Ketika manajemen sepak bola tak mampu bekerja dengan totalitas, loyalitas dan integritasnya, maka sepak bola hanya bisa sampai di tingkat gairah lokal, bukan menempatkannya di posisi elit dunia.
Begitulah yang terjadi pada persepakbolaan nasional. Rasanya sulit menemukan letak kesalahan dari kusutnya permasalahan, sementara benang merah antara sepak bola dengan gairah rakyat sudah begitu nyata di depan mata. Sepak bola begitu gegap-gempita diterima dan dinikmati puluhan juta rakyat Indonesia, namun itu semua tak sejalan dengan prestasi timnas Indonesia.Â
Di dalam muatan benang merah penghubung itu terdapat kelembagaaan persepakbolaan nasional beserta orang-orang didalamnya bagai berkutat di masalah itu-itu saja; skandal para elit dan gaya kepemimpinan yang tidak visioner, persaingan dan blok di  internal pengurus, dan lain sebagainya
Kalau dulu sepak bola dilahirkan di Indonesia dengan gegap gempita yang begitu besar namun nyatanya prestasinya jangankan mendunia, untuk kawasan Asia Tenggara pun sulit, maka bisa jadi dalam perjalanan sejarahnya, sepak bola tenggelam di kancah keolahragaan dunia. Itulah mengapa sang Dewi sepak bola tak mau melahirkan di Indonesia.
Keputusan sang Dewi sepak bola itu mungkin sudah tepat di satu sisi, namun di sisi lain sangat mengecewakan. Tapi entitas persepakbolaan Indonesia tidak lantas harus larut kesedihan, karena pun negara lain yang jumlah penduduknya banyak dengan gairah sepak bola yang besar bisa eksis di kancah dunia. Kita belajar dari mereka aja, ya... aku sih rapopo..
---- Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H