“Tante… Tante…mau bertemu Deni,” jawab Tina sedikit gugup. Calista mengulas senyum manisnya. Tebakannya benar.
“Oh, mari masuk dulu, Tante. Saya panggilkan Deni.” Calista mempersilahkan Tina masuk, membawanya ke ruang tamu dan memintanya duduk menunggu. Calista beranjak dari hadapan Tina untuk memanggil Deni di kamarnya.
Tak beberapa lama Calista muncul di ruang tamu bersama seorang pemuda berambut spike di belakangnya. “Aku buatkan minum dulu,” ucapnya pada pemuda di belakangnya yang tak lain adalah Deni.
“Tidak perlu, dia hanya sebentar di sini,” sahut Deni tegas.
“Ta-tapi…”
“Kamu masuk saja!” perintah Deni.
Calista merasa lemah di hadapan pemuda itu. Sikap keras yang biasa ia tampilkan serasa luntur dan tak berdaya. Calista mengangguk pelan dan beranjak kembali ke kamarnya, memberikan privasi pada Deni dan Tina untuk saling bicara berdua.
Deni menghempaskan pantatnya, duduk di seberang sofa yang diduduki Tina. Punggungnya ia sandarkan santai pada sandaran sofa dengan tangan terlipat di dada. “Kalian tinggal bersama?” Belum sempat Deni mengutarakan pertanyaan yang bercokol di kepalanya, Tina lebih dulu bertanya. Deni tersenyum sinis.
“Ya, terkadang,” jawabnya enteng.
“Kalian kan masih terlalu muda… dan tidak sepatutnya…”
“Anda tidak punya hak berkomentar tentang hubungan yang aku jalin.” Deni memotong cepat. “Ada perlu apa kemari? Cepat katakan! Aku tidak suka berbasa-basi,” lanjut Deni sarkastis.