Dalam 'meeting team' itu Roberto Mancini tidak berlaku sebagai boss besar, bukan tukang perintah, melainkan sebagai fasilitator tim untuk membangun kesepahaman permainan yang akan mereka tampilkan dikaitkan dengan 'gaya'permainan lawan.Â
Setiap lawan yang akan mereka hadapi memiliki cara dan gaya permainan yang khas. Bagi Roberto Mancini dan para pemain asuhannya, berbagai  kekhasan lawan harus dihadapi dengan cara berbeda, yakni dengan menemukan "titik keunggulan dan kelemahannya" nya.
Bangunan dasar mereka adalah kesatuan komponen talenta, kegembiraan dan kepercayaan diri. Inilah yang diramu oleh Roberto Mancini secara penuh perasaan. Perkara skill para pemain sudah bukan lagi persoalan, karena saat terpilih mereka merupakan pemain-pemain dengan skill  yang tak diragukan lagi.
Dalam sejumlah rekaman persiapan tim Italia, terlihat suasana "kebersamaan" dan "meeting team" yang menempatkan setiap individu tim begitu antusias, dan penuh kegembiraan serta humor segar. Ada kesetaraan atau suasan egaliter di dalamnya. Mereka berpikir bersama dan kemudian  bekerja bersama.
Itulah mengapa Roberto Mancini pernah dikecam publik Italia pada awal pembentukan tim ketika dia tak banyak menggunakan pemain bintang, melainkan pemain-pemain muda "masih ingusan", sementara yang mereka hadapi adalah kancah internasional yang keras, prestise dan penuh gengsi!
Mancini paham hal itu. Namun dia lebih tahu potensi besar di dalam setiap pemain yang dipilihnya jadi anggota laskar Gli Azzurri. Roberto Mancini mengolahnya secara detail, penuh perasaan dan profesional tanpa banyak pihak mengetahuinya. Bahkan para pemain Italia itu sendiri tak menyadarinya.
Konsep egalitarian dalam tim seperti Roberto Mancini lakukan ini pernah dilakukan Timnas PSSI masa lalu dibawah asuhan Sinyo Aliandoe dan Berje Matulapelwa.
Sinyo Aliandoe jadi pelatih Timnas Indonesia tahun 1986 yang nyaris lolos ke Piala Dunia 1986 di Meksiko. Indonesia tinggal selangkah lagi, namun di penghujung tahapan mengalami kekalahan lawan Korea Selatan.