Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Murka Prabowo pada Media, Narasi Negatif dan Kisah Pemanjat Rambutan

11 Desember 2018   04:50 Diperbarui: 11 Desember 2018   09:40 1624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"...Saya katakan, hai media-media yang kemarin tidak mau mengatakan ada belasan juta orang atau minimal berapa juta orang di situ, kau sudah tidak berhak menyandang predikat jurnalis lagi. Kau, boleh kau cetak, boleh kau ke sini dan ke sana. Saya tidak akan mengakui anda sebagai jurnalis lagi. Enggak usah, saya sarankan anda tak usah hormat sama mereka lagi. Mereka hanya antek dari orang yang ingin menghancurkan Republik Indonesia..." (Prabowo, sumber)

Kemurkaan Prabowo terhadap sejumlah media arus utama yang tak meliput kegiatan reuni 212 ternyata tak hanya berhenti sampai dikeluhan pribadinya saja, namun berlanjut ke ruang di luar ranah pribadinya, menjadi sebuah narasi besar yang dibagikan kepada publik. Hal itu terungkap dari isi pidatonya pada acara peringatan Hari Disabilitas Internasional ke-26 di Jakarta, Rabu, 5 Desember 2018.

Kemurkaan seseorang di satu sisi merupakan hal manusiawi. Namun di sisi lain, tidak etis dan mengandung pertanyaan besar soal kepribadian orang tersebut, yakni menyangkut sifat dan sikap pengendalian diri di dalam sebuah situasi tertentu.

Bila seorang anak kecil marah di depan orang banyak karena tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya, maka orang lain yang melihatnya cenderung akan memaklumi karena paham bahwa anak kecil bersifat reaktif. Anak kecil belum mampu mengendalikan dirinya. Secara personal, si anak kecil belum matang aspek kejiwaannya.

Walau marah di depan banyak orang, satu hal "positif" anak kecil itu adalah dia bisa spontan menciptakan narasi dari kemarahannya itu, namun dia tidak menjadikan narasi itu untuk mengajak orang lain membenci orangtuanya. Sebaliknya, si orangtua tidak etis dan tidak bermoral bila membangun narasi kepada orang banyak untuk membenci anaknya sendiri.

Bila seorang bos murka kepada anak buahnya yang lalai juga dianggap wajar, sejauh kemarahannya itu disampaikan dalam konteks kerja dan di tempat yang tepat, misalnya dipanggil ke ruang kerja. Dia "diperbolehkan" marah karena adanya hubungan "kontrak kerja" atau ikatan kerja dan relasi tanggung jawab kantor antara bawahan dan atasan.

Akan sangat tidak pantas, bila kemarahan si Bos itu diungkapkan dihadapan banyak orang saat memberikan pidato di depan para orang jompo pada acara bakti sosial di panti jompo yang diselenggarakan kantornya. Lebih tidak pantas lagi bila dalam kemarahannya itu dia menciptakan narasi untuk mengajak orang banyak di ruang itu--termasuk media yang meliput--untuk tidak hormat atau menjauhi bawahannya---walau si Bawahan tersebut dibawah kendali si Bos dalam ikatan kerja tadi.

Kisah dan Narasi Pemanjat Rambutan

Hal lain lagi. Ada seorang bapak yang sangat bersemangat naik pohon untuk memetik buah rambutan di halamannya sendiri. Setelah puas memetik buah rambutan, si Bapak itu baru tersadar tidak bisa turun, atau lebih tepatnya takut turun sendiri.

Dia kemudian berteriak kepada orang atau tetangganya yang lewat untuk dibantu turun atau mengambilkan tangga. Namun sejumlah tetangga yang lewat itu hanya menoleh sejenak sambil tersenyum malu, lalu pergi begitu saja. Bisa jadi karena terburu-buru dan menganggap si Bapak itu pasti bisa turun sendiri. Akhirnya ada satu orang tetangga yang kemudian menolongnya.

Ketika sudah turun, si Bapak itu kemudian murka kepada sejumlah tetangganya karena tadi tidak menolongnya. Lebih lanjut, si Bapak menciptakan sebuah narasi dari pengalaman di pohon rambutan. Isi narasi itu mengajak warga satu RT bahkan RW di lingkungan tempat tinggalnya untuk membenci dan menjauhi para tetangganya yang tadi tidak mau menolongnya. Narasi si "Bapak Rambutan' tersebut tergolong narasi negatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun