Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik "Dua Kaki" Demokrat vs Politik "Orde Baru" Gerindra

20 November 2018   19:26 Diperbarui: 20 November 2018   20:03 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : merdeka.com

 "Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sangat mengharapkan bantuan Bapak SBY dan Mas AHY untuk menaikkan elektabilitas mereka yang cenderung stagnan. Di lapangan, kesukaan dan dukungan rakyat kepada AHY-SBY ini cukup tinggi" (sumber)

Ada aksi berakibat munculnya reaksi. Ini hukum dasar fisika, yang kini bisa juga berlaku ranah politik. Sama halnya dengan fisika, aksi-reaksi itu bisa dirasakan dan dilihat secara kasar mata.  

Demokrat dan Gerindra, dua partai besar yang tergabung dalam Koalisi Adil Makmur. Sejatinya kedua partai itu terlihat bahu membahu memenangkan Prabowo-Sandi dari koalisinya. Namun yang terlihat di publik, keduanya justru sering tak sejalan. Perang pernyataan di media arus utama lebih sering terjadi, dan ini menarik perhatian publik dibandingkan kampanye mereka untuk Indonesia ke depan.

Di satu sisi, Demokrat menyatakan ingin berkontribusi banyak pada upaya pemenanganan. Mereka merasa punya banyak kelebihan yang bisa menarik perhatian ke rakyat Indonesia. Sebagai partai pemenang pemilu masa lalu selama dua periode, Demokrat berpengalaman dalam upaya pemenangan kontestasi Pilpres. Selain itu, sejumlah tokoh-tokoh di dalamnya sangat mumpuni, seperti SBY, mantan presiden RI selama  dua periode, SHY mewakili generasi milenial, Andi Arief mantan aktivis mahasiswa 89, dan para tokoh lainnya.

Namun yang tampak  terlihat, Gerindra sebagai pemimpin koalisi tak memberi pangggung pada Demokrat untuk leluasa mengekpresikan cara mereka mengkampanyekan Prabowo-Sandi. Ada "ganjalan psikologis dan ideologis" yang membuat Gerindra bersikap demikian sehingga kader kedua partai beberapa kali justru terlibat perang pernyataan---yang menandakan mereka tidak kompak dalam koalisi.

Sering Saling Tuding

Muncul pertanyaan mendasar di ruang publik, kalau koalisi itu terus bertengkar, lalu kapan bisa fokus menyampaikan program kampanye bersama? Belum lagi citra koalisi akan anjlok dimata publik karena diangggap tidak mampu meredam konflik kelompok, dan diragukan kemampuannya mengelola organisasi kerja secara keseluruhan. Lalu, bagaimana mau mempin bangsa ini dengan baik?

Satu hal yang membuat Gerindra tampak enggan memberikan porsi panggung khusus kepada Demokrat adalah adanya cara politik "dua kaki" Demokrat. Hal ini relatif sulit diterima. Cara berpolitik pemenangan yang paradoksal. Sebuah aksi kesia-siaan dalam berkoalisian. Bagaimana bisa memenangkan Prabowio-Sandi bila hati dan langkah kongkrit poliktik Demokrat mendua, yakni dengan mempersilahkan para kadernya untuk memilih lawan politik Prabowo-Sandi yakni pasangan Joko Widodo/Ma'ruf Amin? Ingin menang, tapi lawan diberi peluang mengalahkan.

Di internal Gerindra sendiri, semua kadernya diwajibkan mlakukan upaya memenangkan Prabowo-Sandi, apapun dinamika politik lokal tempat para kader Gerindra berjuang. Bagi Prabowo atau Gerindra, politik adalah perjuangan menang-kalah. Jadi, sikap politik harus jelas sejak awal. Wajib hukum untuk memenangkan kelompoknya walau tantangannya berat dan peluangnya tidak besar.

sumber gambar : merdeka.com
sumber gambar : merdeka.com
Hadirnya Orde Baru diantara Demokrat dan Gerindra

Dengan politik dua kali Demokrat tersebut, Gerindra pun tampak bersikap tak terlalu perduli pada kehadiran Demorat di kolasinya.  Gerindra justru kemudian "dengan santainya" merangkul mesra Partai Berkarya, yang  di dalamnya ada Titik Soeharto---putri Soeharto mantan presiden dan penguasa Orde Baru. Partai tersebut  memang pedatang baru, yang berisi putra-putri Soeharto dan mereka sangat kuat membawa roh Orde Baru.

Gerindra merangkul Titik Soeharto untuk menjadi bagian dari ikon perjuangan kampanye mereka dengan membangun kenangan kejayaan Orde Baru. Gerindra berkominten kepada publik akan membawa sejumlah konsep Orde Baru ke dalam pemerintahannya bila kelak menang Pilpres 2019.

Konsep kampanye membawa Orde Baru tersebut tentu saja membuat partai Demokrat tidak nyaman, karena mereka pernah memerintah 10 tahun dengan menerapkan konsep-konsep pemerintahan yang reformis, jauh dari kenangan Orde Baru.  

Adanya Orde Baru dalam koalisi tentu saja membuat Demokrat "berang". Hubungan Gerindra-Demokrat pun jadi makin sulit direkatkan karena "ada sosok lain diantara mereka, yakni Titiek Soeharto dan roh Orde Baru.

Langkah politik dua kaki Demokrat berbalas langkah Gerindra dengan membawa politik Orde Baru menjadikan persoalan kedua partai itu dalam Koalisi Adil Makmur semakin sulit menemukan titik temu. Harus ada pihak yang mengalah kalau mau lanjut dalam satu koalisi. Kalau tidak segera dibereskan, maka Koalisi  Adil Makmur hanya akan menjadi penggembira Pilpres 2019.

Disi lain, mata rakyat telah dibukakan. Mereka jadi belajar banyak bahwa koalisi ini memang tidak cakap memimpin negeri sebesar Indonesia ini. Kalau aku sih rapopo....

----

Referensi berita : satu, dua, tiga, empat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun