"Menulis kenangan berkompasiana tak akan pernah habis bahan. Begitu banyak kenangan tertoreh. Untuk mengungkapkannya tak cukup satu tema dan judul. Namun semua itu bisa disatukan menjadi sebuah catatan tersendiri---bukan berbentuk highlight, melainkan mozaik."
Tulisan diatas merupakan paragraf pembuka dari tulisan lawas milik saya, judulnya "Berkompasiana, Transformasi Diri Menuju Ruang Sehat Rasa dan Logika", diposting 17 November 2017. Tulisan itu jadi pemenang Blog Competition dalam rangka Ulang Tahun Kompasiana ke 9. Hadiahnya uang 1 juta rupiah.Â
 "Traktir dong, beib"
"Oga, ah"
"iih, peliiit"
"Biarpun...eeh biarin! Heu heu heu..."
Saya sengaja mencari tulisan itu ketika akan menulis soal Kompasiana yang berulang tahun ke 12. Pasalnya, pertama ; Sependek daya ingat, saya pernah menuliskan secara serius soal relasi saya dengan Kompasiana di dalam perjalanan dunia kepenulisan---yang menempatkan relasi saya dengan Kompasiana pada situasi "Kenangan indah yang terlalu manis untuk dilupakan".Â
Kedua, saya sedang tidak punya ide menuliskan tentang apa untuk HUT Kompasiana ke 12 ini. Kata Al Pepeb--alter ego saya ; "Saat kamu sedang tidak punya ide, sebenarnya saat itu kamu sedang kaya ide. Hanya saja  saat itu kamu lupa jumlah dan tempat ide itu berada". Bukankah orang kaya sering lupa? Heu heu heu..!
Betulkah itu Anii?
"Iya dong ! Tanya saja berapa jumlah celana dan bajunya, pasti lupa! Heu..heu..heu.."
"Kalau masih ingat, berarti dia belum kaya. Nah, kalau ingin dikategorikan orang kaya, jadilah orang yang lupa jumlah baju dan celana sendiri. Niscaya kau akan bahagia".Â
"Kok bisa?"Â
"Emang kagak pusing kalo kepikiran celana hilang satu, beib? Sementara elu tahu masih banyak celana elu yang akan hilang? Heu heu heu..."
"Ada satu hal lagi, dan ini sangat rahasia dan sensitif. Apa itu? Kemarin saya lupa tanggal ulang tahun Kompasiana! Untung beberapa teman di grup WA mengingatkannya". Mohon teman-teman Kompasianer tidak membocorkannya kepada para admin. Saya kuatir dianggap tidak perhatian. Â Selama 6 tahun ke-kompasianer-an saya, Kompasiana telah banyak memberi dan membesarkan saya di jagat Kompasiana. Saya tidak ingin disebut Kompasianer durhaka. Saya ingat pepatah bijak "Sekejam-kejamnya admin Kompasiana tidak sekejam ibukota" . Pepatah bijak lainnya katakan; "Sepandai-pandainya Kompasianer jarang menulis, akhirnya menulis juga" .Â
Kembali ke laptop. Kompasiana telah menjadikan saya orang kaya. Diberikannya saya pendidikan gratis cara menulis sekaligus ruang menulis. Bukan cuma itu, duit pun saya dapatkan, belum lagi baju kaos, dan berbagai mechandiser dan "nama besar".
"Gaya lu, Peb!"Â
"iiih...biarpun!...eeh, biarin. Ingatlah pepatah bijak mengatakan ; "Pujilah dirimu sendiri sebelum engkau dipuji orang lain"
Kaya tak berarti berlimpah ruah materi, namun bisa berupa hal non materi yang mampu membentuk transformasi diri ke arah positif. Ini penting didalam dinamika hidup seseorang secara personal, maupun sebagai personal di dalam lingkungannya.Â
Dulu sebelum jadi Kompasianer kalau menulis akan tergagap dan tergugup menuangkan ide, setelah jadi Kompasianer jadi sakau menulis. Bukan cuma bisa menulis, tapi juga membangun relasi, memperkuat interaksi, dan menempatkan diri secara santuy di dalam relasi-interaksi tersebut. Bahkan kemudian bisa menulis secara "Beyond Blogging". Apa itu? Jadi penulis yang nyebelin! Hua ha ha ha!
Transformasi merupakan sebuah proses dinamis, yakni perubahan yang terjadi secara terus menerus didalam tantangan dinamika lingkungan tanpa menghilangkan jati diri. Disinilah perlunya peran ruang menulis seperti Kompasiana. Di dalamnya ada para admin, aturan berkompasiana, para pembaca dan penulis aktif (Kompasianer), dan lain-lain yang membentuk "kelembagaan bersama" dan "pranata kepenulisan" blog modern.Â
Dengan pranata itu transformasi diri jadi lebih tertata dan memiliki tujuan (yang bersifat relatif). Lebih lanjut, transformasi itu menjadikan diri kita memiliki tambahan daya terhadap berbagai tantangan lain di dalam perjalanan kehidupan personal dan sosial.
Setiap Kompasianer memiliki dinamika perjalanan hidup yang unik (relativistik) membentuk mozaik-mozaik tersendiri, yang tersimpan dalam benak dan hati nurani. Akan diapakan mozaik itu? Terserah setiap individu. Suka atau tidak suka, disengaja atau tidak disengaja Kompasiana jadi bagian mozaik itu!
Kalau pun seseorang sudah berhenti menulis di Kompasiana, mozaik itu tidak akan hilang. Â Kamu bisa saja berhenti menulis di Kompasiana, tapi kamu tidak bisa menghilangkan label Kompasianer yang melekat di dirimu. Begitu kamu punya akun Kompasiana dan menghasilkan tulisan, maka saat itulah kamu jadi Kompasianer. Apakah kalau menghapus akun dan tulisan di Kompasiana bisa menghilangkan label Kompasianer? Tidak!
Secara administratif  kamu (cuma) tidak lagi punya akun Kompasiana, tapi sebutan Kompasianer tidak bisa hilang karena sekian lama dan sekian banyak relasi-interaksi  yang terbangun di Kompasiana telah melabelkan diri kamu sebagai Kompasianer. Minimal, secara sadar atau tidak sadar kamu sendiri melabel dirimu sebagai Kompasianer layaknya Kompasianer lain. Label itu kemudian tersimpan di dalam memorimu.
Seorang bisa saja menghapus tulisan dan akun Kompasiananya. Tapi orang lain tetap mengenalnya sebagai Kompasianer. Â Seseorang bisa saja mengingkari kekompasianerannya di muka banyak orang, tapi hatinya tidak bisa diingkari. Mengapa? Karena proses menulis (di Kompasiana) merupakan suatu bagian dari pembentukan cara berpikir yang masif. Hasilnya sebuah tulisan (dan kemampuan menulis). Tulisan bisa dihilangkan, tapi apa yang telah membentuknya tidak bisa hilang. Pembentuknya secara otomatis tersimpan di dalam rasa dan pikiran (ruang memori).Â
Kamu tadinya tidak bisa membaca dan menulis, lalu belajar sehingga bisa membaca dan menulis. Pada suatu waktu dan peristiwa kamu menghilangkan/menghapus karya tulisanmu, tapi kamu tidak bisa menghilangkan sama sekali kemampuan membaca dan menulis yang telah kamu dapatkan "secara susah payah" . Kamu tidak bisa kembali ke awal kamu tidak bisa membaca dan menulis.Â
Transformasi tidak mengisyaratkan kembali ke titik awal (ketiadaan), melainkan melangkah maju terhadap berbagai tantangan perubahan. Didalam berbagai tantangan itu setiap manusia memiliki daya Resiliensi, yakni kemampuan beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit.Â
Didalam Resiliensi itu terdapat komponen (yang bersifat relatif pada setiap individu), yakni ; regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, peningkatan aspek positif.Â
Tidak ada satupun individu  memiliki kemampuan keseluruhannya secara sempurna, namun setidaknya ruang resiliensi itu membentuknya jadi sosok kuat di dalam proses transformasi diri. Â
Berkompasiana yang telah atau pernah dijalani suka tidak suka telah berkontribusi di dalamnya. Disitulah label Kompasianer tak bisa dihilangkan. Kalau sudah meninggal bagaimana? Ya..disebut almarhum Kompasianer, bukan mantan Kompasianer.Â
"Kok serius dan serem amat, Peb?"
Begitulah Kompasiana, bukan barang main-main. Kalau pun dijadikan barang mainan, mainannya serius.Â
"Trus, Â soal serem?"
Tidak ada yang serem. Serem itu kalau sama sekali berhenti menulis, apalagi untuk ulang tahun Kompasiana. Nanti dianggap durhaka, trus didapuk jadi admin! Â Hahahaha!
Saya sekarang memang sudah jarang menulis di Kompasiana, tapi tidak berhenti menulis karena saya tidak bisa menghilangkan label diri sebagai Kompasianer. Pertanyaan selanjutnya, kenapa jarang menulis? "iih mau tau aja! Heu heu heu..."
Selamat Ulang Tahun Kompasiana ke 12 tanggal 22 Oktober 2020. Semoga selalu Beyond Blogging. Jaya di darat, laut dan udara. Jaya di dunia maya dan dunia nyata. Jaya di hati setiap himpunan mozaik "para aku dan para kamu".
----Â
Peb25Okt2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H