Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Penulis Politik Katrok yang Loyal di Kompasiana

30 September 2021   22:24 Diperbarui: 30 September 2021   23:02 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar kompas.com

Saya senang membaca sebuah artikel bagus , judulnya "Penulis Artikel Politik yang Katrok Di Kompasiana". Penulisnya Desvin Celestin, sebuah nama dari akun baru di Kompasiana (dilihat dari anunya). 

Inti dari tulisannya adalah sebuah keprihatinan soal tulisan politik dan penulis politik di Kompasiana yang semakin hari cenderung seadanya, katrok, culun, dan tidak menarik.

Akibatnya, banyak pembaca atau netizen tidak lagi tertarik membaca artikel politik di Kompasiana. Padahal dulu, banyak penulis politik yang hebat sehingga jadi rujukan netizen dalam melihat perspektif politik di negeri ini.

Saat membaca artikel Kompasianer Desvin Celestin, saya dibuat tertawa ngakak karena dalam artikelnye terungkap salah satu penulis Katrok yang dimaksud adalah saya.

Harus saya akui, saat ini saya memang tak lebih penulis politik yang Katrok. Tulisan saya soal politik memang dangkal, dan tidak jelas juntrungannya. Namun sebagai lelaki pemalu, saya berusaha tabah.

Duluuuu....saat zaman artikel politik jadi panglima di Kompasiana, saya banyak menulis soal politik di Kompasiana, dan tak sedikit yang mendapatkan label Artikel Utama.

Bahkan era Pilpres 2014 dan 2019 saya getol menulis artikel politik yeng mendukung Jokowi. Tulisan saya mendapatkan banyak pembaca, K.Rewards dan label Artikel Utama.

Pada Pilpres 2019 lalu Kompasiana menyediakan ruang khusus di kanal "Kandidat", selain itu disediakan Award khusus berupa uang Rp 1 Juta rupiah bagi satu tulisan politik yang dinilai sebagai yang terbaik oleh dewan juri Admin Kompasiana.

Kompasiana menyediakan dua hadiah, masing-masing untuk artikel politik terbaik pendukung Jokowi dan Prabowo. Di pihak  pendukung Jokowi, salah satu artikel politik saya terpilih jadi pemenang. Uang 1 juta pun masuk rekening BNI saya tanpa dipotong pajak. (Ini artikelnya).

Usai Pilpres 2019 saya tidak begitu aktif menulis politik. Jangankan menulis, membuka Kompasiana dan membaca berita politik pun sangat jarang, padahal modal menulis politik harus sering/intens mengikuti isu politik sehingga punya banyak referensi dari berita dan televisi sehingga waktu menulis bisa membangun opini politik yang kuat.

Hampir setahun saya  tidak menulis di Kompasiana karena kesibukan bergaul dengan para tukang bangunan dan kerja studio disain. Sebagai arsitek, saya menikmati dunia pragmatis itu.

Beberapa Kompasianer menghubungi saya dan  mempertanyakan soal isu politik yang berkembang dan sedang seru-serunya saat itu. Tapi saya tidak bisa menjawabnya karena memang tidak mengikuti secara detail perkembangan politik. 

Waktu itu ada Kompasianer yang mengkritisi ketidakperdulian saya pada isu politik. Lebih lanjut dia mempertanyakan tanggungjawab saya yang militan jadi pendukung Jokowi di Kompasiana, namun setelah beliau terpilih kembali seolah tidak perduli, tidak kritis, dan seterusnya. 

Saat itu Jokowi diserang berbagai pihak terkait sejumlah kebijakannya yang dianggap kontroversial. Sedangkan saya sama sekali tidak menampakkan diri menulis politik di Kompasiana.

Usai Pilpres 2019, saya kok jadi capek kalo diajak mikir politik. Hahahahaha! Padahal dulu getol bingiits...

Setelah hampir setahun cuti menulis di Kompasiana, saya kemudian menulis lagi tapi bukan artikel politik, melainkan Humor dan Sepakbola. Saya suka humor, dan juga suka sepakbola. Dulu waktu muda, pernah jadi pemain inti yunior tingkat provinsi.

Kebetulan iklim artikel politik tidak begitu masif lagi di Kompasiana. Suasana Kompasiana sudah berubah. Artikel politik tidak lagi jadi panglima. Tidak lagi jadi idola. Dan, teman-teman penulis Politik pun sudah nganu entah kemana. 

Di sisi lain, saya tidak bernafsu pada politik. Kalau saya mendengar orang bicara politik, atau ndak sengaja nonton berita politik di televisi, apalagi debat politik saya tiba-tiba ingat wajah-wajah para tukang bangunan di proyek tempat saya nongkrong sehari hari. 

Mereka bekerja keras demi sesuap nasi, menghidupkan anak istrinya. Setiap hari Aabtu menerima gaji harian (7 hari). Kalau tidak masuk kerja satu hari, otomatis hitungan upah berkurang sehari.

Mengapa mendengar soal kisruh politik kemudian saya ingat wajah mereka? Why? Entahlah, embuh...tapi aku tetap rapopo.

Nah, kemarin saya mencoba bikin artikel politik lagi. Kebetulan saya mendadak nafsu setelah dikagetkan berita seorang tokoh politik Golkar yang dulu pernah saya kagumi soal performance politisnya. Si tokoh itu kini jadi tersangka korupsi dan ditahan KPK.

Lama tak menulis artikel politik bikin kikuk. Wagu. Katrok. 

Kurangnya membaca berita politik jadi salah satu kekakuan itu. Naluri mendapatkan "Angle" menulis politik pun lemah. 

Saat bangun tidur, saya pun menulis artikel politik itu karena lagi niat. Hitung-hitung sebagai pemanasan, hahahahaha!

Hasilnya? Tulisan politik yang Katrok! Jadilah saya penulis politik yang Katrok!

(nanti saya lanjutkan artikel ini, ya...saya mau nganu dulu)

---

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun