Ketiga, paradigma peleburan. Tidak dapat disangkal bahwa, ruang siber adalah ruang di mana, fakta dan opini, kebohongan dan kebenaran, yang privat dan publik, kontek-konten dewasa dan konten anak-anak melebur bersama dan menjadi ruang yang indiferen; saya tidak peduli apakah itu fakta atau opini, apakah itu sifatnya privat atau publik apakah itu adalah konten anak-anak atau orang dewasa, yang terpenting adalah itu kebebasan saya untuk mengakses atau mengkonsumsi. Ini sejalan dengan Borgman, Teknologi Informasi bukan hanya sibuk menampilkan citra tontonan tetapi juga meleburkan antara fakta dan fiksi (Hardiman, 2010: 342)
Model-Model “Partisipasi Politik” dan Problematikanya dalam Ruang Siber
Pada dasarnya, partisipasi politik merupakan upaya melibatkan diri dalam isu-isu dan kegiatan-kegiatan politik negara. Karena itu, partisipasi politik bukan milik segelintir orang, atau para aktor politik (politisi) semata, melainkan menjadi hak dan kewajiban setiap orang sebagai warga negara. Hal ini sejalan dengan pemahaman Herbert McClosky, sebagaimana dikutib oleh Miriam Budiardjo:
Partisipasi politik kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum (Miriam Budiardjo, 2013:367).
Meskipun, partisipasi politik yang lazim dikenal adalah partisipasi elektoral (memberikan suara untuk memilih pemimpin), namun dalam kenyataanya, partisipasi politik mencakup sikap, perilaku dan tanggapan masyarakat terhadap isu-isu publik. Ada beberapa model partisipasi politik dalam Ruang Siber. Pertama, aktivisme online. Ini sering digencari oleh aktivis-aktivis muda untuk melancarkan demonstrasi sebagai upaya mengajukan aspirasi bagi para pemerintah dan pihak yang berkecimpung dalam membuat kebijakan-kebijakan publik. Melalui, bantuan kekuatan Siber, orang dapat membuat demonstrasi ‘sederhana’ tanpa ‘turun langsung ke lapangan, melalui video-video dan poster-poster yang dapat diakses dan dibuat dalam platform-platform digital.
Kedua, E-Demoracy. Ini merupakan bentuk partisipasi politik yang paling umum terjadi di kalangan masyarakat umum, di kalangan akademisi dan aktor-aktor politik itu sendri. Melalui platform digital, seperti Browser dan lain sebagainya menyediakan bentuk komunikasi secara real time, orang dapat berdiskusi dengan sesamanya yang diperantarai oleh media seperti Zoom Meting, dan lain sebagainya. Yang menarik dalam model partisipasi ini, orang (entah ia aktor politik, pedagang, budak atau semata pencinta politik) dapat duduk di Cafe, tempat-tempat ‘tongkrongan’, atau di ruang-ruang seminar bahkan di kamar pribadi untuk berdiskusi tentang permasalahan-permasalahan politik dan berusaha untuk mencari jalan keluar. Ini sejalan dengan pemahaman Hannah Arend tentang partisipasi dalam ruang publik (Offentlichkeit). Menurut Arend, solidarisasi atau partisipasi masyarakat disebut sebagai ‘kekuasaan’ dan locus kekuasaan bukanlah semata berada di meja-meja kerja para birokrat ataupun di kantor-kantor, melainkan dalam forum-forum inisiatif atau gerakan warga negara yang peduli dengan kepentingan publik (Hardiman, 2010:188). Dari dua model ‘partisipasi politik’ dalam ruang siber dapat disimpulkan bahwa, di dalamnya dapat terjadi proses komunikasi, dialog dan deliberasi publik untuk menetukan arah kebijakan publik secara lebih luas dan menyeluruh.
Betapapun demikian halnya, ruang siber dapat menjadi tempat komunikasi dan deliberasi politik secara lebih luas, namun problematika tetap ada dan mengiringi ziarah menuju locus berpolitik baru. Ruang siber, sebagaimana diuraikan, merupakan ruang yang ‘tidak terdefinisikan’ atau indiferen dan tidak dapat diklasifikasikan kedalam wilayah privat atau wilayah publik. Sedangkan, konteks partisipasi politik adalah konsep ruang publik, di mana setiap orang yang masuk kedalamnya harus melepas semua atribut-atribut privat. Benturan pemahaman konseptual ini sebenarnya menjadi persoalan yang pertama dan utama dalam konteks bahasan mengenai partisipasi politik di ruang siber. Lebih lanjut, Gibson memandang ruang siber sebagai “kerangkeng tak berhingga”; di dalamnya kita mengembara dalam ruang yang tidak diketahui ujung dan pangkalnya (Hardiman, 2010:337). Selain itu, Herry Priyono, dalam subbab karyanya, menjelaskan keragaman ruang publik dengan berbagai labirin definisi yang sama sekali mengambang (Hardiman, 2010:372). Dua pemahaman tersebut (Gibson dan Priyono) hendak menunjukkan bahwa, ruang siber benar-benar ruang yang indiferen, di dalamnya kita tidak peduli dan tidak berusaha untuk memahami apakah ia termasuk dalam wilayah privat atau publik (sebab yang privat dan publik sama-sama berseliweran di ruang tersebut), lantaran kita menerimanya (tanpa protes dan kritik) sebagai yang terberi (taken for granted).
Ketakterdifinisikan ruang siber ini menjadi lonjakan munculnya persoalan-persoalan baru yang lebih kompleks dan tentunya merongrong sistem demokrasi itu sendiri. Kebebasan dan aksebilitas memungkinkan seseorang, bukan hanya berdemokrasi secara adil melalui internet, melainkan melakukan rekayasa bebas atas suatu informasi. Munculnya, media Tik-Tok, Youtbe, Facebook, Instagram, Twitter dan lain sebagainya memungkinkan pencitraan, rekayasa publik. Sebagai sebuah contoh sederhana, pada PEMILU 2024, para pendukung Prabowo-Gibran menyebarkan hasil editan dan rekayasa visual yang ‘sempat’ booming di media Tik-Tok untuk menjatuhkan Rival politik lain (Anies Baswedan). Dukungan dan kampanye tidak sehat serta berbagai upaya untuk menjatuhkan lawan politik menjadi bentuk partisipasi politik masyarakat era kini yang membajak demokrasi. Isu yang booming di-share berulangkali dan bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dari massa; sebagai tanggapan massa, entah bersifat sentimen atau membangun, di-share, dan di-share terus menerus. Kondisi ini didefinisikan oleh Hardiman sebagai kebenaran performatif (Hardiman, 2021:54).
Kedua, benturan antara yang privat dan yang publik. Masuknya kekuasaan-kekuasaan privat dan absolut secara ‘telanjang’ seperti agama, ras, budaya, suku dan golongan mudah dipolitisasi oleh para buzzer politik dalam ruang siber (echo chamber) untuk menggerek elektabilitas seseorang. Hal ini menyebabkan massa terpolarisasi, membentuk kubu dan sub-kubu untuk saling menyerang di media sosial.
Kritik Etika Republikanisme dan Locus Baru dalam Berpolitik
Dalam menanggapi persoalan sepintas, paham republikanisme muncul sebagai kritik untuk mengekang semua persoalan-persoalan tersebut. Memang, republikanisme telah berakar dalam peradaban filsafat Yunani Kuno yang sering digaungkan oleh Aristoteles yang membagi realitas atas res publica dan res private. Namun, pergeseran makna ini menjadi bentuk ‘republik’ baru muncul pada era Cicero (Robert, 2021:36). Aristoteles, dalam gaung republiknya mengidealkan ‘seseorang’ yang harus melampaui semua warga negara lain secara individu dan massa dalam hal keuanggulan, sehingga ia akan menjadi penguasa (Copleston, 2020:184).