Pembedaan tersebut pun berpengaruh signifikan terhadap perbedaan syarat yang diberikan untuk dapat menduduki masing-masing jabatan. Dalam konteks pembahasan ini, yang menjadi fokus adalah elected officials. Mengapa demikian? Karena masyarakat yang memiliki hak untuk menentukan siapa yang akan dipilih. Untuk dapat menentukannya, harus ada kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk mengetahui siapa saja yang nantinya dimunculkan sebagai calon. Masyarakat berhak mendapatkan informasi tentang para calon yang akan bertanding. Perolehan informasi ini dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945.
Kembali pada persoalan semula tentang pengaturan secara spesifik apakah seorang mantan terpidana dapat mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif atau tidak. Memasukkan ketentuan tersebut dalam bentuk undang-undang sama sekali bukan hal mudah. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menentukan: "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang." Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menentukan: "Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama." Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 menentukan: "Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu." Tiga ketentuan tersebut menunjukkan betapa besarnya kekuasaan DPR dalam hal pembentukan undang-undang.
Pasal 67 UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menentukan: "DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum." Padahal, data KPK menunjukkan bahwa 32 persen pelaku korupsi yang disidangkan merupakan politikus dan 35 kepala daerah yang didukung parpol juga dinyatakan bersalah karena terlibat korupsi. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161124165822-12-175068/marak-korupsi-kpk-luncurkan-kode-etik-politikus-dan-parpol) Dalam Pemilihan Legislatif 2019 sendiri, berdasar penetapan KPU hanya PKB, PPP, dan PSI yang sama sekali tidak mengusung caleg dari mantan terpidana korupsi. (https://nasional.kompas.com/read/2018/09/21/18175041/infografik-daftar-41-caleg-eks-koruptor-yang-ikuti-pileg-2019)
Melihat data tersebut, apakah DPR yang anggotanya berasal dari berbagai parpol dengan mudah membuat undang-undang yang melarang mantan terpidana korupsi untuk berpartisipasi dalam pemilihan legislatif? Maukah para anggota DPR menyetujui aturan yang membatasi ruang gerak parpol yang menaunginya? Jawabnya mungkin saja. Apakah itu mudah? Tentu tidak. Mustahil juga untuk berharap undang-undang tersebut dapat berlaku dalam Pemilihan Legislatif 2019.
Mungkin banyak juga yang berpikir agar DPR dan parpol dibubarkan saja apabila melihat sepak terjangnya dalam praktik korupsi di Indonesia. Bagi penulis, pemikiran tersebut bukan hal yang solutif dilihat dari sudut mana pun. Mereka yang mengatakannya sama saja menyuruh membunuh orang yang terkena kurap karena menimbulkan bau tidak sedap untuk orang lain. Tindakan itu tidak menyelesaikan masalah dan hanya memindahkan masalah ke tempat lain, atau bahkan menciptakan masalah baru.
Penulis tetap berpegang pada kesimpulan dan solusi yang diberikan dalam tulisan pertama. Masyarakat yang sepenuhnya memiliki kewenangan untuk menentukan bagaimana nasib para calon pelayannya, apakah akan diberikan kepercayaan, atau harus dieliminasi saja dari ring pertandingan. Pertanyaan penulis sederhana saja: bayangkan mana yang lebih menyakitkan, tidak terpilih sebagai anggota legislatif karena memang tidak dapat dicalonkan sebagai caleg, atau tidak terpilih setelah mengorbankan semua waktu, biaya, dan daya upaya bagi calon konstituen? Sekadar refleksi saja bahwa di masa-masa yang lalu banyak caleg yang stress, sakit jiwa, bahkan sampai bunuh diri karena tidak terpilih setelah demikian besar pengorbanan yang dilakukan.Â
Harapan agar caleg yang terpilih nanti benar-benar berkualitas membutuhkan kesadaran, sikap kritis, dan kecerdasan masyarakat dalam menentukan pilihan. Persoalan memilih caleg dan elected officials lainnya bukan hanya sesederhana apakah orang itu mantan terpidana korupsi atau bukan. Perilaku korup lainnya, seperti kolusi dan nepotisme misalnya, bagaimana melarang dan mendeteksinya? Belum lagi perilaku-perilaku tercela lain yang tidak mungkin dilarang dalam bentuk undang-undang. Apakah dalam kondisi yang demikian berarti semua perilaku tercela tersebut harus dilarang dalam undang-undang terlebih dahulu? Mengadopsi perumpamaan Thomas Malthus dalam persoalan ini, pertumbuhan masyarakat beserta dinamikanya itu seperti deret ukur, sedangkan pertumbuhan hukum/aturan hanya seperti deret hitung. Seberapa cepatkah undang-undang kita mampu mengejar ketertinggalannya daripada dinamika masyarakat dan kepandaian para politisi dalam mengakali undang-undang? Jika hanya berharap pada undang-undang, mustahil semua problematika bisa selesai. Pada akhirnya, kita semua berharap sudah tidak ada lagi masyarakat seperti yang dideskripsikan dalam tulisan pertama.
Namun demikian, penulis juga tetap mendukung upaya untuk memasukkan larangan pencalonan mantan terpidana korupsi sebagai caleg ke dalam ketentuan undang-undang. Di sinilah peranan parpol dibutuhkan. Penulis sangat tergelitik untuk memberikan tantangan kepada PKB, PPP dan PSI yang kelihatannya memiliki niat baik dengan tidak mengusung mantan terpidana korupsi mendapat tantangan baru. PSI sebagai partai baru misalnya --yang jika para kadernya terpilih sebagai anggota DPR nanti-- mampukah melobi dan meyakinkan anggota DPR dan parpol-parpol lain untuk mendukung dimasukkannya larangan pencalonan mantan terpidana korupsi dalam undang-undang? Mari kita saksikan, apakah pada Pemilihan Legislatif 2024 nanti masih ada mantan terpidana korupsi yang kembali mencalonkan diri sebagai caleg atau tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H