Gibran punya hak politik, sementara Jokowi punya potensi dibenci banyak orang
Gibran Rakabuming Raka anak sulung presiden Jokowi makin dekat menduduki kursi walikota dalam Pilwakot Solo 2020. Walau mendapat "penolakan" dari DPC PDI Solo, Gibran pantang putus asa dengan cara mendatangi rumah kediaman Megawati, ketua PDI Perjuangan.Â
Kalau ibu Megawati jatuh hati pada Gibran, maka  DPC PDI Perjuangan Solo akan gigit jari. Gibran pun akan melenggang di kontestasi Pilwakot.
Peluang Gibran untuk menang sangat besar. Dia punya tiga bekal utama yakni pertama populer. Kedua, masih inocent atau belum tercemar atau punya integritas. Ketiga, punya gizi berpolitik yakni simpatisan dan dana.
Untuk memenangkan Pilwakot Solo relatif mudah bagi Gibran, tapi yang sulit adalah ketika sudah menang. Bukan soal tugas sebagai walikota, melainkan keberadaan Presiden Jokowi yang merupakan ayahnya.Â
Saat ini presiden Jokowi sedang dalam sorotan tajam terkait sejumlah langkah politiknya yang tidak populis misalnya mendukung revisi UU KPK. Hal yang terkini soal pembentukan kabinet yang aneh.Â
Banyak menteri yang dianggap tidak pada tempatnya, menteri yang dianggap publik berprestasi justru ditendang atau tidak masuk kabinet baru, serta sejumlah kelompok politik dan ormas tidak merasa diwakili dalam kabinet.
Ada yang beranggapan bahwa Jokowi sangat ugal-ugalan dalam mengelola negara ini. Ini ekuivalen dengan pemikirannya untuk "tidak terjebak dengan rutinitas monoton" dalam bekerja di pemerintahan. Karena sikap tegasnya, sebagian publik ada yang menilai Jokowi otoriter.
Zona nyaman yang telah lama dinikmati sebagian kelompok publik diobrak-abrik Jokowi dengan kebijakan baru. Semua itu menjadikan posisi Jokowi disorot tajam, dan berpotensi menjadikan dirinya makin dibenci banyak orang.Â
Ketika kemudian Gibran yang sebelumnya lebih aktif di sektor swasta dan terlihat tak berminat masuk politik, hal itu tadinya menjadi satu point positif Jokowi yang tak melibatkan keluarganya dalam  pemerintahan maupun kegitan proyek negara.
Namun perkembangan kemudian tak ada angin tak ada hujan Gibran mencalonkan diri jadi walikota. Publik menjadi merasa kecolongan terhadap sepak terjang keluarga Jokowi. Terlepas dari hal setiap orang dalam politik, publik tak mau tahu.Â
Mereka melihatnya dari aspek perasaan dan subyektifitas. Hal ini berpotensi menjadi bahan bakar bagi kelompok yang kecewa pada Jokowi untuk menghidupkan sentimen kebencian pada Jokowi. Tentu saja cara dan tujuannya tersembunyi. Â
Pada akhirnya Gibran jadi walikota, Jokowi pun dibenci. Kalau hal itu terjadi, maka situasi sosial politik di dalam masyarakat tak beda dengan masa pilpres lalu. Sel-sel kebencian yang tadinya mulai redup pasca pilpres seperti mendapatkan energi baru  dari inang yang baru pula.
Kemungkinan Gibran sudah membaca hal tersebut, namun dia justru tetap nekad  maju, tentunya dengan berbagai pertimbangan yang tak terbaca publik.Â
Satu hal yang bisa mengeliminir nya andai kelak  menjadi walikota Solo adalah membuat trobosan yang jauh lebih hebat dari Jokowi ketika dulu menjadi walikota Solo.  Kalau perlu, Gibran menolak sejumlah kebijakan Presiden Jokowi yang tidak relevan demi kebaikan masyarakat Solo.Â
Mungkin rakyat bisa terhibur bila menyaksikan perseteruan Ayah vs Anak di politik yang berbeda level jabatan. Satu presiden, dan yang satu lagi cuma walikota.
"Betulkah itu Oma?"
"Aku masih ragu, Ani. Tapi..."
"Apa, Oma? katakanlah..."
"Aku rapopo, Ani"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H