"Siapapun Presiden RI-nya, pekerjaan rumahnya tetap Tragedi 98."
Adigium 'ngasal' saya itu sepertinya mendekati "kebenaran teori" berdasarkan data empiris dari rangkaian realitas politik dari dulu hingga kini yang kasad mata. Ini tidak main-main. Dan main-main sebaiknya tidak dilakuan terus menerus karena pertaruhannya adalah kesia-siaan energi presiden, keselamatan anak bangsa dan keutuhan NKRI.
Tragedi 98 sudah 21 tahun berlalu. Sudah melewati 5 orang Presiden RI. Dari Habibie, Gusdur, Megawati, SBY, hingga Jokowi. Namun tragedi itu tak pernah selesai, selalu ditagih oleh sejarah. Setiap presiden yang menjabat diposisikan sebagai Kreditor (tukang hutang) sejarah tragedi 98.
Tragedi 98 merupakan bagian sejarah yang  kelam bangsa Indonesia. Memuat beragam potret kekejaman yang sulit dimaafkan, mengoyak dimensi etika dan moral ruang kemanusiaan, keadilan dan  kebangsaan. Bila dirinci, akan menampilkan empat fenomena (kejadian) besar.
Pertama, demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran sepanjang sejarah republik ini. Demonstrasi itu membentuk People Power yang terstrukur dan masif berisi tuntutan perubahan politik dan pemerintahan negara RI.
Kedua, kejahatan kemanusiaan pembunuhan (penembakan) mahasiswa, penculikan aktivis dan pemerkosaan masal terhadap satu etnis tertentu. Selain itu juga penjarahan besar-besaran dengan pembiaran oleh aparat hukum.
Ketiga, hancurnya perekonomian rakyat dan negara yang mengakibatkan timbul pengangguran besar-besaran karena PHK massal tersebab krisis moneter dalam negeri. Selain itu, jatuhnya eksistensi Indonesia diantara bangsa-bangsa di dunia karena krisis multidimensi bangsa sehingga hilangnya kepercayaan luar negeri terhadap bangsa dan negara Indonesia.
Keempat, jatuhnya pemerintahan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Pemerintahan itu disebut-sebut sebagai rezim otoriter.
Tragedi 98 Memangsa Nilai Sejarah Induknya Sendiri