Namun perkembangan kemudian tak ada angin tak ada hujan Gibran mencalonkan diri jadi walikota. Publik menjadi merasa kecolongan terhadap sepak terjang keluarga Jokowi. Terlepas dari hal setiap orang dalam politik, publik tak mau tahu.Â
Mereka melihatnya dari aspek perasaan dan subyektifitas. Hal ini berpotensi menjadi bahan bakar bagi kelompok yang kecewa pada Jokowi untuk menghidupkan sentimen kebencian pada Jokowi. Tentu saja cara dan tujuannya tersembunyi. Â
Pada akhirnya Gibran jadi walikota, Jokowi pun dibenci. Kalau hal itu terjadi, maka situasi sosial politik di dalam masyarakat tak beda dengan masa pilpres lalu. Sel-sel kebencian yang tadinya mulai redup pasca pilpres seperti mendapatkan energi baru  dari inang yang baru pula.
Kemungkinan Gibran sudah membaca hal tersebut, namun dia justru tetap nekad  maju, tentunya dengan berbagai pertimbangan yang tak terbaca publik.Â
Satu hal yang bisa mengeliminir nya andai kelak  menjadi walikota Solo adalah membuat trobosan yang jauh lebih hebat dari Jokowi ketika dulu menjadi walikota Solo.  Kalau perlu, Gibran menolak sejumlah kebijakan Presiden Jokowi yang tidak relevan demi kebaikan masyarakat Solo.Â
Mungkin rakyat bisa terhibur bila menyaksikan perseteruan Ayah vs Anak di politik yang berbeda level jabatan. Satu presiden, dan yang satu lagi cuma walikota.
"Betulkah itu Oma?"
"Aku masih ragu, Ani. Tapi..."
"Apa, Oma? katakanlah..."
"Aku rapopo, Ani"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H