"Rindu apa atau siapa bah? Bukankah kami semua orang yang abah cintai ada di samping Abah?"
"Abah didera rasa rindu pada Baginda Nabi Muhammad SAW."
Mendengar jawaban abahnya, seluruh tubuh Rifa merinding dan bergetar. Abahnya menangis.Â
"Apakah kau dan seluruh santri Darus Sunnah, anak-anak yatim semuanya mengizinkan kalau abah umrah untuk sowan pada Baginda Nabi, nduk?" kata abahnya sambil terisak.Â
Rifa langsung memeluk abahnya. Ia tahu persis selama ini rezeki yang didapat abahnya dari jualan bakso digunakan untuk menghidupi anak-anak yatim. Beberapa kali mau umrah ia urungkan karena ada keperluan mendadak dari anak-anak yatim yang memerlukan biaya pengobatan, maka biaya untuk umrahnya diinfaqkan bagi mereka. Umminya juga cerita, tujuh tahun yang lalu saat abahnya mau umrah juga, ia mendengar ada seorang santri hafal Al-Qur'an mau kuliah ke Mesir tapi tidak punya biaya beli tiket pesawat. Abahnya merelakan uang yang akan digunakan umrah untuk membelikan tiket santri itu.Â
- - - - - -
BACA JUGA:Â Si Kecil yang Membuat Cemburu
Dialog di atas begitu menggetarkan jiwa, siapapun yang membacanya pasti akan tergetar hatinya.Â
Bagaimana tidak, sosok yang luar biasa rendah hati. Seorang pimpinan pesantren Yatim Piatu yang tidak pernah mau untuk dipanggil Kiai ataupun Ustadz sebab merasa dirinya tak pantas. Bahkan untuk menjadi Imam masjid pun enggan. Sebab ia sangat ta'dzim kepada perintah gurunya, di mana awal ia merantau hanya di minta menjadi muadzin masjid dan mengajarkan kitab sebagaimana diperintahkan guru, meski ia paham beberapa.Â
Seorang penjual bakso yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk anak yatim piatu. Bahkan, hasil jualan dan tabungannya ia utamakan untuk yayasan. Keinginannya untuk ke tanah suci sejak dulu selalu tertunda, sebab ia lebih mengutamakan kebutuhan anak yatim piatu.Â
Ada dua poin penting yang dapat dipetik dari kisah Pak Nur. Tentang ta'dzimnya seorang murid kepada guru, juga kedermawanan Pak Nur dalam memikul tanggungjawab dan amanah sebagai pimpinan yayasan.Â