Timnas Indonesia lolos ke Semifinal? Kok bisa? Yaa, ampunnn!Â
Yaa, eeelaaah...ya, bisa lah. Emang nggak boleh?Â
Pihak manapun di muka bumi ini harus taat hukum sepakbola. Itu intinya. Jadi, tidak boleh melarang Timnas Indonesia untuk melangkah ke semifinal Piala AFF 2018 apabila Timnas telah memenuhi syarat-syaratnya.Â
Apa saja syaratnya? Lihat saja sendiri perhitungannya di berbagai media.
Ketika, seandainya Timnas Indonesia terbukti secara sah dan meyakinkan berhasil lolos ke semifinal, yang didukung  jutaan saksi mata yang sah, mulai dari Sabang sampai Marauke, mulai dari pulau Miangas sampai pulau Rote, maka berpotensi muncul persoalan baru.
Apa potensi persoalan baru itu?
Yaaa eeelaah! Masak harus dikasi tau? Apakah pura-pura dalam perahu, sementara kura-kura tidak tahu?
Selama Timnas Indonesia mengikuti piala AFF 2018 banyak orang memprediksi dan bahkan menyakini seyakin-yakinnya bahwa Timnas Indonesia tidak bisa lolos ke semifinal. Apalagi setelah kalah lawan Singapura dan Thailand, nasibnya ditentukan Filipina dan Singapura.Â
Lebih dari itu, berdasarkan keyakinan itu, mereka kemudian melakukan aksi memperjuangkan tagar #KosongkanGBK.
Ngerii kalipun! Jumlahnya tidak sedikit. Konon pelakunya berjumlah melebihi 7 juta orang!
Bayangkan, potensi persoalan itu adalah Mati Berdiri disebabkan karena mereka kaget, shock, tak menyangka, Indonesia akhirnya bisa lolos ke semifinal. Ini tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Dibilang hoaksn ternyata tidak! Banyak saksi mata menyaksikan lolosnya Timnas. Bahkan pihak AFF sebagai saksi ahlo bersedia memberikan penjelasan apabila diperlukan.
Kenapa bisa mati berdiri? Kenapa matinya tidak  berbaring atau duduk?
Jawabannya ; karena saat mendengar kabar Timnas Indonesia lolos ke semifinal, posisi mereka sedang berdiri. Gubrak! Begitu kagetnya mereka pun langsung mati berdiri. Mereka tak sempat lagi mengambil kasur dan bantal kemudian berbaring untuk mati. Â
Yang kemudian jadi persoalan turunannya adalah, bagaimana mengurusnya? Apakah Timnas Indonesia harus bertanggung jawab?
Yang mengurusnya tentu saja para keluarga dan kerabat terdekat, sesuai tata cara yang umumnya mereka lakukan.
Dan, persoalan "mati berdiri" itu bukanlah tanggung jawab Bima Sakti selaku "coach itu pelatih" (kata Edy Rahmayadi).Â
Bukan tanggung jawab Hansamu Yama selaku kapten tim. Bukan tanggung jawab Andritany Ardhiyasa atau Awan Setho selaku kiper. Bukan tanggung jawab Kurniawan Dwi Julianto dan Kurnia Sandy yang "cuma" asisten coach itu pelatih. Jangaannnn! Tidak boleh itu.
Jangan pula meminta tanggung jawab Febri Hariyadi, Stefano Lilipaly, Riko Simanjuntak, Alberto Goncalves, dan kawan kawan karena itu akan berakibat salah alamat tuntutan!Â
Tugas pemain Timnas Indonesia adalah berusaha memenangkan setiap pertandingan. Mereka tidak perduli dengan berbagai komentar berupa makian, hujatan, dan sumpah serapah lainnya.
Sementara, tugas penonton adalah mendukung Timnas Indonesia berlaga. Kalau kemudian ada yang mati berdiri, harus tanggung sendiri. Jangan pernah membawa Mack Erroth, karena itu sia-sia.
---Â
Salam sepakbola!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H