Tercatat Lukas Enembe ketua DPD Demokrat yang juga Gubernur Papua, Soekarwo ketua DPD Demokrat Jawa Timur yang juga mantan gubernur, Tuan Guru Bajang (TGB) dari NTB, gubernur Banten Wahidin Halim, dan lain-lain.
Cara Demokrat berpolitik di dalam koalisi dianggap tidak etis, setengah hati dan menyakiti Gerindra. Untuk apa koalisi Prabowo terbentuk dengan mengeluarkan energi besar; dana, pikiran, waktu, nama besar, eksitensi diri dan lain sebagainya kalau nyatanya Demokrat "membuang" potensi suaranya untuk Koalisi? Sekecil apapun potensi suara dalam teritori kepartaian, seharusnya diperjuangkan karena kelak akan berpengaruh pada angka pemenangan koalisi Prabowo-Sandi.
Apapun argumen Demokrat membiarkan kadernya seperti itu, menjadikan energi koalisi berkurang atau rusak. Bukan tidak mungkin, keberadaan Demokrat tak lebih formalitas dan cari untung sendiri. Citra Demokrat rusak di mata publik dan terkesan jadi benalu di koalisi Prabowo---yang mempengaruhi citra partai Gerindra.
Mencari kepuasan dengan cara saling menyakiti?
Ketika tahapan awal pembentukan Koalisi, Gerindra menyakiti Demokrat. Dalam perjalanannya, gantian Demokrat menyakiti Gerindra. Belakangan tersiar kabar bahwa struktur tim pemenangan koalisi Prabowo-Sandi lebih didominasi orang-orang Gerindra, mulai dari Capres/Cawapres, ketua tim pemenangan, sekretaris dan bendaharanya dari Gerindra. Kalau kelak benar, lagi-lagi Gerindra menyakiti Demokrat. Akankah nanti Demokrat lakukan pembalasan?
Apakah Gerindra dan Demokrat merasa puas atau "gairah berpolitiknya" memuncak jika saling menyakiti dan salah satu direndahkan? Apakah memang begini cara mereka mengelola "rumah tangga" koalisi?
Yang terpampang di ruang publik awam adalah keduanya melakukan aksi saling menyakiti untuk mencari sensasi kenikmatan. Nikmatnya adalah disorot publik, yang berarti jadi iklan gratis berpolitik. Tapi iklan gratis tersebut jadi bumerang yang menyerang balik eksistensi Prabowo-Sandi.
Publik awam khususnya calon pemilih dibuat bingung melihat aksi masokisme politik Gerindra-Demokrat. Ada kesan koalisi Prabowo tidak kompak. Tidak satu visi dan misi perjuangan untuk pemenangan.
Para elit partainya lebih mementingkan ego dan syahwat partainya saja. Mereka dianggap tidak kredibel jadi pemimpin karena mengurus koalisi saja tak elok seperti itu, bagaimana bisa mengurus negara dan bangsa yang permasalahannya lebih kompleks?
Ketika terjadi gonjang-ganjing tentang isu "masokisme politik" kedua partai tersebut muncul, maka Prabowo dan SBY saling bertemu. Disorot media. Kedua tokoh tersebut memperlihatkan bahwa kedua pihak baik-baik saja.
Demokrat-Gerindra dicitrakan mesra dan solid di depan publik. Namun publik tentu cerdas melihat seluruh rangkaian peristiwa, time linenya tercatat di media, untuk kemudian publik melakukan penilaian sendiri. Penilaian membentuk opini pribadi dan kelompok terhadap koalisi tersebut.Â
Pada akhirnya, semua itu jadi dasar menentukan pilihan dalam Pilpres mendatang. Rakyat tentu ingin memilih pemimpin yang bisa bekerja dalam tim, baik besar maupun kecil demi masa depan bangsa dan negara ini.