Dari tragedi 98 itu lahirlah Era Reformasi, sebuah era yang kini kita nikmati. Era kebebasan berpolitik, berserikat dan berkumpul. Namun disisi lain memunculkan banyak kritik terhadap kebebasan itu sendiri.
Kebebasan bersuara dan berpolitik sebagai anak kandung gerakan reformasi kini berbalik arah, yakni  menuntut ibu kandungnya untuk melahirkan reformasi reformasi lain. Sebuah reformasi yang tak lagi murni impian kolektif bangsa ini, melainkan ambisi kepentingan kelompok. Penggeraknya justru sejumlah tokoh yang dulu aktif terlihat pada gerakan reformasi 98. Mereka "tak lagi seperti yang dulu" karena polarisasi kepentingan kelompok dimana mereka berpijak usai tregedi 98.
Celakanya, kelompok tersebut beranak pinak dan menjadikan era reformasi saat ini sebagai tunggangan perjuangan kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan mengatasnamakan kolektifitas rakyat Indonesia.
Disitulah simpul permasalahan terbesar yang menjadi PR yang tak pernah selesai bagi siapa pun Presiden RI yang berkuasa.
Sasaran Tembak Sepanjang Zaman
Setiap era presiden seolah ditakdirkan untuk menjadi penanggungjawab turunan sejarah tragedi 98. Presiden tersebut seperti menjadi tukang hutang PR (pekerjaan rumah) yang tak pernah selesai. Nasib kepresidennya seringkali berada dalam posisi kritis ketika memikul nasib sebagai tukang hutang turunan reformasi.
Persoalannya adalah sebagian elemen masyarakat menganggap empat fenomena besar Tragedi 98 belum selesainya, khususnya pada bagian persoalan kejahatan kemanusiaan. Sementara di sisi lain, waktu terus berjalan menjauhi momentum asli Tragedi 98. Kini jaraknya semakin lebar, yakni  21 tahun!
Apa yang bisa dilihat dari rentang jarak 21 itu? Kelahiran demi kelahiran berbagai perspektif sejarah!
Perpektif sejarah 98 merupakan sebuah keniscayaan karena perspektif sejarah selalu tumbuh dan berkembang bersama waktu yang terus berjalan.
Perpektif sejarah inilah kemudian menjadi bahan bakar yang selalu menghidupkan keabadian Tragedi 98. Salahkah? Sejatinya, Tidak. Karena perspektif sejarah menawarkan dimensi etis: rasa legowo, rekonsiliasi, dan pembelajaran anak bangsa terhadap masa lalu untuk menjadikan masa depan yang lebih baik.
Namun disisi lain, perspektif sejarah ini dimainkan oleh berbagai kelompok politik tadi menjauhi dimensi etisnya. Tujuan mereka untuk mendapatkan atau melenggangkan konsesi  kekuasaan,  ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Untuk meraih semua itu, maka mereka membutuhkan sasaran tembak.