnes, Nikodemus, and Yohanes Endi. 2023. “Kebebasan Politik Menurut Hannah Arendt Dan Relevansinya Bagi Masyarakat Indonesia.” Politeia: Jurnal Ilmu Politik 15 (2). https://doi.org/10.32734/politeia.v15i2.10206.
Robert, Robertus. 2021. Republikanisme Filsafat Politik Untuk Indonesia. Tangerang Selatan: Marjin Kiri, International Alliance of Independent Publishers.
Saumantri, Theguh, and Abdu Zikrillah. 2020. “Teori Simulacra Jean Baudrillard Dalam Dunia Komunikasi Media Massa.” ORASI: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi 11 (2): 247. https://doi.org/10.24235/orasi.v11i2.7177.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H