Â
Politik kebohongan Prabowo/Sandi telah menjadi bagian dari cara kampanye Koalisi Adil Makmur. Dibalik semua itu  ada seorang tokoh besar, yakni SBY, ketua umum partai Demokrat dan mantan presiden RI dua periode. Â
Menyeret nama SBY ke dalam politik kebohongan Prabowo/Sandi mungkin masih bisa diperdebatkan. Namun nyatanya, suka atau tidak suka, secara administratif Demokrat berada dalam Koalisi Adil Makmur. Dalam konteks kerjasama tim, pak SBY tentu tak bisa lepas dari tampilan Koalisi Adil Makmur di masa kampanye.
Andi Arief dan "Kebohongan SBY"
Satu catatan penting, Andi Arief-Wakil Sekjen Partai Demokrat merupakan "pelaku aktif" politik kebohongan tersebut. Dia merupakan bagian utama dari kehebohan kasus kebohongan "7 kontainer surat suara tercoblos" yang bikin heboh masyarakat. Maka tak heran, Andi Arief menjadi salah satu tiga orang penerima "Kebohongan Award tahun 2019" yang diberikan PSI (Partai Solidaritas Indonesia).Â
Dia "berhasil" memenangkan "Kebohongan Award" untuk kategori "Kebohongan Terhalu" (Halusinasi). Sedangkan Prabowo kategori "Kebohongan Terlebay", dan Sandiaga pada kategori "Kebohongan Hakiki".
Bila sebuah award merupakan petanda sebuah prestasi, maka SBY layak bangga bahwa ada kadernya yang berprestasi. Pemberian "Award" kepada Andi Arief tentu sebuah "keberhasilan" SBY, karena raihan prestasi tak lepas dari "arahan, petunjuk, dan didikan" SBY sebagai  ketua partai.
Sebaliknya, bila si Kader bikin malu partai, maka teguran keras akan diberikan sang Ketua. Dan itu diumumkan di depan publik, baik langsung maupun tidak, demi menyelamatkan nama baik partai dan ketua. Sebuah "keberhasilan" atau "bikin malu" di  depan publik pada umumnya akan memunculkan "Pujian"  atau "Teguran Keras".
Namun nyatanya, suara SBY tidak terdengar lantang terhadap berbagai ulah Andi Arief. Sosok berhasilkah Andi Arief dimata sang Ketua? Atau bikin malu? Tak jelas. Kenapa SBY tak bersuara lantang ?
Karma Politik SBY di Panggung Superioritas PrabowoÂ
Demokrat bergabung kedalam Koalisi Adil Makmur diwarnai drama "Jenderal Kardus" yang bikin heboh. Salah satu pemeran utama drama itu siapa lagi kalau bukan Andi Arief. Â
Demokrat bergabung pada saat-saat akhir pendaftaran koalisi ke KPU, kubu Prabowo/Sandi (Koalisi Adil Makmur) pada saat itu sebenarnya tidak butuh tambahan partai lain karena syarat mengajukan capres/cawapres sudah tercukupkan. Sementara Demokrat, sangat butuh naungan koalisi untuk keberlangsungan hidup partainya di masa depan.
Untuk bergabung dengan Jokowi, pintu sudah tertutup karena "faktor sejarah" relasi personal Megawati dengan SBY tidak harmonis. Selain itu, konon, karena faktor "tuntutan posisi" SBY yang terlalu tinggi bagi  AHY di dalam kubu Jokowi.
Dalam situasi terdesak waktu, Demokrat akhirnya masuk kubu Prabowo/Sandi yang masih buka pintu kepada semua elemen politik termasuk Demokrat, walau sebenarnya relasi personal SBY dengan Prabowo pun tidak begitu baik terkait "sejarah" mereka semasa pendidikan di Akmil dan peristiwa pemberhentian Prabowo dari ABRI (TNI) karena kasus kerusuhan 1998. Â Saat itu Prabowo menjadi "pesakitan" di hadapan superioritas SBY.
Beruntunglah Demokrat karena Prabowo masih memiliki "jiwa besar" untuk menerimanya. Namun masuknya partai Demokrat  ke kubu Prabowo/Sandi terkesan "dianggap tak butuh-butuh amat" oleh koalisi Prabowo/Sandi.Â
Di koalisi tersebut, posisi tawar politis Demokrat lemah, walaupun Demokrat memiliki  amunisi politik sangat besar, misalnya : pengalaman jadi pemerintah selama 10 tahun, kader-kader partai yang hebat, dan memiliki seorang "pemain bintang" baru yang banyak menarik perhatian publik, yakni; AHY.
Potensi amunisi politik Demokrat yang besar itu tak membuat Koalisi Adil Makmur silau, karena sosok Prabowo sangat sentral. Disamping itu jasa besar Sandiaga Uno dengan "kardusnya" Â telah "berdarah-darah" menundukkan "rengekan panjang" PAN dan PKS untuk jadi cawapres. Dengan kata lain, saat itu kubu Prabowo sudah 'mapan' menghadapi Pilpres 2019.
Terbukti, rayuan PKS dan PAN yang loyal padanya sejak Pilpres 2014 tak mampu meluluhkannya untuk dapatkan jatah wapres. Selain itu, Ijtima Ulama yang konon "sakral" diabaikan Prabowo dengan santainya. Kemudian ketika Prabowo lebih memilih Sandiaga Uno--yang notabene "masih bau kencur dalam pentas politik nasional" sebagai wapres. Tak ada yang berani memprotes Prabowo
Sementara Sandiaga Uno sendiri dalam Pilpres 2019 ini juga sedang menabung pengaruh dan akses untuk masa depan politiknya (investasi politik). Dia masih muda. Punya kesempatan maju ke Pilpres 2024 mendatang.
Di sisi Demokrat, SBY sudah terbiasa jadi pemimpin. Beliau punya kapasitas untuk itu. Dia pernah jadi sosok sentral koalisi Demokrat saat pilpres 2009 lalu yang memenangkan dirinya. Namun dalam Koalisi Adil Makmur, dia mentok pada sosok sentral Prabowo. SBY ditempatkan bukan sebagai orang istimewa. Bukan sebagai leader. Bukan sebagai sentral tim kubu Prabowo/Sandi.
Selain itu, di Demokrat ada AHY yang merupakan putera mahkota yang akan diorbitkan pada kontestasi Pilpres 2024 mendatang. Pilpres itu merupakan era baru politik pasca persaingan klasik Prabowo vs Jokowi yang akan habis masa edarnya.
Dengan situasi Prabowo yang sentral dan giatnya investasi politik Sandiaga Uno, Demokrat sulit tampil sebagai "leader" Â di kubu Koalisi Adil Makmur. Demokrat juga sulit untuk sepenuhnya melakukan investasi politik bagi AHY di Koalisi Adil Makmur. Tapi bukan berarti tidak bisa sama sekali. Dalam masa kampanye ini, Demokrat sedang mengerjakannya.
Situasi sentralnya Prabowo/Sandi  membuat SBY dengan gerbong Demokrat yang sarat amunisi tampak setengah hati di Koalisi Adil Makmur.  Di dalam kampanye tidak tampak sentuhan SBY dan Demokrat yang umumnya lembut, penuh perhitungan dan dukungan data, berani adu gagasan secara elegan.Â
Apalagi mereka berpengalaman 10 tahun dalam pemerintahan. Tentu sudah tahu banyak data dan aturan main--yang kalaupun menyerang petahana tidak berbalik menjatuhkan citra sendiri.
Demokrat dan SBY sangat menjaga citra. Walau di sejumlah postingan medsos SBY dianggap "lebay". Namun itu sifatnya relatif dalam keriuhan politik di ranah awam. Â
Ibarat sepakbola, SBY dan Demokrat merupakan tim solid yang sarat pemain berpengalaman. Mereka mahir memainkan ball possession dan zona marking. Ritme dimainkan tidak cepat tapi pasti. Ketika mereka melakukan serangan, posisi pertahanan tidak kosong. Relatif sulit ditembus serangan balik lawan.
Beda dengan gaya kubu Prabowo/Sandi (Gerindra) yang walau memilik pemain pintar, namun seringkali blunder. Hal ini terlihat jauh hari sebelum terbentuknya koalisi, atau saat mereka menjadi oposisi pemerintahan Jokowi/JK.
Permainan mereka frontal. Tanpa ball possession yang apik. Â Zona marking yang lemah. Koordinasi antar lini tidak solid. Ritme cenderung cepat. Maunya langsung ke mulut gawang, namun terburu-buru dan ceroboh dalam operasional.Â
Ketika asyik melakukan serangan, lini pertahanan banyak yang bolong sehingga seringkali mendapatkan serangan balik yang fatal dari kubu Jokowi/Ma'riuf Amin, maupun serangan balasan publik penonton yang gerah pada performance tim yang ceroboh.
Mereka tampil seolah-olah menguasai persoalan rakyat-masyarakat-negara-bangsa, namun nyatanya tidak--ketika sejumlah data dipaparkan publik, elemen masyarakat, kubu Jokowi dan sebagainya. Jadilah blunder dan bumerang bagi mereka. Â Ini konsekuensi politis yang harus mereka dapatkan.
Stigma "Pembohong" lekat pada pasangan Prabowo/Sandi, dan juga koalisinya. Celakanya, di dalam koalisi itu ada Demokrat dan SBY. Artinya, Demokrat dan SBY berperan dalam kebohongan!
Hal itu "dipertegas" lagi ketika Andi Arief, bersama Prabowo dan Sandi diberi "Pembohong Award" oleh PSI. Award ini merupakan "bentuk legitimated" dari kasak-kusuk publik soal  citra pembohong kubu Prabowo.
Ketidakberdayaan SBY di dalam Koalisi Adil Makmur bagai sebuah karma politik dirinya di tengah gencarnya Prabowo/Sandi bermain. Aktifnya Andi Arief bermain dengan gaya Prabowo/Sandi menjadi campuran yang "merugikan" citra SBY dan Demokrat, namun di sisi lain bisa "menguntungkan" tabungan politik AHY untuk kontestasi pilpres tahun 2024.
Aspek MerugikanÂ
Pertama, citra SBY sebagai mantan presiden dua periode bisa rusak. Dia yang pernah berada dalam pemerintahan tentu tahu banyak bagaimana pemerintahan itu dijalankan. Ada proses, prosedur, perangkat, dan lain sebagainya.
Menjalankan pemerintahan tidak semudah pernyataan "Kebohongan Prabowo/Sandi". Percuma ada mantan presiden di koalisi itu kalau yang muncul adalah blunder atau kebohongan, seakan tidak tahu, tidak mengerti, tidak menguasi persoalan rakyat, masyarakat, negara dan bangsa.Â
Sejarah akan mencatat, SBY seorang mantan presiden yang masih sehat dan aktif berpolitik berada di koalisi pembohong yang tidak perduli terhadap keributan-keresahan-ketakutan rakyat yang pernah dipimpinnya.
Kedua, citra dan elektabilitas Demokrat semakin terjun bebas karena berada di lingkungan koalisi yang tidak sesuai dengan citra dan cara berpolitik mereka selama ini. Citra partai besar yang pernah berkuasa lama, yang coba mereka bangun kembali usai terpuruk oleh para elit kadernya yang terjerat mega korupsi Hambalang. Demokrat sejatinya sedang membangun diri untuk 'meraih kembali jaman keemasan'  lewat performance AHY pada Pilpres 2024.
Aspek Menguntungkan
Serangkaian "kebohongan" Prabowo/Sandi berpotensi menyurutkan nilai investasi politik Sandiaga Uno pada Pilpres 2024. Jejak data digital Sandi selama kampanye 2019 terekam kuat di masyarakat. Hal ini menguntungkan AHY satu langkah, dengan catatan, AHY disimpan dan tidak usah ikut-ikutan tampil atau berlaku seperti Sandiaga Uno demi Prabowo.
Pembiaran terhadap elit Demokrat Andi Arief di dalam tabuhan gradasi ritme kebohongan Prabowo/Sandi merupakan salah satu cara menyusutkan investasi politik Sandiaga Uno. Andi Arief seolah loyal, agresif dan masif mendukung sesuai platform Prabowo/Sandi, namun dibalik semua itu, dia sedang melemahkan kubu Prabowo, khususnya Sandiaga Uno untuk kepentingan AHY di masa depan. Dalam hal ini, SBY atau AHY berhutang budi politik kepada Andi Arief.
Dalam konteks koalisi, lewat Andi Arief, setidaknya Demokrat menunjukkan peran untuk bisa mendapatkan 'hati' Koalisi Adil Makmur. Seandainya Prabowo/Sandi memenangkan Pilpres 2019, Demokrat bisa mengklaim dirinya  ikut berjasa.
Pembiaran pada Andi Arief juga  untuk menggeser peran kader PAN dan PKS yang belakang ini melempem, padahal sebelumnya tampil dominan di kubu Prabowo/Sandi. Peraihan "Pembohong Award" bersama Prabowo dan Sandi sebagai "bukti legitimated" sehati dan sejiwanya Andi Arief dalam perjuangan.
Berada di kubu Prabowo/Sandi sebagai "tamu" membuat posisi SBY dan Demokrat tidak nyaman dan tidak optimal. Namun kondisi itu harus dijalani. Citra sebagai bagian dari "Pembohong" harus mereka terima, walau tidak semasif Prabowo/Sandi.Â
Demokrat dan SBY sudah kadung basah, ya mandi sekalian. Sambil mencuri kesempatan agar bisa keramas, cukuran, gosok gigi serta pedicure dan manicure di "kamar mandi mewah" kubu Prabowo/Sandi. Disitu Demokrat melakukan perawatan diri biar segar dan wangi. Potensi nilai minus dan plusnya sudah bisa mereka dapatkan. Tinggal memilih prioritas dan strategi untuk dijadikan modal politik memenangkan AHY tahun 2024.
Hidup itu pilihan, begitu juga berlaku di dalam politik. Hanya bedanya dalam politik, semua bisa dipilih bersamaan karena dinamika politik memungkinkan pelakunya berperan banyak dan berwajah lebih dari satu. Demokrat terbiasa dan mahir bermain politik dua kaki, tinggal mengatur kecermatan penggunaan kekayaan amunisi politik yang tidak dipakai dalam kubu Prabowo/Sandi.
Taktik ball possession dan zona marking Demokrat harus ketat, agar amunisi politik yang dimiliki tidak habis sia-sia. Untuk penyerangan frontalnya, biar trio eksplosif Prabowo dan Sandi dibantu pemain sayap lincah Andi Arief saja. Â
Demi AHY tahun 2024, biarkan saja kalau koalisi Adil Makmur mendapatkan serangan balik dari kubu Jokowi/Ma'ruf Amin--sejauh tidak merusak pertahanan Demokrat. Semua harus dilakukan hati-hati, jangan sampai justru SBY dan Demokrat mendapatkan kartu merah. Kalau itu terjadi, aku sih rapopo...
----
peb14/01/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H