"Saya ingin sampaikan sama Anda bahwa Pak Jokowi pemimpin yang egaliter yang selalu mendahulukan kebersamaan, kadang-kadang kami memang repot karena teralu banyak rapat, kadang-kadang 1 tahun 200 kali. Tapi ini salah satu ciri pemimpin yang egaliter ingin mendengar semua pandangan orang, tidak otoriter. Anak-anaknya semua orang tahu, tidak berbisnis dengan negara. Ada yang menjual martabak, ada yang dagang pisang goreng."Â (Jusuf Kalla, Minggu, 3/2/2019).
---
Jusuf  Kalla (JK) telah bersuara tegas mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin pada Pilpres2019 ini. Dia mengerahkan segala daya upayanya, melalui para relawannya di Jenggala Center dan Jaringan Nusantara yang merupakan keluarga besar tokoh asal Sulawesi Selatan di berbagai pelosok Indonesia.
Ada dua hal penting yang penting yang menjadi dasar JK mendukung Jokowi, yakni pertama; gaya kepemimpinan Jokowi yang egaliter. Kedua ; Jokowi sebagai sosok pemimpin tak menguasai bisnis negara melalui keluarganya. Apa yang dikatakan JK itu berdasarkan kedekatannya dengan Jokowi dalam duet Jokowi/JK memimpin negara ini di periode 2014-219.
"Negara ini bisa mundur karena dua hal, gaya otoriter pemimpin, dan jika keluarga, anak-anak pemimpin, menguasai bisnis negara".
Egalitarianisme adalah kecendrungan berpikir bahwa seseorang harus diperlakukan setara pada dimensi seperti agama, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Hakikatnya semua orang manusia adalah sama dalam status nilai atau moral secara fundamental.
Perbandingan Kepemimpinan Jokowi dengan Prabowo
Gaya kepemimpinan yang egaliter yang selama ini diperlihatkan dan dijalani Jokowi memang relatif berbeda dibandingkan dengan para presiden sebelumnya, dan capres Prabowo--pesaingnya saat ini.
Kepemimpinan Prabowo cenderung berdasarkan garis komando layaknya gaya militer (top down). Dia juga membawa bibit kepemimpinan otoriter dengan mengadospi gaya kepemimpinan orde baru masa rezim Soeharto.
Pemimpin adalah sosok elit dan superioritas terhadap rakyatnya yang diposisikan inferioritas. Hal tersebut tergambar dari sejumlah pernyataan Prabowo yang heboh di dalam masyarakat beberapa waktu lalu, seperti  "tampang  Boyolali" , "muka wartawan-gaji kecil",  "lulus SMA jadi Ojeg online" dan lain-lain. Â
Sedangkan kepemimpinan Jokowi menganut faham semua orang adalah sama; sederajat ; Â "All men are created equal". Dia penuh kebersamaan, dan mau mendengar banyak pihak sebelum mengambil keputusan
Sebagai presiden, yang merupakan orang nomor 1 di republik ini, Jokowi tidak menjaga jarak dengan rakyatnya. Dia tidak segan-segan berbaur dengan rakyat di berbagai kesempatan formil dan nonformil. Mendengarkan keluhan, berbicara dan bercanda dengan rakyatnya. Dari anak kecil sampai orang tua. Dari kaum generasi pasca milenial, old melenial, milenial, dan generasi z semua bisa dimasukinya, dan mereka menerima Jokwi bagai seortang teman.
Bahasa tubuh dan penampilan busana Jokowi di berbagai kesempatan pun seperti rakyat kebanyakan. Sehingga rakyat merasa begitu dekat dengan pemimpinnya. Jabatan Presiden yang dahulu terasa "seram" dan berjarak jauh dengan rakyat, namun sejak Jokowi jadi presiden negeri ini tidak lagi "seram" dan berjarak.
Sifat agaliter lain dari Jokowi adalam dalam kebijakan pembagunan. Dia membangun tidak hanya pulau Jawa saja (Jawasentrisisme), melainkan merata seluruh Indonesia, yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan wilayah lainnya.  Sehingga rakyat di  wilayah luar pulau Jawa turut merasakan pembangunan dan kepemimpinan Jokowi. Â
Padahal bila dominansi  pembangunan di pulau Jawa  berpotensi menguntungkan dirinya untuk melanggengkan sahwat politik dan kekuasaan karena pulau Jawa memiliki basis suara yang besar. Namun hal itu tidak Jokowi lakukan karena cara berpikir egalitariannya panggilan nuraninya ingin memberikan hak yang setara kepada seluruh rakyat Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Marauke.Â
Lingkar Keluarga DekatÂ
Anak-anak Jokowi tidak "cari makan" pada proyek-proyek besar pemerintah merupakan contoh yang positif. Â Hal itu untuk mencegah tidak terjadi konflik kepentingan yang berpotensi koruptif dalam lingkar keluarga yang bisa melemahkan kepemimpinan seorang presiden pada berbagai bidang lainnya. Bandingkan dengan masa masa orde baru dibawah rezim Soeharto. Anak dan kerabat dekat Soeharto (keluarga cendana) Â banyak menguasai proyek-proyek besar pemerintah. Â Terjadi praktek KKN dan nepotisme yang menguntungkan lingkar keluarga dan kroni-kroni Soeharto. Â
Walau Prabowo sudah bercerai dengan istrinya yang anak Soeharto, namun Prabowo tetap merupakan bagian dari keluarga Cendana. Mereka kini mulai bangkit lagi untuk memberikan dukungan politik kepada Prabowo untuk menjadi presiden. Hal tersebut menjadikan kepemimpinan Prabowo berpotensi seperti masa rezim Soeharto.
Sebagai politikus lintas jaman, Jusuf Kalla telah melihat, mengalami dan kemudian belajar banyak dari buruknya kepemimpinan dan kepengelolaan negara masa rezim Soeharto di Orde Baru, yang notabene merupakan kepemimpinan keluarga dekat Prabowo yang saat merupakan capres 2019.
Dua hal penting tadi, gaya kepemimpinan dan maruknya lingkar keluarga presiden Soeharto dalam bisnis pada proyek-proyek pemerintah menjadikan Indonesia tak berdaya dalam persaingan dengan negara lain.
Jusuf Kalla telah melihat,  Jokowi tidak seperti keluarga Soeharto. Lewat kepemimpinan  Jokowi, Indonesia bisa menjadi jauh lebih maju.
Lalu, bagaimana dengan capres Prabowo? Gaya kepemimpinan Prabowo, beban sejarah dan lingkar bisnis keluarganya merupakan beban berat sehingga sulit baginya bisa berbuat banyak bagi Indonesia. Â Â
-----Â
peb02/2019
referensi berita : Satu, dua, tigaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H