Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bangunan Narasi pada Dikotomi Realitas dan Data

13 April 2021   08:20 Diperbarui: 13 April 2021   08:25 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : trashriotart.tumblr.com

Kini hidup dipenuhi dan dikendalikan beragam narasi, yang secara sadar atau tidak, telah menjajah hidup manusia modern yang lekat dengan kemajuan dunia informasi. Kebebasan berpikir dirampas narasi. Uniknya disisi lain, banyak orang merasa (sudah) nyaman dengan narasi-narasi berkeliaran dan melilit bangunan berpikirnya.

Narasi berasal dari kata latin, narrare yang berarti mengatakan, memberi tahu.  Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), pengertian Narasi adalah sebuah cerita atau kejadian sastra cerita atau deskripsi sebuah kejadian atau peristiwa, kisahan, tema sebuah karya seni. 

Secara sederhana narasi dipahami sebagai suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. 

Narasi merupakan  salah satu jenis teks yang digunakan dalam berbagai kepentingan. Teks bukan semata dialog atau kutipan fiksi atau non fiksi melainkan bentuk pengembangan paragraf sebuah teks tentang rangkaian peristiwa dan waktu berupa pembentukan informasi, pelaporan, atau penciptaan deskripsi yang imajinatif,  reflektif, sugestif, estetis, dan memuat konflik. 

Narasi berusaha "menggambarkan dengan sejelas-jelasnya" kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi sehingga pembaca bisa larut dan merasakan berada pada keadaan tersebut. Di dalamnya, unsur cerita dan discourse (text dan context) yang memuat struktur atau anatomi cerita dan tokoh. 

sumber gambar : weheartit.com
sumber gambar : weheartit.com
Narasi bisa terbentuk dari persepsi. Bisa pula sebaliknya, yakni persepsi terbentuk dari narasi. Mempertanyakan terbentuknya narasi dan persepsi seperti mengulik "Mana yang duluan muncul, telur dan anak ayam?" heu..heu..heu.... 

Lalu, untuk apa narasi diciptakan? Jawabannya tergantung kepentingan pihak yang menciptakan narasi, serta sumber informasi apa yang dipilih dan jadi pendukungnya.

Dalam dunia politik, peran narasi sangat vital.  Dengan narasi itu, lembaga politik menciptakan pemikiran tertentu dari isu-isu tertentu, kemudian dengan upaya tertentu pemikiran itu ditanamkan  di benak publik. Tujuan narasi itu tentunya mendapatkan segala kemungkinan yang bermuatan untuk memberikan kontribusi positif bagi lembaga politik atau pelaku politik tersebut. 

Pada dunia ekonomi-bisnis, misalnya terkait citra produk, profesionalitas, kepengelolaan, dan lain lain.  Dalam dunia media, Kompasiana bisa dikategorikan sebagai bagian dari kumpulan narasi yang dibuat para Kompasianer (penulis), difasilitasi admin dan dikonsumsi para pembaca Kompasiana. 

Banyak isu dan pemberitaan yang beredar bersumber dari realitas atau fakta. Fakta itu kemudian menjadi data yang dikemas dengan berbagai bentuk, bisa berupa tulisan, audio visual dan lain sebagainya sehingga membentuk narasi-narasi yang bisa saja bersifat liar dengan tujuan sangat produktif pada suatu hal, namun jadi kontraproduktif terhadap hal lainnya. 

Ketika kemudian narasi terbentuk, realitas yang dinyatakan dalam data seringkali tidak lagi merepresentasikan realitas sesungguhnya, yang memunculkan dikotomi realitas dengan data, yang jadi perdebatan (discourse) di ruang publik. 

Peristiwa acara pernikahan Atta-Aurel, yang dihadiri tak hanya elit selebritis, namun juga elit politik negeri ini, dari ketua partai, menteri sampai presiden membentuk narasi-narasi kompleks "penuh konflik" di ruang publik. Realitas yang terhampar di ruang peristiwa atau gedung pernikahan tak lagi sepenuhnya menjadi representasi realitas sesungguhnya di ruang publik, melainkan realitas baru yang mem-viral dari hasil produksi narasi-narasi publik yang tak sepenuhnya independen di tengah tekanan arus informasi, godaan discourses dan faktor lainnya. 

Agar tidak sepenuhnya dijajah atau dikendalikan narasi dari luar, setiap orang secara personal harus melakukan upaya ekstra yakni  rajin mengumpulkan  informasi (pemberitaan) yang valid dari berbagai sumber terpercaya (cara komprehensif), kemudian membandingkannya untuk membentuk narasi yang integralistis dan valid. 

Kenapa secara personal? karena yang pertama dijajah adalah personalitas. Dengan begitu, konsep berpikir kita relatif lebih independen walau tidak sepenuhnya bisa lepas dari narasi-narasi luar yang masif dan sudah ada di sekeliling kita. Memiliki independensi merupakan sebuah eksistensi diri atau sebuah kemerdekaan itu sendiri.

----

pb013042021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun