Mohon tunggu...
Pecinta Teh
Pecinta Teh Mohon Tunggu... -

Sarjana hukum, tapi masih lanjut belajar lagi mumpung masih muda dan punya waktu | Nulis dan ngomong hal-hal yang kupahami serta bermanfaat bagi banyak orang, tapi dengan caraku sendiri | Suka diskusi dan sedang berusaha terus rajin membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

[KPU vs Caleg Jilid 2] Sebuah Tantangan, Seberapa Gereget Anggota DPR 2019-2024?

9 Oktober 2018   16:30 Diperbarui: 10 Oktober 2018   18:35 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang pembaca mempertanyakan tulisan sebelumnya yang berjudul "KPU vs Caleg: Menilik Jernih Putusan MA, Siapa Pro Koruptor?" terkait kesimpulan penulis yang menyerahkan kembali pada kesadaran masyarakat mengenali calon legislatif. Tentunya solusi tersebut kontradiktif dengan yang disampaikan Mahfud MD. (https://www.liputan6.com/news/read/3438680/mahfud-md-kpu-tak-bisa-larang-narapidana-korupsi-jadi-caleg)

Mahfud berpendapat bahwa KPU telah salah karena menerbitkan PKPU yang melarang para mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri pemilihan legislatif. Seharusnya larangan itu dicantumkan dalam undang-undang karena termasuk pencabutan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin Undang -- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Argumentasi Mahfud didasarkan pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yaitu, "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis." Jelas dan terang amanat UUD 1945 bahwa pembatasan yang diberikan setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya harus diatur dalam undang-undang, bukan bentuk peraturan perundang-undangan lainnya.

Mengajukan diri sebagai seorang calon anggota legislatif memang sebuah hak asasi yang dijamin dalam UUD 1945. Pasal 28D ayat (3) mengatur: "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan." Tentu pemerintahan yang dimaksud adalah dalam arti luas, yakni termasuk di dalamnya adalah lembaga eksekutif dan legislatif.

Untuk mempermudah pemahaman pembaca, pembatasan bagi mantan terpidana yang ingin mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah akan menjadi ilustrasi yang tepat dan sebanding. Pasal 7 huruf g UU 8/2015 pada awalnya menentukan: "Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: g. 

Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih" Penjelasan pasal tersebut mengemukakan: "Persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dikecualikan dari ketentuan ini."

Ketentuan pasal tersebut diubah setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 42/PUU-XIII/2015. MK memutus Pasal 7 huruf g UU 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana". Artinya harus ada pengecualian yang demikian terhadap ketentuan pasal tersebut. Sedangkan penjelasan pasal tersebut dibatalkan dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Terhadap Putusan MK tersebut, Mahfud pernah menyatakan bahwa sekalipun putusan a quo harus dihormati, secara pribadi dirinya kecewa. (https://www.liputan6.com/news/read/2282765/mahfud-md-kecewa-eks-koruptor-bisa-jadi-calon-kepala-daerah) Mahfud membandingkan Putusan No. 42/PUU-XIII/2015 dengan putusan serupa yang pernah diterbitkan MK sewaktu Mahfud menjabat sebagai ketua, yakni Putusan No. 4/PUU-VII/2009. Ada pun, yang dipermasalahkan oleh para pemohon ketika itu adalah konstitusionalitas dari ketentuan pasal yang mengatur bahwa para calon anggota DPR, DPD, DPRD maupun kepala daerah tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih. Dalam amar putusannya, ketentuan pasal yang diuji dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh majelis yang diketuai Mahfud. Majelis juga memberikan beberapa syarat yaitu, (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Berdasarkan putusan tersebut, dapat dilihat bahwa MK ingin memberikan jangka waktu antara masa setelah seorang terpidana menyelesaikan masa pidananya dengan waktu ketika akan mengajukan diri dalam pemilihan legislatif ataupun pemilhan kepala daerah. Hal ini yang disebut sebagai proses adaptasi kembali ke masyarakat dalam pertimbangan hukumnya. Jangka waktu tersebut sesuai dengan mekanisme lima tahunan dalam pemilu di Indonesia. Menurut penulis sendiri, jangka waktu tersebut diberikan sebagai durasi yang cukup bagi masyarakat untuk mengetahui secara jelas status dari calon yang merupakan mantan terpidana. Jangan sampai setelah calon tersebut resmi dipilih oleh masyarakat, baru kemudian diketahui statusnya sebagai mantan terpidana.

Sementara itu sebagai tindak lanjut terhadap Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015, telah dilakukan perubahan terhadap UU 8/2015 melalui Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 dan Penjelasan pasalnya. Terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, diajukan uji materi ke MK. Melalui Putusan No. 71/PUU-XIV/2016, MK mengabulkan permohonan untuk sebagian dan kembali mengubah ketentuan pasal. Terkait bagian ini tidak akan dibahas lebih lanjut mengingat kurang relevan dengan topik pembahasan.

Dalam beberapa putusan yang dikemukakan sebelumnya, MK selalu menekankan adanya perbedaan terhadap jabatan-jabatan publik. Jabatan-jabatan tersebut dapat digolongkan atas (vide Putusan MK No. 14-17/PUU-V/2007):

  • Jabatan publik yang dipilih (elected officials) dan jabatan publik yang diangkat (appointed officials),
  • Jabatan publik di bidang eksekutif yang lebih bersifat melayani dan jabatan publik di bidang legislatif yang bersifat menyalurkan aspirasi rakyat,
  • Jabatan publik yang karena tugasnya membutuhkan tingkat kepercayaan yang sangat tinggi, seperti hakim dan aparat penegak hukum lainnya, dan pejabata yang mengelola keuagan negara.

Pembedaan tersebut pun berpengaruh signifikan terhadap perbedaan syarat yang diberikan untuk dapat menduduki masing-masing jabatan. Dalam konteks pembahasan ini, yang menjadi fokus adalah elected officials. Mengapa demikian? Karena masyarakat yang memiliki hak untuk menentukan siapa yang akan dipilih. Untuk dapat menentukannya, harus ada kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk mengetahui siapa saja yang nantinya dimunculkan sebagai calon. Masyarakat berhak mendapatkan informasi tentang para calon yang akan bertanding. Perolehan informasi ini dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945.

Kembali pada persoalan semula tentang pengaturan secara spesifik apakah seorang mantan terpidana dapat mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif atau tidak. Memasukkan ketentuan tersebut dalam bentuk undang-undang sama sekali bukan hal mudah. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menentukan: "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang." Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menentukan: "Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama." Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 menentukan: "Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu." Tiga ketentuan tersebut menunjukkan betapa besarnya kekuasaan DPR dalam hal pembentukan undang-undang.

Pasal 67 UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menentukan: "DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum." Padahal, data KPK menunjukkan bahwa 32 persen pelaku korupsi yang disidangkan merupakan politikus dan 35 kepala daerah yang didukung parpol juga dinyatakan bersalah karena terlibat korupsi. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161124165822-12-175068/marak-korupsi-kpk-luncurkan-kode-etik-politikus-dan-parpol) Dalam Pemilihan Legislatif 2019 sendiri, berdasar penetapan KPU hanya PKB, PPP, dan PSI yang sama sekali tidak mengusung caleg dari mantan terpidana korupsi. (https://nasional.kompas.com/read/2018/09/21/18175041/infografik-daftar-41-caleg-eks-koruptor-yang-ikuti-pileg-2019)

Melihat data tersebut, apakah DPR yang anggotanya berasal dari berbagai parpol dengan mudah membuat undang-undang yang melarang mantan terpidana korupsi untuk berpartisipasi dalam pemilihan legislatif? Maukah para anggota DPR menyetujui aturan yang membatasi ruang gerak parpol yang menaunginya? Jawabnya mungkin saja. Apakah itu mudah? Tentu tidak. Mustahil juga untuk berharap undang-undang tersebut dapat berlaku dalam Pemilihan Legislatif 2019.

Mungkin banyak juga yang berpikir agar DPR dan parpol dibubarkan saja apabila melihat sepak terjangnya dalam praktik korupsi di Indonesia. Bagi penulis, pemikiran tersebut bukan hal yang solutif dilihat dari sudut mana pun. Mereka yang mengatakannya sama saja menyuruh membunuh orang yang terkena kurap karena menimbulkan bau tidak sedap untuk orang lain. Tindakan itu tidak menyelesaikan masalah dan hanya memindahkan masalah ke tempat lain, atau bahkan menciptakan masalah baru.

Penulis tetap berpegang pada kesimpulan dan solusi yang diberikan dalam tulisan pertama. Masyarakat yang sepenuhnya memiliki kewenangan untuk menentukan bagaimana nasib para calon pelayannya, apakah akan diberikan kepercayaan, atau harus dieliminasi saja dari ring pertandingan. Pertanyaan penulis sederhana saja: bayangkan mana yang lebih menyakitkan, tidak terpilih sebagai anggota legislatif karena memang tidak dapat dicalonkan sebagai caleg, atau tidak terpilih setelah mengorbankan semua waktu, biaya, dan daya upaya bagi calon konstituen? Sekadar refleksi saja bahwa di masa-masa yang lalu banyak caleg yang stress, sakit jiwa, bahkan sampai bunuh diri karena tidak terpilih setelah demikian besar pengorbanan yang dilakukan. 

Harapan agar caleg yang terpilih nanti benar-benar berkualitas membutuhkan kesadaran, sikap kritis, dan kecerdasan masyarakat dalam menentukan pilihan. Persoalan memilih caleg dan elected officials lainnya bukan hanya sesederhana apakah orang itu mantan terpidana korupsi atau bukan. Perilaku korup lainnya, seperti kolusi dan nepotisme misalnya, bagaimana melarang dan mendeteksinya? Belum lagi perilaku-perilaku tercela lain yang tidak mungkin dilarang dalam bentuk undang-undang. Apakah dalam kondisi yang demikian berarti semua perilaku tercela tersebut harus dilarang dalam undang-undang terlebih dahulu? Mengadopsi perumpamaan Thomas Malthus dalam persoalan ini, pertumbuhan masyarakat beserta dinamikanya itu seperti deret ukur, sedangkan pertumbuhan hukum/aturan hanya seperti deret hitung. Seberapa cepatkah undang-undang kita mampu mengejar ketertinggalannya daripada dinamika masyarakat dan kepandaian para politisi dalam mengakali undang-undang? Jika hanya berharap pada undang-undang, mustahil semua problematika bisa selesai. Pada akhirnya, kita semua berharap sudah tidak ada lagi masyarakat seperti yang dideskripsikan dalam tulisan pertama.

Namun demikian, penulis juga tetap mendukung upaya untuk memasukkan larangan pencalonan mantan terpidana korupsi sebagai caleg ke dalam ketentuan undang-undang. Di sinilah peranan parpol dibutuhkan. Penulis sangat tergelitik untuk memberikan tantangan kepada PKB, PPP dan PSI yang kelihatannya memiliki niat baik dengan tidak mengusung mantan terpidana korupsi mendapat tantangan baru. PSI sebagai partai baru misalnya --yang jika para kadernya terpilih sebagai anggota DPR nanti-- mampukah melobi dan meyakinkan anggota DPR dan parpol-parpol lain untuk mendukung dimasukkannya larangan pencalonan mantan terpidana korupsi dalam undang-undang? Mari kita saksikan, apakah pada Pemilihan Legislatif 2024 nanti masih ada mantan terpidana korupsi yang kembali mencalonkan diri sebagai caleg atau tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun