Kini setiap orang orang bisa berteriak menyuarakan demokrasi, bahkan sampai ke liang kubur tetangga yang dibencinya.
Menkopolhukam Wiranto dan beberapa anggota kepolisian di dekatnya ditimpa musibah penusukan oleh dua orang berpaham radikalis. Nyawa mereka terancam, hampir tewas.Â
Namun yang diterimanya bukan empati justru komen bernada nyinyiran (pencelaan) dan tuduhan "settingan" yang berpotensi menjadi hoaks di ruang publik. Â
Cuitan tidak simpati muncul dari Hanum Rais,seorang tokoh politik perempuan. Tak lama berselang, beberapa orang istri anggota TNI melakukan hal yang relatif sama lewat akun media sosial.Â
Kontroversi muncul bukan semata sikap tidak simpatik mereka, melainkan juga tentang hak menyatakan pendapat setiap orang dalam iklim demokrasi.
Sebagian publik mengecam Hanum Rais dan istri-istri anggota TNI tersebut karena dinilai tidak etis. Tidak bermoral. Tidak sesuai aturan tertentu. Bahkan untuk istri-istri anggota TNI tersebut dinyatakan tidak sesuai aturan lembaga TNI sehingga suami mereka mendapatkan sangsi administratif pencopotan jabatan dan kurungan.
Atas nama demokrasi, ada sebagian publik "mendukung" Hanum Rais dan istri-istri TNI tersebut. Dalam pemahaman mereka, siapapun (orang tau institusi) tidak boleh melarang seseorang menyatakan pendapatnya di ruang publik.
Soal sikap empati atau tidak simpatik dalam menanggapi suatu peristiwa di ruang publik itu hak setiap orang. Orang tidak bisa dipaksa untuk memberikan empati pada orang lain yang menderita kemalangan. Itukah "Demokrasi?
Saat ini banyak kelompok dan faham yang merupakan oposan negara. Secara politik mereka mengambil jarak terhadap kebijakan politik berserta simbol-simbol negara.Â
Wiranto yang merupakan tokoh politis, pejabat negara dan representasi negara mau tak mau tak mau terkena "sikap kritis atau oposan" sebagian warga di ruang Demokrasi. Â