Pesta Kompasianival berjaya karena memiliki kekuatan magis, yang memakan banyak korban. (Peb)
Kawan baik saya, Kompasianer Mbak Avy menyarankan untuk tidur usai saya bikin tulisan halu berjudul ; "Saya Putuskan Mundur dari Kompasiana demi Harga Diri". Sarannya itu ditulis di kolom komentar, yang bisa dilihat pada tangkapan layar di bawah ini ;
Saran  dari Mbak Avy saya turuti. Mungkin saja ada benarnya. Selain itu,  Mbak Avy sudah lama saya kenal. Kami bertemu di Kompasianival 2014 di TMII Jakarta. Halusnya tangan Mbak Avy saat bersalaman dengan saya masih terasa sampai sekarang. #Eeeh…masih Halu…
Sesuai saran, kemudian saya tidur 4 hari sejak posting tulisan itu. Dalam pesannya, Mbak Avy nantinya akan membangunkan saya.Â
Tapi sebelum dibangunkan, saya justru bangun sendiri karena hampir pasti akan tersipu-sipu malu merah jingga kalau saya bangun karena dibangunkan Mbak Avy. Heu heu heu…
Saya ingat pepatah bijak "Bangun sendiri lebih alami dan mencerminkan kekuatan serta kemandirian".  Bangun secara alami bisa mensukseskan tren global yakni "sustainable" dan "green" bangun. Sedangkan kemandirian akan meringankan beban kerja pemerintahan Kompasiana. Heu heu heu…
Setelah bangun, saya jadi tersadar bahwa artikel terakhir yang saya posting ternyata waktunya relatif bersamaan dengan peredaran artikel tentang dimulainya masa penjaringan kandidat peraih Kompasiana Award 2021.
Saat itu saya ingin kembali tidur saja. Tak kuasa melihat, mendengar dan merasakan Kompasiana Awards. Apa pasal?Â
Saya trauma dengan Kompasianival dan Kompasiana Awards. Kasus yang saya alami mirip dengan penderitaan Engkong Felix Tani.Â
Saya dua kali berturut-turut masuk nominee Kompasiana Awards yang puncak acaranya pada Kompasianival. Tapi saya selalu di php admin.
Tahun 2015 saya terpilih jadi salah satu dari 5 Nominee Kompasianer of The Year. Berdasarkan cerita lisan dari para leluhur, Â K of The Year merupakan tropi paling bergengsi pada Kompasianival.
Hati saya senang. Seluruh warga kampung saya kabari. Termasuk aparat dan keamanan, baik yang tampak maupun tidak tampat. saya pasang baliho besar  foto saya di setiap simpang jalan kampung, juga menempelkan stikel di pohon, tiang listrik, angkot, termasuk gerobak sampah. Seruu deh halu-nye…
Masa itu pemilihan pemenang Kompasianer of The Year  menggunakan sistem lama. Sekian persen nilai berdasarkan pilihan para Kompasianer, dan sekian persen dewan revolusi admin Kompasiana.Â
Berdasarkan bisikan Kimberly, Jeanete dan Jessica, saya pasti terpilih karena sedang lucu-lucunya, paling imut, rajin menabung, tidak sombong, hapal sumpah Kompasiana, dan yang tak kalah penting adalah saya sudah mahir pasang celana sendiri-walau sesekali pakai pampers.
Saya pun mempersiapkan pesta besar. Â Saya pesan katering untuk kuliner aneka rupa, sewa tenda, tim juru rias, dekorasi, organ tunggal, para perempuan cantik penerima tamu dan lain-lain. Tak lupa ijin prinsip dari RT/RW.
Ketika berangkat ke Jakarta untuk mengikuti Kompasianival, saya dilepas warga dengan acara adat siraman dan pecah telur. Dengan rambut dan pakaian basah saya naik angkot kampung menuju Jakarat, diiringi tangisan haru para mac-emac, mamah muda, abg, bacbapac, dan lain-lain. Mereka mendukung penuh!
Begitu juga ketika sampai di Jakarta, dan memasuki gedung, saya disambut meriah oleh para admin dan kompasianer. ada yang minta berfoto, tanda tangan, tak lupa cipika-cipiki.
Saat acara dimulai, nama-nama nominee disebut dan ditampilkan profilenya di panggung. Sorot lampu dan kamera sangat menggetarkan hati.Â
Saat momen penyebutan nama pemenang Kompasianer of The Year, Saya kaget! Heran! Terkejut! Suprised! Ternyata pemenangnya bukan saya !Â
Tadinya saya berharap kejadian itu cuma kecelakaan kecil pembawa acara, atau  kekeliruan  panitia, atau cuma canda si Pembawa acara. Saya merasa kejadian itu hanya mimpi dalam halu, tapi ternyata tidak.Â
Realitasnya saya gagal menjadi Kompasianer Of The Year 2015. Malangnya nasib saya,  tidak satu pun  bukti  yang bisa saya dapatkan bahwa saya pernah jadi salah satu nominee Kompasianer of The Year.
Tadinya saya berharap, kalau pun tidak menang, minimal diberi kaos satu lusin, mercendais, plakat, piagam, uang kasihan, ongkos php dan lain sebaginya sebagai bukti saya sudah sampai di panggung terhormat Kompasianival.
Ini sudahlah ongkos berangkat ke Jakarta, penginapan hotel, taksi, makan , dan lain lain dari kantong sendiri. Untung saya banyak duit, tidak seperti Engkong Felix Tani yang makan soto pun harus ngutang. Saya juga jauh mendingan dibandingkan Acek Rudy Gunawan yang mesti top up jualan obat kuatnya baru punya duit.
Walau rasa malu saya besar akibat kegagalan itu, saya tetap tabah, dan beruntung orang sekampung saya bisa menerimanya, dengan cacatan Saya terlebih dahulu dihukum adat karena telah bikin malu kampung. Sekalian saya diruwat agar waras! heu heu heu…
Tahun berikutnya 2016 saya masuk lagi nominee best of opinion Kompasiana Award. Namun saya menanggapinya biasa saja. Sensasinya tak begitu besar. Kimberly, Jaenete dan Jesica pun tak lagi nafsu bisik-bisik. Kali ini saya sukses mengulang nerima php. Saya berhasil gagal kedua kali. Ini sebuah brace. Heu heu heu...
Sejak kedua peristiwa itu, saya trauma dengan Kompasiana Awards. Hahahahahahaha! Untunglah kemudian  K. Rewards yang lebih realistis, yakni ketegorinya banyaaak! pemenangnya bisa puluhan. Pernah sampai 70 pemenang. Asiik, kan?
Selain itu kini saya berubah. Saya bercita-cita jadi admin dengan tujuan mulia, yakni memberikan label Artikel Utaman, Pilihan kepada semua artikel Kompasianer supaya tidak ribut lagi di Kompasiana sehingga tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Kompasiana. Â
Selain itu, Saya akan bagikan K. Rewards dalam jumlah besar dan banyak agar para penulis tidak ribut-ribut soal duit di Kompasiana. Mereka sejahtera dan  bisa konsen menulis di Kompasiana.
Dengan K. Rewards yang banyak,  Kompasianer ganteng seperti Felix Tani tak perlu lagi berhutang soto pada Mas Karso. Acek Rudy Gunawan bisa tambah modal usaha jualan obat  dan buka cabang coaching clinic Kh#masutra. Susy Haryawan bisa segera potong rambutnya yang kini gondrong kayak mie kriting.  Demi kiyan janji politik saya.
Satu hal yang saya kuatirkan, semoga saya tidak masuk nominee Kompasiana Awards pada ajang Kompasianival. Kalau itu terjadi, maka pupus lah cita-cita saya meraih kursi admin, karena sesuai aturan di KUHK (Kitab Undang-Undang Hukum Kompasiana) Â yang berisi ; "Pemenang Kompasiana Awards otomatis tidak bisa menjadi admin karena akan menimbulkan instabilitas di Kompasiana."
Untuk itulah, saya akan menggagalkan Kompasiana Awards tahun ini, dengan jargon "Demi Keadilan, Agenda Kompasianival Dihapus Saja". Tolak Kompasiana Awards ! Hapus Kompasianival ! Perjuangan Nasib Kompasianer!
Kalau bukan saya yang memulai, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? aku sih rapopo. Udah ya, capek saya nulis halu….
----
Penulis : Pebrianov
#Catatan penulis ;Â
1. Artikel ini diposting ulang setelah diedit, khususnya beberapa kata yang diduga sensitif bagi sistem sensor Kompasiana.
2. Terimakasih pada Engkong Felix Tani, yang telah memberikan info keberadaan artikel ini ketika awal diposting tidak muncul di Kompasiana.
3. Terimakasih kepada diri saya sendiri yang tak tahu malu memposting ulang artikel halu dan lebay ini.
4. Terimakasih kepada admin Kompasiana yang tidak mencekal artikel ini. Kalau ternyata nanti dicekal, terimakasih itu saya tarik lagi, yaa...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H