"Kau akan lebih menyesal bukan karena kau melakukan sesuatu dan ternyata itu gagal atau keliru. Kau akan lebih menyesal saat kau tidak pernah melakukan sesuatu, mengingat betapa tidak beraninya kau mengambil keputusan," Tere Liye dalam Novel Janji, halaman 337.
Janji, merupakan fiksi yang penuh misteri. Bagaimana tidak, sejak laman awal hingga akhir tidak pernah disangka akan seperti apa perjalanan ceritanya. Sudut pandang penulis yang begitu luas, mampu membawa pembaca terhanyut dalam kisah yang ditulisnya; seakan ikut hadir bersama dalam kehidupan tersebut.
Novel ini merupakan karya kesekian yang berhasil ditulis dari buah pemikiran dan ide-gagasan luar biasa dari salah satu penulis hebat Indonesia, Tere Liye. Yang menceritakan tiga sekawan; Hasan, Baso, dan Kahar, sang pembuat onar di sekolah agama (pondok pesantren).
Kenakalan ketiganya sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, dari hal kecil hingga yang paling besar. Puncaknya ialah ketika pada saat calon presiden dan staffnya datang menemui Buya (Kiai Pengasuh/Pimpinan Pesantren) selaku pemilik sekolah agama itu pula. Karena tidak menyukai kehadiran mereka, tiga sekawan ini menaruh garam ke dalam teh calon presiden dan para staffnya, hingga membuat mereka tidak enak badan.
Namun, dari kejadian tersebut mereka justru tidak diberi hukuman sebagaimana pada umumnya. Bahkan dikeluarkan dari sekolah pun tidak, padahal perlakuan mereka sungguh sangatlah keterlaluan. Mereka justru mendapatkan misi untuk menemukan sosok misterius yang sudah puluhan tahun dalam masa pencarian sang Kiai. Jangankan mengenal sosok itu, mendengar namanya saja mereka baru kali pertama. Misi tersebut apabila berhasil terpecahkan oleh ketiganya, maka mereka diperkenankan untuk meninggalkan sekolah tersebut dengan penuh kebebasan.
Namanya, Bahar. Sosok misterius yang harus mereka cari entah di mana rimbanya. Merupakan seorang murid dari Ayahanda Buya (Pengasuh Pesantren saat ini) pada puluhan tahun yang lalu. Ayahanda Buya merupakan pendiri sekolah agama tersebut. Bahar ialah seorang murid yang nakal, anak yatim-piatu yang hidup dan dibesarkan oleh neneknya, kenakalannya membuat ia harus dikirim ke sekolah agama, karena tidak ada lagi yang sanggup mendidiknya. Hari demi hari dilalui Bahar dengan menjahili banyak orang dan bersikap onar. Hingga pada bulan ramadhan, Bahar membangunkan warga pesantren ketika sahur tiba dengan mengenakan meriam bubuk mesiu yang membuat sekolah agama tersebut terbakar dan mengakibatkan seorang anak difabel merenggang nyawa.Â
Setelah adanya kejadian tersebut, Bahar dikeluarkan dari sekolah, karena Ayahanda Buya merasa tidak lagi bisa mendidiknya. Meski dengan berat hati dan masih dalam suasana marah yang besar, Abuya melepas bahar dengan nasihat terakhirnya. Nasihat tersebut harus dilaksanakan oleh Bahar dalam keadaan apapun sebagai syarat agar ia boleh bebas meninggalkan sekolah tersebut. Karena keinginannya untuk pergi sudah terwujud, maka Bahar berjanji akan melaksanakan nasihat tersebut di mana pun ia berada dan dalam kondisi apa pun itu.
Baca juga:
     Di Bawah Ridho Abah | Sebuah Cerpen Islami
     Kau Purnama, Kasih | Puisi-Puisi D.S Fatah