Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

"Masokisme Politik" Gerindra-Demokrat dalam Koalisi

14 September 2018   16:02 Diperbarui: 14 September 2018   19:10 1988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Tribunnews.com

Masokisme adalah kelainan seksual dua pihak atau pasangan. Keduanya akan merasa puas atau gairahnya memuncak jika disakiti atau direndahkan.

Hingga saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin masih heran melihat hubungan partai Gerindra dengan Demokrat. Keduanya mengaku sebagai pasangan, tapi di "ranjang politik" saling menyakiti.

Secara formil "de jure" kedua partai besar itu tergabung dalam satu koalisi untuk Pilpres 2019. Ibarat pasangan kekasih, mereka bukan lagi pacaran, tapi sudah sah berkeluarga untuk sama-sama menghadapi dan mewujudkan masa depan gemilang.

Pengesahan sudah dilakukan dengan surat resmi dan didaftarkan ke "penghulu" Pilpres2019, yakni KPU. Publik pun jadi saksi lewat pemberitaan media. Namun secara "de facto" keduanya terlihat suka baku hantam sendiri. Publik disuguhkan tontotan politik tak sedap. Mungkin bagi bagi Demokrat dan Gerindra hal itu biasa, tapi tidak biasa bagi publik awam politik.

Gerindra Menyakiti Demokrat

Sebelum pendaftaran resmi Capres/Cawapres ke KPU, partai Demokrat menyodorkan AHY sebagai cawapres bagi Prabowo karena dari berbagai survey, elektabilitas AHY cukup tinggi. Kalau pun bukan AHY terpilih, harus ada calon alternatif lain, dan calon itu bukan Sandiaga Uno.

Namun kenyataannya, AHY tidak dipilih Gerindra. Sandiaga Uno yang tidak diinginkan Demokrat justru dipilih. Anehnya, saat itu Sandiaga Uno merupakan kader Gerindra. Bayangkan dalam sebuah koalisi, calon presiden dan wakilnya berasal dari satu partai, seperti tak ada calon pemimpin lain yang bisa dipilih koalisi itu. Atau, anggota koalisi tersebut memang tak dianggap Gerindra?

Melihat cara pemilihan Sandiaga Uno, Demokrat lewat Andi Arief mengungkapkan kekecewaannya dengan membongkar ke publik bahwa adanya "politik uang" antara Gerindra dengan PAN dan PKS.

Sandiaga memberikan masing-masing 500 milyar kepada partai PAN dan PKS. Tak hanya sampai disitu, Andi Arief bahkan menyerang sosok personal Prabowo dengan label "Jenderal Kardus". Ini sebuah olok-olok yang merendahkan kewibawaan Prabowo yang merupakan ketua Gerindra sekaligus calon presiden.

Demokrat disakiti dalam dua hal. Pertama, AHY tidak dipilih. Kedua, orang yang dipilih Gerindra adalah orang yang semula tak diinginkan Demokrat sejak awal. Ketiga, Demokrat ditelikung dengan politik uang antara Gerindra dengan PAN da PKS. Dan kalau soal pembagian mahar koalisi, kenapa partai Demokrat tidak kebagian uang itu?

Pada masa akhir pendaftaran, mau tak mau, suka atau tak suka, Demokrat masuk koalisi Prabowo demi keberlangsungan Partai Demokrat dalam percaturan politik Pilpres 2019 dan sesudahnya. 

sumber gambar : tribunnews.com
sumber gambar : tribunnews.com
Demokrat menyakiti Gerindra

Dalam perjalanan koalisi, Demokrat dianggap tidak total. Demokrat setengah hati. Demokrat bermain dua kaki dengan membiarkan kader berpengaruhnya mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin yang merupakan lawan Prabowo-Sandiaga. Para kader itu punya pengaruh besar terhadap massa pemilih kedalam kubu Jokowi-Ma'ruf Amin.

Tercatat Lukas Enembe ketua DPD Demokrat yang juga Gubernur Papua, Soekarwo ketua DPD Demokrat Jawa Timur yang juga mantan gubernur, Tuan Guru Bajang (TGB) dari NTB, gubernur Banten Wahidin Halim, dan lain-lain.

Cara Demokrat berpolitik di dalam koalisi dianggap tidak etis, setengah hati dan menyakiti Gerindra. Untuk apa koalisi Prabowo terbentuk dengan mengeluarkan energi besar; dana, pikiran, waktu, nama besar, eksitensi diri dan lain sebagainya kalau nyatanya Demokrat "membuang" potensi suaranya untuk Koalisi? Sekecil apapun potensi suara dalam teritori kepartaian, seharusnya diperjuangkan karena kelak akan berpengaruh pada angka pemenangan koalisi Prabowo-Sandi.

Apapun argumen Demokrat membiarkan kadernya seperti itu, menjadikan energi koalisi berkurang atau rusak. Bukan tidak mungkin, keberadaan Demokrat tak lebih formalitas dan cari untung sendiri. Citra Demokrat rusak di mata publik dan terkesan jadi benalu di koalisi Prabowo---yang mempengaruhi citra partai Gerindra.

Mencari kepuasan dengan cara saling menyakiti?

Ketika tahapan awal pembentukan Koalisi, Gerindra menyakiti Demokrat. Dalam perjalanannya, gantian Demokrat menyakiti Gerindra. Belakangan tersiar kabar bahwa struktur tim pemenangan koalisi Prabowo-Sandi lebih didominasi orang-orang Gerindra, mulai dari Capres/Cawapres, ketua tim pemenangan, sekretaris dan bendaharanya dari Gerindra. Kalau kelak benar, lagi-lagi Gerindra menyakiti Demokrat. Akankah nanti Demokrat lakukan pembalasan?

Apakah Gerindra dan Demokrat merasa puas atau "gairah berpolitiknya" memuncak jika saling menyakiti dan salah satu direndahkan? Apakah memang begini cara mereka mengelola "rumah tangga" koalisi?

Yang terpampang di ruang publik awam adalah keduanya melakukan aksi saling menyakiti untuk mencari sensasi kenikmatan. Nikmatnya adalah disorot publik, yang berarti jadi iklan gratis berpolitik. Tapi iklan gratis tersebut jadi bumerang yang menyerang balik eksistensi Prabowo-Sandi.

Publik awam khususnya calon pemilih dibuat bingung melihat aksi masokisme politik Gerindra-Demokrat. Ada kesan koalisi Prabowo tidak kompak. Tidak satu visi dan misi perjuangan untuk pemenangan.

Para elit partainya lebih mementingkan ego dan syahwat partainya saja. Mereka dianggap tidak kredibel jadi pemimpin karena mengurus koalisi saja tak elok seperti itu, bagaimana bisa mengurus negara dan bangsa yang permasalahannya lebih kompleks?

Ketika terjadi gonjang-ganjing tentang isu "masokisme politik" kedua partai tersebut muncul, maka Prabowo dan SBY saling bertemu. Disorot media. Kedua tokoh tersebut memperlihatkan bahwa kedua pihak baik-baik saja.

Demokrat-Gerindra dicitrakan mesra dan solid di depan publik. Namun publik tentu cerdas melihat seluruh rangkaian peristiwa, time linenya tercatat di media, untuk kemudian publik melakukan penilaian sendiri. Penilaian membentuk opini pribadi dan kelompok terhadap koalisi tersebut. 

Pada akhirnya, semua itu jadi dasar menentukan pilihan dalam Pilpres mendatang. Rakyat tentu ingin memilih pemimpin yang bisa bekerja dalam tim, baik besar maupun kecil demi masa depan bangsa dan negara ini.

Pilpres2019 masih relatif lama. Pengumuman resmi struktur tim pemenangan Prabowo-Sandi rencananya akan dilakukan tangggal 20 September 2018. Setelah tim terbentuk, apakah mereka akan terus melakukan "masokisme politik"? Kita tunggu saja. Aku sih rapopo.

----
Peb14/09/2018 
Referensi ; satu, dua, tiga, empat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun