Dalam polemik empati/tidak empati musibah Wiranto, penggunaan hak kebebasan berpendapat dalam demokrasi seolah tak lagi mengenal batas. Demokrasi hanya dipahami sebagai kebebasan substansial, tanpa batas sebagai manusia merdeka.Â
Namun mereka melupakan bahwa Demokrasi (kebebasan) diciptakan untuk mengangkat kemanusiaan. Demokrasi bisa mengangkat kemanusiaan dengan berbagai perangkat, misalnya baju si manusia dalam kultur bersama, dan lain sebagainya.Â
Baju tersebut misalnya baju religiusitas, baju sebagai warga negara, baju sebagai orang tua, baju dalam jabatan institusi, baju ketokohan sosial kemasyarakatan, dan lain-lainnya yang  menempatkan dirinya sebagai manusia yang sesungguhnya. Manusia yang beradab. Bukan manusia primitif.
Munculnya polemik musibah Wiranto di satu sisi merupakan bagian dari iklim demokrasi. Namun disisi lain dukungan pada celaan/nyinyiran/ hujatan oleh Hanum Rais dan istri-istri anggota TNI terhadap musibah Wiranto atas nama demokrasi merupakan pemahaman demokrasi yang salah, yang menjadi petanda kurangnya pendidikan demokrasi (dan politik) di dalam masyarakat.Â
Sejatinya pendidikan demokrasi dan politik bisa dilakukan kepada semua warga negara sejak usia dini di lembaga sekolah, dan berbagai institusi kemasyarakatan lainnya. Sekolah, istitusi pendidikan serta institusi formal non formal  harus berani mengajarkan ilmu politik dan demokrasi dalam ranah ilmu/mata studi khusus.Â
Kita berharap tidak akan  muncul kasus serupa yang bisa mendegradasi operasionalitas Demokrasi di Indonesia yang merupakan salah satu negara Demokrasi  terbesar di dunia.
Ini PR besar pemerintahan Jokowi.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H