Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Telanjang di Dalam Stadion

25 November 2018   12:12 Diperbarui: 25 November 2018   13:03 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini aku datang ke stadion. Tak bercelana dan baju. Ritual magis di dalamnya mengisyaratkan harus telanjang. Kalau tidak mau, lebih baik duduk manis depan televisi di rumah atau nobar di kantor bersama kolega. Di situ semua tanda pangkat bisa kau sematkan di tubuh. Untuk menutup malu dan kemarahan bila kesebelasanmu kalah.

Tiba di stadion aku dijemput roh para nenek moyang menuju pintu masuk. Tadi saat mulai  berjalan dari parkiran mendadak aku bisa berbahasa roh. Kami pun terlibat pembicaraan mengasyikkan. Saling berbagi cerita. 

Para roh bersusah payah bangun dari kubur untuk menjadi saksi dan menyerbarkan spirit kejayaan masa lalu. Aku mendengarkan. Terkesima. Sesekali bertanya. 

Kepadanya aku pun bercerita. Bersusah payah kami bangun dari tidur hanya untuk mendirikan podium kejayaan di teras dekat batas tetangga. Tapi tak pernah tuntas. Dipertengahan seringkali roboh terguncang keculasan dan ego. Padahal blue print nya ada di atas meja dekat pembaringan.

Saat kami bicara dalam bahasa roh. Kurasa tak ada kamus yang bisa menterjemahkannya. Wartawan tak akan mengerti. Apalagi para pengamat yang tak punya nyali ke stadion, selain hanya membaca sejumlah sumber berita, kemudian bermain kata-kata.

Di dalam stadion keriuhan penuh sakralitas. Setiap orang--perempuan dan laki-laki--membaur menjadi barisan aubade, melantunkan mars dan hymne kemenangan. Setiap nada masuk hingga ke rongga sum-sum tulang. Menggetarkan semua sendi tubuh. 

Roh nenek moyang menempati panggung dadakan, diantara pagar tribun dan lapangan. Mereka pimpin ritual magis yang melarutkan tubuh ke dalam satu bahasa roh.

Sempat kulihat beberapa orang terkenal dan terhormat yang biasa berpenampilan bijak di televisi dan koran. Selain itu ada pemuka agama, guru, profesor, artis, mantan pejabat, aktivis LSM, pengamat politik, motivator, dan lain-lain.

Di situ kulihat mereka telanjang sambil bernyanyi, menari, melompat dan berteriak histeris dalam kuasa roh. Wajah pun menegang dan memerah. Urat-urat bertonjolan. Mereka bagai kesurupan, tak beda dengan para pengangguran, preman dan abg yang sering tawuran di terminal.

--- 

Peb25/11/2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun