Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Haruskah Ketua PSSI Dijabat "Orang Jakarta"?

28 November 2018   06:38 Diperbarui: 29 November 2018   02:05 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara publik menginginkan mundurnya Edy Rahmayadi dari jabatan Ketua Umum PSSI masih bergema di berbagai ruang publik, baik itu perbincangan warung kopi, komunitas, kampus, dan media sosial. Yang paling nyata terlihat adalah munculnya tagar #EdyOut di media sosial. 

Edy Rahmayadi, sang ketua PSSI dianggap bertanggung jawab atas semua kegagalan PSSI di Piala AFF 2018. Publik memandangnya tidak mampu memimpin PSSI untuk menghadirkan prestasi tingkat Internasional.

Sejumlah elemen sepakbola seperti komunitas pecinta dan pendukung timnas, pengurus klub, pengamat sepakbola, dan lain-lain secara pribadi menyampaikan keinginan itu sebagai bentuk kepedulian terhadap prestasi Timnas yang semakin menurun.

Sejumlah catatan awam soal kepemimpinan Edy Rahmayadi mereka ungkapkan di media, seperti soal keputusan Edy yang blunder ketika tidak memperpanjang kontrak coach Luis Milla di saat performa tim sedang bagus--konon karena PSSI tak sanggup membayar  gaji.

Ada pula yang mempersoalkan cara berkomunikasi Edy yang kurang pas menanggapi kritik, sehingga menjadi gambaran ketidakcakapan dia memimpin PSSI.

ketua PSSI era lalu, Johar Arifin dan La Nyalla Mattalitti , sumber gambar : bola.com
ketua PSSI era lalu, Johar Arifin dan La Nyalla Mattalitti , sumber gambar : bola.com
Satu lagi yang cukup menarik dan signifikan dalam kepengelolaan PSSI adalah "rangkap jabatan" Edy Rahmayadi. Selain sebagai ketua PSSI, Edy Rahmayadi juga menjabat Gubernur Sumatera Utara dan Ketua Dewan Penasihat PSMS Medan, yang sehari-harinya berkantor di Medan.

Soal rangkap jabatan sebenarnya bukan hal aneh di PSSI--juga pada sejumlah organisasi sosial dan publik lainnya di Indonesia. 

Sejak dulu, PSSI sering diketuai oleh pejabat, politikus, dan pengusaha dan lain-lain. Sebagai contoh era Agum Gumelar, dia menjabat sebagai Menteri Perhubungan, Azwar Anas; Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan juga pernah jadi Menteri Perhubungan, Kardono, sekretaris militer Presiden Soeharto, Nurdin Halid; politikus elite Golkar di Senayan, sekaligus pengusaha.

Lalu apa bedanya mereka dengan Edy Rahmayadi yang juga seorang gubernur?

Bedanya, para ketua PSSI sebelumnya itu berkantor di Jakarta. Mereka adalah "orang Jakarta" (ini bukan soal etnis atau asal daerah). Sedangkan Edy Rahmayadi sehari-hari berkantor di Medan, Sumatera Utara. Dia bukan "orang Jakarta". Soal "orang Jakarta' yang dimaksud adalah orang berkantor dan berdomisili di Jakarta.

Bila "bukan orang Jakarta", dengan jarak yang relatif jauh seperti Medan---walau bisa cepat ditempuh dengan sekali naik pesawat---tentu akan berbeda dalam hal kecepatan dan suasana koordinasi organisasi. 

Misalnya, untuk mengadakan rapat mendadak yang sangat penting, tidak bisa dilakukan secara cepat. Edy di Medan ke Jakarta butuh waktu yang tak sedikit, belum lagi kelelahan selama penerbangan dan terkena macet. Belum lagi biaya perjalananan (SPPD) yang dibebankan pada organisasi, dan hal-hal non teknis lainnya.

Kalau ketua PSSI yang "orang Jakarta" bisa cepat berkoordinasi dengan pengurus lainnya sepulang jam kantornya di Jakarta. Kalau perlu rapat saat itu dilakukan sampai larut malam hari untuk mendapatkan keputusan cepat, sehingga esok harinya sudah bisa dilakukan langkah-langkah kongkrit. Jadi, rapat atau koodinasi pengurus bisa dilakukan kapan pun usai jam kantor.

Belum lagi persoalan waktu untuk berkunjung ke pemusatan latihan timnas secara santai, setiap waktu luang. Bagaimanapun, para pemain yang sedang mengadakan latihan butuh kunjungan sang Bapak Ketua untuk menambah semangat berjuang, membangun rasa kebersamaan dan rasa diperhatikan sang Bapak.

Apakah sistem teknologi komunikasi sekarang tidak bisa diterapkan, misalnya telleconference, atau sejenisnya? Bisa saja dilakukan. Namun suasana kebatinan antara pengurus yang rapat tentu akan berbeda bila dilakukan pertemuan langsung.

Dalam rapat, khususnya organisasi olahraga, bukan cuma soal menggodok dan berbagi ide antara pengurus teras dengan pak ketua , melainkan berbagi emosi dan spirit yang intensif dan sesering mungkin. Dari bersatunya spirit itu, tentu akan mempengaruhi cara kerja atau out put rapat di lapangan. Kultur Indonesia dengan sistem mufakat dan kekeluargaan sangat mengutamakan interaksi langsung semua anggota musyawarah.

Semoga saja soal ini bisa ada pemecahannya, demi kemajuan PSSI dan Timnas. Kalau PSSI baik, Timnas pun baik. Kalau wartawan baik, Timnas pun baik. Kalau coach itu pelatih, aku ya rapopo....

----

Peb28/11/2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun