"Kekuatan terbesar tim ini bukan hanya karena talenta, namun juga sisi humanis, kegembiraan, dan kepercayaan diri"Â (Roberto Mancini--sumber).
Lewat akun twitter Roberto Mancini @robymancio, pelatih timnas Italia yang sukses membawa negaranya jadi jawara Euro2020 itu akhirnya buka rahasia.
Bila dilihat sepintas, rahasia Roberto Mancini ini tidak ada yang spesial. Sangat umum dan biasa saja. Namun benarkah demikian?
Dalam rahasia Roberto Mancini itu ada tiga point yakni ; Talenta, Kegembiraan, dan Kepercayaan Diri. Â Ketiganya bukan hal mengejutkan. Bukan pula sebuah temuan baru dengan istilah teknis sepak bola modern. Ketiga istilah itu sangat umum dipakai dalam banyak bidang, khususnya manajemen, kepengelolaan organisasi atau tim kerja.
"Kami membuktikan bahwa kami bisa jadi pemain profesional tanpa melupakan sisi kami sebagai manusia..."
Mungkin menjadi hal aneh ketika sepak bola tak menelurkan temuan teknis sepak bola itu sendiri. Karena sepakbola terus berkembang sesuai tuntutan prestasi dan ilmu pengetahuan, riset serta teknologi.
Bandingkan dengan istilah Catenaccio (sistem grendel) era masa lalu sepak bola Italia. Juga rahasia Belanda dengan 'Total Foot Ball' - nya yang melegenda. atau rahasia keberhasilan Spanyol dengan "Tiki-Taka" pada era 2008-2012 yang menjadikan mereka juara Piala Eropa dan Juara Piala Dunia. Seorang diva pelatih seperti Jose Mourinho  mencetuskan diktum "Parkir Bus" dalam sepakbola.              Â
Beberapa istilah tersebut sangat teknis. Setiap orang penggiat sepakbola hampir pasti bisa membayangkan penerapan permainan dan gaya setiap pemain, serta tugas khusus pemain tertentu, beserta segala hal lainnya yang terjadi di lapangan hijau.
Sementara rahasia Roberto Mancini tampak tidak jelas. Terlalu bersifat umum, dan tidak ada novelty - nya. Jangan-jangan Roberto Mancini memunculkan rahasia tersebut karena asal-asalan demia menjawab cepat atas pertanyaan banyak pihak yang ditujukan terhadap dirinya.
Namun hal itu bisa terbantahkan ! Hal yang diungkapkan Roberto Mancini tak bisa dibaca secara parsial, atau sebagian saja. Melainkan sebagai sebuah kesatuan.Â
Wujud nyata di lapangan adalah sebuah cara bermain yang lepas, setiap pemain menjadi dirinya sendiri dengan bekal talenta dan konsep "tugas" yang dibebankan padanya, hasil kesepakatan bersama saat 'meeting' tim sebelum pertandingan.
Dalam 'meeting team' itu Roberto Mancini tidak berlaku sebagai boss besar, bukan tukang perintah, melainkan sebagai fasilitator tim untuk membangun kesepahaman permainan yang akan mereka tampilkan dikaitkan dengan 'gaya'permainan lawan.Â
Setiap lawan yang akan mereka hadapi memiliki cara dan gaya permainan yang khas. Bagi Roberto Mancini dan para pemain asuhannya, berbagai  kekhasan lawan harus dihadapi dengan cara berbeda, yakni dengan menemukan "titik keunggulan dan kelemahannya" nya.
Bangunan dasar mereka adalah kesatuan komponen talenta, kegembiraan dan kepercayaan diri. Inilah yang diramu oleh Roberto Mancini secara penuh perasaan. Perkara skill para pemain sudah bukan lagi persoalan, karena saat terpilih mereka merupakan pemain-pemain dengan skill  yang tak diragukan lagi.
Dalam sejumlah rekaman persiapan tim Italia, terlihat suasana "kebersamaan" dan "meeting team" yang menempatkan setiap individu tim begitu antusias, dan penuh kegembiraan serta humor segar. Ada kesetaraan atau suasan egaliter di dalamnya. Mereka berpikir bersama dan kemudian  bekerja bersama.
Itulah mengapa Roberto Mancini pernah dikecam publik Italia pada awal pembentukan tim ketika dia tak banyak menggunakan pemain bintang, melainkan pemain-pemain muda "masih ingusan", sementara yang mereka hadapi adalah kancah internasional yang keras, prestise dan penuh gengsi!
Mancini paham hal itu. Namun dia lebih tahu potensi besar di dalam setiap pemain yang dipilihnya jadi anggota laskar Gli Azzurri. Roberto Mancini mengolahnya secara detail, penuh perasaan dan profesional tanpa banyak pihak mengetahuinya. Bahkan para pemain Italia itu sendiri tak menyadarinya.
Konsep egalitarian dalam tim seperti Roberto Mancini lakukan ini pernah dilakukan Timnas PSSI masa lalu dibawah asuhan Sinyo Aliandoe dan Berje Matulapelwa.
Sinyo Aliandoe jadi pelatih Timnas Indonesia tahun 1986 yang nyaris lolos ke Piala Dunia 1986 di Meksiko. Indonesia tinggal selangkah lagi, namun di penghujung tahapan mengalami kekalahan lawan Korea Selatan.
Sementara Bertje Matulapelwa --yang dijuluki "sang Pendeta" karena pembawaannya dingin-- membawa tim nasional sepak bola Indonesia merebut emas pada SEA Games 1987 dan masuk semifinal atau menduduki peringkat empat Asian Games 1986.
Kedua pelatih itu sangat dekat dengan para pemain timnas Indonesia. Pelatih dan pemain seperti teman dalam keluarga, perjalanan dan perjuangan.
Penerapan sisi humanis dilakukan pelatih dengan melihat talenta setiap pemain, menciptakan kegembiraan dalam tim, kepercayaan diri di lapangan. Semua itu mereka bangun bersama  di dalam tim nasional masa itu.Â
Kedua pelatih itu sempat mendapatkan kritik dari publik sepak bola Indonesia, bahkan dari para pengurus teras PSSI sendiri. Mereka  kuatir para pemain jadi "ngelunjak" atau "pelatih kehilangan wibawa" di mata pemain serta anggota official tim.
Beda Mancini dengan kedua pelatih timnas Indonesia itu adalah pada  pemilihan usia pemain. Mancini sangat berani memilih pemain muda dan relatif belum pengalaman di kancah Internasional. Sementara Sinyo dan Bertje banyak menggunakan pemain yang sudah berusia matang, dan relatif banyak pengalaman Internasional.
Bagaimana dengan Timnas Indonesia dibawah pelatih  Shin Tae-yong saat ini? Sangat jauh dari konsepnya dari Roberto Mancini, Sinyo Aliandoe, dan Berje Malulapelwa.Â
Atas nama disiplin dan kekuatan fisik, Shin Tae-yong sangat keras dan bersikap 'otoriter' terhadap pemain. Mereka seperti obyek, bukan subyek permainan. Mereka bermain layaknya mesin. Kuat tapi tanpa jiwa kegembiraan, talenta yang sebenarnya sangat tinggi namun seperti terkukung, serta  kepercayaan diri yang dibuat-buat (artifisial).Â
Hasilnya ; ketika  jiwa kehilangan fokus, mereka cepat panik dan sulit kembali enjoy dalam bermain, sehingga  sangat mudah dihajar lawan dengan jumlah golyang  banyak saat lawan UEA dan Vietnam.
Mungkin Timnas Indonesia perlu belajar dari cara atau konsep Roberto Mancini yang sudah membuka rahasia keberhasilan Gli Azzuri pada Euro2020.
Kalau Timnas Indonesia berhasil, aku sih rapopo...
---
Peb20072021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H