Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Gegap Gempita Gairah Liga 1 Indonesia dan Kesalahan Sang Dewi Sepak Bola

9 Desember 2018   21:05 Diperbarui: 10 Desember 2018   13:04 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar ; tribunnews.com

Hari Minggu 09/12/2018 waktu sore, Indonesia benar-benar seperti negerinya sepak bola ketika melihat gairah sekitar 70 ribu Jakmania memenuhi stadion GBK mendukung tim Persija meraih juara liga 1  tahun 2018. 

Pada saat bersamaan di empat tempat berbeda juga terjadi laga penting bagai mempertahankan hidup dan mati. Empat tim berjuang meraih posisi menentukan gengsi dan keikutsertaannya pada kompetisi mendatang. 

Adalah PSM Makasar melumat PSMS Medan di stadion Andi Matalata, PS Tira melumat BPS Borneo FC, Arema Indonesia melibas Sriwijaya FC, dan PS Serui mengalahkan sang kakak, Persipura.

Hasilnya, Persija juara liga 2018, sementara Mitra Kukar, Sriwijaya FC, dan PSMS Medan harus terdepak ke level Liga 2. Sedangkan PS Tira selamat, demikian juga PS Serui yang "ditolong" sang Kakak. 

Tiga tim yang terdepak ke Liga 2 bukan tim sembarangan. Sriwjaya FC dan PSMS medan merupakan tim yang pernah menjuarai liga beberapa tahun lalu. Sementara Mitra Kukar merupakan tim papan atas dan elit yang dengan kelimpahan materi yang dimiliknya pernah menjadi tim impian para pemain profesional Indonesia.

sumber gambar : twitter.com/Persija_Jkt
sumber gambar : twitter.com/Persija_Jkt
Gairah sepak bola begitu terasa di negeri ini setelah timnas tak lagi turun ke lapangan sampai akhir tahun 2018 ini karena event internasional "sudah habis". Gaung akhir kompetisi Liga 1 bisa menyatukan begitu banyak manusia di dalam stadion dan pemisa televisi, mengalahkan semua hiruk pikuk politik.

Melihat gairah itu, mungkin sekarang sang Dewi sepak bola menyesal karena telah melakukan kesalahan besar melahirkan sepak bola di Inggris (England). Harusnya dilakukan di Indonesia karena gairah masyarakatnya sangat besar dalam menikmati sepak bola. Kalau dihitung jumlah orang gila bola di Indonesia bisa melebih jumlah seluruh rakyat Inggris (53 juta jiwa)--baik yang gila bola maupun tidak suka bola.

Dewi sepak bola boleh-boleh saja menjalani masa kehamilan di Inggris, tapi jelang kelahiran, harusnya berada di Indonesia. Gegap gempita sepak bola di Indonesia tentunya menjadi kampung halaman paling menyenangkan untuk sang Dewi tinggal dan membesarkan sepak bola. 

Di kampung Indonesia yang ramah dan antusias, kehidupan sepak bola menjadi lebih punya arti. Bukan tidak mungkin, hal itu berimplikasi pada prestasi sepak bola nasional yang mendunia.

Namun kemungkinan lain Sang Dewi sepak bola punya pandangan tersendiri. Indonesia bukanlah tempat yang tepat untuk kelahiran sepak bola. Sejak jauh hari sang Dewi sudah melihat bahwa cukuplah Indonesia sebagai penggembira saja dalam dunia sepak bola, bukan sebagai pelaku elit sepak bola dunia walau memiliki rakyatnya punya gairah besar dalam sepak bola.  

Sepak bola tak hanya melulu soal 22 pemain menendang bola di lapangan rumput disertai gemuruh sorak-sorai penonton. Sepak bola adalah soal manajemen kelembagaan di luar lapangan. 

Ketika manajemen sepak bola tak mampu bekerja dengan totalitas, loyalitas dan integritasnya, maka sepak bola hanya bisa sampai di tingkat gairah lokal, bukan menempatkannya di posisi elit dunia.

Begitulah yang terjadi pada persepakbolaan nasional. Rasanya sulit menemukan letak kesalahan dari kusutnya permasalahan, sementara benang merah antara sepak bola dengan gairah rakyat sudah begitu nyata di depan mata. Sepak bola begitu gegap-gempita diterima dan dinikmati puluhan juta rakyat Indonesia, namun itu semua tak sejalan dengan prestasi timnas Indonesia. 

Di dalam muatan benang merah penghubung itu terdapat kelembagaaan persepakbolaan nasional beserta orang-orang didalamnya bagai berkutat di masalah itu-itu saja; skandal para elit dan gaya kepemimpinan yang tidak visioner, persaingan dan blok di  internal pengurus, dan lain sebagainya

Kalau dulu sepak bola dilahirkan di Indonesia dengan gegap gempita yang begitu besar namun nyatanya prestasinya jangankan mendunia, untuk kawasan Asia Tenggara pun sulit, maka bisa jadi dalam perjalanan sejarahnya, sepak bola tenggelam di kancah keolahragaan dunia. Itulah mengapa sang Dewi sepak bola tak mau melahirkan di Indonesia.

Keputusan sang Dewi sepak bola itu mungkin sudah tepat di satu sisi, namun di sisi lain sangat mengecewakan. Tapi entitas persepakbolaan Indonesia tidak lantas harus larut kesedihan, karena pun negara lain yang jumlah penduduknya banyak dengan gairah sepak bola yang besar bisa eksis di kancah dunia. Kita belajar dari mereka aja, ya... aku sih rapopo..

----   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun