Tanpa makanan selama 3 hari, manusia masih bisa bertahan hidup. Tapi tanpa minum selama 3 hari, manusia akan mati karena seluruh organ tubuh terganggu dan berhenti bekerja. Inilah kenapa manusia sangat membutuhkan air untuk bertahan hidup.
Setiap terjadi bencana alam di suatu daerah, hal yang menjadi permasalahan pasca bencana adalah ketersediaan air bersih untuk keperluan minum. Masyarakat kesulitan mendapatkan sumber air minum karena instalasi atau jaringan air bersih di kota atau wilayah rusak dan tidak berfungsi lagi.
Selain memasok makanan, selimut dan pakaian ke wilayah pasca bencana, salah satu tugas darurat pihak atau lembaga  penanggulangan bencana adalah menyediakan air bersih di kantong-kantong pengungsian. Hal ini tidak mudah karena saat terjadi bencana, masyarakat umumnya terpencar di berbagai tempat dalam wilayah yang luas.
Selain itu, infrastruktur jalan rusak dan moda angkutan tangki air belum tentu siap dalam waktu singkat.
Saya ingin sedikit bercerita tentang penyediaan air bersih warga kota Pontianak. Mungkin bisa dijadikan sebuah referensi dan inspirasi untuk kebijakan lebih lanjut bagi wilayah rawan bencana.
Kota Pontianak, atau wilayah Kalimantan Barat pada umumnya tidak termasuk wilayah yang terkena bencana gempa dan tsunami. Bencana yang rutin timbul adalah kabut asap pembakaran lahan, dan sulitnya mendapatkan air bersih pada musim kemarau panjang.
Walau sejumlah daerah kabupaten dan kota memiliki jaringan PDAM yang sumber air baku pengolahan air PDAM berasal dari sungai Kapuas dan anak sungainya, namun umumnya tidak layak untuk air minum. Air PDAM hanya sebatas untuk mandi dan cuci saja.Â
Kalau musim kemarau panjang, pasokan air PDAM berkurang dan airnya terasa "payau" (setengah asin) karena intrusi air laut ke sungai Kapuas dan anak sungainya menyebabkan kadar garam pada sungai tinggi. Sementara instalasi pengolahan air PDAM tidak mampu sepenuhnya menghilangkan kadar garam, selain menjernih air saja.
Umumnya masyarakat Pontianak dan Kalimantan Barat mengkonsumsi air hujan untuk keperluan minum dan memasak. Air hujan tersebut ditampung ke dalam tong atau tempayan yang diletakkan di sekitar halaman atau beranda belakang rumah--yang terhubung dengan talang dari bibir atap. Bila hujan turun, air dari atap akan mengalir lewat talang ke tong-tong plastik atau tempayan dari beton yang berukuran 1 sampai 1,5 meter kubik. Rata-rata setiap rumah memiliki lebih dari satu tempayan air hujan.
Bungker bawah tanah bisa lebih menghemat ruang dibandingkan menggunakan tong atau tempayan yang  membutuhkan ruang relatif besar di sekitar rumah, sementara lahan untuk rumah di perkotaan cenderung semakin sempit. Selain itu  dari segi estetika lingkungan, tong dan tempayan kurang sedap dilihat. Bayangkan deretan tong air di samping dan belakang rumah atau di depan rumah terlihat kumuh. Â