Sementara Bertje Matulapelwa --yang dijuluki "sang Pendeta" karena pembawaannya dingin-- membawa tim nasional sepak bola Indonesia merebut emas pada SEA Games 1987 dan masuk semifinal atau menduduki peringkat empat Asian Games 1986.
Kedua pelatih itu sangat dekat dengan para pemain timnas Indonesia. Pelatih dan pemain seperti teman dalam keluarga, perjalanan dan perjuangan.
Penerapan sisi humanis dilakukan pelatih dengan melihat talenta setiap pemain, menciptakan kegembiraan dalam tim, kepercayaan diri di lapangan. Semua itu mereka bangun bersama  di dalam tim nasional masa itu.Â
Kedua pelatih itu sempat mendapatkan kritik dari publik sepak bola Indonesia, bahkan dari para pengurus teras PSSI sendiri. Mereka  kuatir para pemain jadi "ngelunjak" atau "pelatih kehilangan wibawa" di mata pemain serta anggota official tim.
Beda Mancini dengan kedua pelatih timnas Indonesia itu adalah pada  pemilihan usia pemain. Mancini sangat berani memilih pemain muda dan relatif belum pengalaman di kancah Internasional. Sementara Sinyo dan Bertje banyak menggunakan pemain yang sudah berusia matang, dan relatif banyak pengalaman Internasional.
Bagaimana dengan Timnas Indonesia dibawah pelatih  Shin Tae-yong saat ini? Sangat jauh dari konsepnya dari Roberto Mancini, Sinyo Aliandoe, dan Berje Malulapelwa.Â
Atas nama disiplin dan kekuatan fisik, Shin Tae-yong sangat keras dan bersikap 'otoriter' terhadap pemain. Mereka seperti obyek, bukan subyek permainan. Mereka bermain layaknya mesin. Kuat tapi tanpa jiwa kegembiraan, talenta yang sebenarnya sangat tinggi namun seperti terkukung, serta  kepercayaan diri yang dibuat-buat (artifisial).Â
Hasilnya ; ketika  jiwa kehilangan fokus, mereka cepat panik dan sulit kembali enjoy dalam bermain, sehingga  sangat mudah dihajar lawan dengan jumlah golyang  banyak saat lawan UEA dan Vietnam.
Mungkin Timnas Indonesia perlu belajar dari cara atau konsep Roberto Mancini yang sudah membuka rahasia keberhasilan Gli Azzuri pada Euro2020.
Kalau Timnas Indonesia berhasil, aku sih rapopo...