Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Inilah Waktu yang Tepat Bagi Kompasianer Berhenti Menulis di Kompasiana

25 Juli 2021   06:13 Diperbarui: 25 Juli 2021   07:40 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar ; crafters.getcraft.com

Seorang atlet sepakbola yang pensiun dari aktivitas sebagai pemain bola akan bangga menyebut dirinya sudah "Gantung Sepatu". Dia akan ditangisi para penggemarnya. Suasana pun dramatis.


Anehnya, para fans hampir tak pernah mempertanyakan letak ruang atau tempat penggantungan sepatu si Pemain. Apakah di jemuran belakang rumah, atau di dalam kamarnya? 

Mereka jarang bereaksi ketika kemudian tahu bahwa sepatu itu 'cuma' disimpan di rak sepatu. Bukan digantung! Padahal saat konferensi pers dinyatakan gantung sepatu!

Demikian juga pada sebutan cabang olahraga lain seperti ;  gantung raket (pebulutangkis dan tenis), gantung payung (penerjun payung), gantung tebing (pemanjat tebing),  gantung sarung tinju (petinju), gantung martir (atlet lontar martir), gantung lembing (atlet lempar lembing), gantung celana dalam (perenang), gantung motor (pembalap motor), gantung mobil (pembalap mobil), gantung kuda (penunggang kuda), gantung diri (atlet bela diri), dan cabang-cabang lain.

Gantung sepatu. Sumber gambar ; tribun.pekanbaru.com
Gantung sepatu. Sumber gambar ; tribun.pekanbaru.com

Setiap atlet punya momen atau waktu 'spesial' untuk  gantung anunya. Alasannya bisa karena cidera, faktor usia tua, ingin ganti profesi, selalu dimarahi pacar/istri/suami, putus cinta, dan lain sebagainya.

Menggantung anunya bagi seorang atlet merupakan momen 'sakral' dan 'mengharukan' dalam perjalanan hidupnya.

Lalu bagaimana dengan penulis Kompasiana (Kompasianer)? Walau bukan atlet, Kompasianer punya kesempatan layaknya atlet. Heu heu heu...

Dengan perangkat utama hape atau laptop, kapan seorang Kompasianer akan mengantung hape atau laptopnya? Dimana akan mengantungnya? Alasan dan momen apa yang jadi dasar gantung hape atau laptop?

sumber gambar ; adidot.blogspot.com
sumber gambar ; adidot.blogspot.com

Bagi para Kompasianer yang masih aktif, perlu kiranya memikirkan momen atau alasannya agar kelak siap bila harus berhenti menulis di Kompasiana. Kalau perlu, lakukan secara terbuka. Semacam press conference atau press release.

Satu hal yang membedakan atlet dengan Kompasianer adalah pada kriteria gantung anunya. Kalau atlet gantung anunya dan membuat pengumuman resmi, maka dia akan jadi mantan atlet. Tapi bila Kompasianer gantung anunya, belum tentu jadi mantan Kompasianer.

Kenapa demikian? Selama si Kompasianer masih memiliki akun di Kompasiana, walau tidak menulis lagi, maka status Kompasianer nya belum hilang. Kemungkinan besar tulisannya yang pernah ada tetap dibaca banyak orang secara viral.

Selama si Kompasianer masih punya akun di Kompasiana, maka masih ada kemungkinan dia menulis lagi di Kompasiana. Tulisannya itu berpotensi viral atau dibaca banyak orang.

sumber gambar ; cnn indonesia.com
sumber gambar ; cnn indonesia.com

Hal itu sungguh tidak adil terhadap publik netizen atau para penggiat media. Janji resmi berhenti menulis dan berhenti jadi Kompasianer tapi tulisannya masih berkelindan, berkeliaran di berbagai frekuensi atau kanal media online. 

Jadi bila seseorang ingin berhenti jadi atlet menulis dan berhenti jadi Kompasianer, maka usai press release si Kompasianer harus menghapus semua tulisan yang pernah dihasilkannya, kemudian menghapus akun Kompasiana. 

Hal tersebut bisa juga dilakukan saat press release sebagai bagian dari prosesi "gantung hape" atau "gantung laptop". Tentu saja sebelumnya didahului prosesi memberikan alasan mundur sebagai Kompasianer, misalnya karena jarang dapat Headline, tak pernah dapat K.Rewards, Admin pilih kasih dan subyektif sehingga bikin sebel, blog Kompasiana tidak nyaman karena sering error sehingga menghilangkan atau mengurangi jumlah vote/line, komentar, dan jumlah view (keterbacaan).

Alasan lain yakni sudah tidak nyaman karena banyak iklan obat kulit,  iklan obat kuat, dan iklan dengan gambar-gambar seram dan bikin jijik.

Bisa juga alasan karena sering merasa dizolimi admin,  atau mendapatkan peringatan dari admin karena melanggar tata tertib, penayangan artikel ditunda, artikel dihilangkan labelnya, artikel dihapus tanpa alasan jelas, dan lain sebagainya.

sumber gambar ; okezone.com
sumber gambar ; okezone.com

Niscaya dalam acara press konference itu akan tercipta suasana sangat dramatis antara audience dengan si Kompasianer. Akan banyak pembaca atau fans si Kompasianer terharu, matanya berkaca-kaca, meneteskan air mata, menangis meraung-raung sampai guling-guling di lantai, kesurupan, dan lain sebaginya.

Beberapa hari usai press conference itu, mereka masih teringat, terkenang, atau sulit menerima kenyataan. Namun setelah itu, mereka akan kembali hidup normal (tentunya tetap memakai masker, rajin cuci tangan, menghindari kerumunan, dan menjaga jarak).

Lalu bagaimana kelanjutan nasib si Kompasianer? Dia akan terlupakan. Namanya hilang ditelan zaman. Tanpa bekas. Tanpa sisa. Tanpa residu. Tanpa bukti pernah ada. Ini sebuah konsekuensi yang liner dengan maksud semula berhenti menulis sekaligus berhenti jadi Kompasianer.

Muncul pertanyaan ; adakah Kompasianer sejati? Kompasianer sejati merupakan kebalikan dari Kompasianer yang ingin berhenti menulis dengan berbagai alasan tersebut di atas.

sumber gambar ; hipwee.com
sumber gambar ; hipwee.com

Menurut AlPepeb--seorang ahli kompasianalogi-- Kompasianer sejati bukanlah penulis Kompasiana yang tulisannya sering muncul di Kompasiana, sering menulis, rajin menabung dan tidak sombong. Bukan pula penulis yang tulisannya sering dapat label Headline, Pilihan, Terpopuler, NT, dan hadiah K.Rewards, serta beragam rewards dari pihak Kompasiana dan pembaca.

Lebih lanjut AlPepeb menjelaskan bahwa Kompasianer sejati adalah penulis yang walau sering mendapatkan perlakuan tidak nyaman dari para admin Kompasiana, sering merasa tidak nyaman terhadap situasi, kondisi, toleransi Kompasiana, atau bahkan akunnya pernah kena banned admin namun dengan semangat 45 masih mau bikin akun baru dan kembali menulis di Kompasiana dengan berbagai gayanya, baik gaya baru, gaya lama, gaya kupu-kupu, gaya bebas, gaya kamasutra, gaya bertahan, gaya menyerang,  dan lain sebagainya. Inilah sebenarnya Kompasianer sejati!

Kembali ke laptop. Jadi, untuk berhenti menulis dan berhenti jadi Kompasainer itu mudah-mudah sulit, dan sulit-sulit mudah. Namun bisa dilakukan secara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Saya sendiri tidak akan berhenti jadi Kompasianer, tapi artikel ini sementara dihentikan dulu karena ngantuk. Nanti akan disambung lagi bila saya ingat dan kalau niat.

----

peb25072021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun