Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kompasiana, Pembentuk Penulis "Ecek-Ecek" Jadi "Penggocek"

28 Oktober 2019   02:02 Diperbarui: 28 Oktober 2019   02:20 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : pinterest.com

Jaman belum ada teknologi informasi khususnya media sosial, bila ada suatu pemikiran, uneg-uneg atau rumor maka orang cenderung menghabiskan waktu bergosip atau ngobrol dengan kerabat dekat atau tetangga. 

Produknya adalah debat kusir atau pembicaraan 'ngalor-ngidul' sampai mulut berbuih-buih, urat leher mencuat seperti jaringan kabel, mata melotot antara kegirangan dan kemarahan. 

Setelah itu redup karena lelah. Kalau pun di kemudian hari energi gosip masih tersisa, powernya sudah berkurang dibanding sebelumnya. Tak ada yang baru selain pengulangan ditambah bumbu subyektifitas tanpa didasarkan pada referensi yang valid. Lama-lama membosankan dan hilang.

Daya sebar "hasil pemikiran/pembicaraan"  tersebut tidak begitu luas. Jangkauannya terbatas langkah. Tidak bisa cepat menyebar ke wilayah yang luas. 

Jaman setelah munculnya media sosial (fb, twitter, instageam, dll) fenomena gosip/ rumor/pemikiran/uneg-uneg jadi lebih mendapatkan tempat yang nyaman. Daya sebarnya  mengalami revolusi yang luar biasa. Setiap orang bisa melepaskan peluru "semau gue". Tak terbatas waktu, jarak dan tempat.

sumber gambar : pinterest.com
sumber gambar : pinterest.com
Satu hal yang istimewa yakni terjadi transformasi bentuk dan 'habit" dari produk  omongan  yang bikin mulut berbusa menjadi tulisan! Setiap orang yang tadinya "tukang omong" dipaksa menjadi "tukang tulis". Mereka pun mendapat sebutan  keren, yakni Netizen (warganet).

Soal panjang atau pendek tulisan itu bukan masalah, yang penting puas dan hepiii ! #eeh...maksudnya semua orang seolah mencapai maqam tertinggi dirinya ketika menuliskan uneg-uneg dan dibaca oleh jejaring tak sebatas kerabat dekat melainkan teman maya yang seringkali tak jelas identitas dan asal usulnya.

Sebagai Netizen, setiap orang punya previlege untuk menuangkan hasil pemikirannya  dalam bentuk tulisan, baik itu sebagai pembuat "status", maupun "tukang komen".

Ditengah maraknya media sosial yang "riuh" tanpa suara tapi memiliki daya sebar dan dobrak terhadap berbagai isu-isu itulah Kompasiana lahir.

Kompasiana hadir seolah-olah jadi kompetitor media sosial, namun sebenarnya sebuah media pilihan untuk penuangan gagasan yang bermartabat dalam ber "uyel-uyel"an  antar sesama Netizen. Mirip yang terjadi medsos, namun "terseleksi" oleh sistem dan habitus yang ada di Kompasiana.

Habitus itu menjadi pembeda Kompasiana dengan media sosial biasa. Kompasiana masuk kategori atau menamakan diri sebagai platform blog.

Rimba raya kepenulisan di media sosial sangat bebas dan liar berisi beragam tingkatan kemampuan "tukang tulis". 

Di Media sosial banyak penulis "ecek ecek" yang tidak bisa naik status lebih baik karena berbagai sebab, pertama ; suasana liar media sosial tak menuntut netizen penulis ecek ecek meningkatkan dirinya.  Mereka juga harus liar. Selain itu-- bisa jadi--si netizen tidak punya niat mengubah dirinya.

Kedua, sifat serba instan media sosial sangat kental. Setiap netizen ingin hasil produk tulisannya cepat dilempar ke rimba media sosial untuk "mendapatkan hasil" berupa reaksi jejaringnya. Rimba itu bagai pasar, tempat jual beli tulisan "status dan komen"

Ketiga, keterbatasan ruang menulis atau jumlah huruf yang bisa diketik. Kalau pun punya ruang luas, dikuatirkan tidak populer. Tidak dibaca netizen lainnya, karena sifat instan netizen malas membaca status yang panjang, kecuali bila si Netizen memiliki kemampuan menulis yang baik dan  menarik.

sumber gambar : paperdino.com.au
sumber gambar : paperdino.com.au
Bagaimana dengan Kompasiana? 

Banyak penulis di Kompasiana (psst..termasuk saya, heuheuheu..) pada awalnya menulis secara ecek ecek ala media sosial. Secara sadar atau tidak, habitus penulis media sosial masih terbawa masa awal berkompasiana. Pengennya nulis semau gue or  sak karepe Dewi... eeh dewe.  Tidak perduli tata bahasa, pilihan kata dan kalimat untuk membentuk diksi yang menarik,  dan lain sebagainya. Pokoknya nulis apa yang ada dibenak, dan berharap dibaca banyak orang. 

Menulis semau gue ala media sosial itu tidak salah. Tidak dilarang sejauh mematuhi aturan yang berlaku di Kompasiana. Toh, sampai Kompasiana beyond blogging tidak melarang masuknya para penulis "berkemampuan atau bertabiat ecek-ecek". Yee kaann, mas/mbak admin? Heu heu heu...

Tapi...

"Percayalah, Ani !"

"Apa maksudmu, Oma?" 

"Begini, Ani"

Setiap penulis  ecek-ecek yang masuk Kompasiana lama kelamaan hampir dipastikan ingin naik status menjadi penggocek, yakni dengan cara membuat tulisan yang baik dan menarik,  dengan kaidah-kaidah kepenulisan yang populer tanpa menghilangkan ciri khas si Kompasianer. 

Penulis penggocek merupakan penulis yang bisa enjoy membangun diksi secara menarik, setiap kata dan  kalimat terasa hidup, menjadi candu bagi pembacanya dalam menuntaskan tulisan tersebut. 

Ada suatu energi yang membuat seorang penulis Kompasiana tak mau selamanya "ecek-ecek". Energi itu berangkat dari suatu situasi sesama penulis saling melihat, mengamati, dan saling belajar tulisan temannya. "Kok,  tulisan si Anu bisa menarik banyak orang,  ya? Kok diksinya bisa bagus gitu, sih? Kok bisa efektif dalam penggunaan kata, ya? Kok tulisan si anu bisa sangat nganu sehingga dibaca banyak orang sampai ternganu-nganu?" Padahal isu yang ditulis itu relatif sama dengan yang kita tulis !

Mereka tanpa sadar dibawa "secara paksa" masuk dalam habitus menulis secara beradab. Wooiii ! Apaan seh?

Tulisan yang beradab adalah tulisan yang tak semata celoteh pendek seperti di medsos pada umumnya. Tulisan beradab itu dibangun berdasarkan argumentasi yang kuat, terstruktur, faktual, imaginatif yang dibekali referensi valid, sehingga pembaca mendapatkan sebuah perspektif baru tentang suatu hal tertentu. Tulisan itu memperkaya wawasan penulis dan para pembaca, sekaligus menjadikan si Penulis tak lagi ecek-ecek.

sumber gambar : technicaly.ly.com
sumber gambar : technicaly.ly.com
Dalam menulis, kita tak selalu harus setuju pada suatu isu, fakta dan opini yang sudah menjadi mainstream. Kita boleh tidak setuju bahkan menolaknya. Namun demikian, kita harus membangun argumentasi  ketidaksetuan itu secara komprehensif. Misalnya presiden membuat keputusan menurunkan harga BBM 50 persen dari harga sekarang. Kemudian membagikan paket kuota internet gratis kepada rakyat dibawah usia 17 tahun. Selain itu, membagikan Gopay sebesar 200 ribu per orang. 

Kebijakan itu merupakan kebijakan populis. Hampir setiap orang di negara ini sangat mendukung  sehingga menciptakan arus mainstream di ruang publik. Sementara, kamu berpikir lain, dan tidak setuju!  Nah, ketidaksetujuan itu sejatinya ditulis secara beradab, sesuai dengan kriteria beradab tersebut diatas. Ada pesan unik yang kamu sampaikan kepada pembaca/publik dalam bentuk tulisan, baik fiksi maupun non fiksi.

Disinilah pertaruhan kamu sebagai penulis, apakah cuma ecek-ecek atau telah jadi penggocek.

Kompasiana telah hadir 11 tahun ditengah persaingan dalam rimba raya dunia maya, khususnya media sosial. Telah banyak penulis ecek-ecek yang dijadikannya penggocek, termasuk saya. Di  usia Kompasiana yang ke 11 ini, kita bisa melihat roadmap atau mailstone  tulisan kita sejak awal masuk Kompasiana hingga kini. Apakah kita masih 'ecek-ecek' atau sudah menjadi 'penggocek'? Kalau sejak awal masuk sudah jadi penggocek, apakah turun jadi ecek-ecek, atau naik menjadi kampiun penggocek? 

"Hah? Benarkah itu, oma?"

"Benar, Ani. Kalau kau tak percaya, belahlah dadaku. Aku sih rapopo..."

----

peb28/10/2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun