Banyak orang sering mengatakan Jokowi suka melakukan pencitraan pada berbagai kegiatan resmi dan non resmi di tengah masyarakat. Sah-sah saja orang menilai dan berkomentar sejauh tidak melanggar peraturan. Â
Namun sekarang, Sandi pun sudah mulai melakukan pencitraan. Dari sosok yang tadinya Wagub DKI yang citra jabatan tersebut dicapai penuh dengan politik SARA, Â kini Sandi lebih dicitrakan sebagai politisi nasionalis, punya empati pada kebangsaan, serta peduli pada kestabilan politik negeri ini.
Lihat saja, pada perhelatan Asian Games lalu,  saat para atlet negara kita berjuang membela nama bangsa dan negara, Sandiaga Uno menghimbau publik secara luas agar tidak mengeluarkan statemen sinis atau nyinyir untuk menjaga spirit Asian Games dan nama baik bangsa di tengah para tamu internasional yang hadir di negara kita. Dia juga tak segan secara terbuka memuji Jokowi terkait pembukaan  Asian Games 2018 yang spektakuler.
Hal itu tentu suatu hal yang positif, sebuah langkah yang sejatinya dilakukan oleh banyak rekan politisnya sejak dahulu. Karena politisi adalah patron bagi para pendukungnya. Dengan ajakan positif itu, diharapkan seluruh komponen bangsa tidak terpecah belah.
Setelah resmi jadi Cawapres, Sandiaga Uno terlihat berusaha mengubah citra lama selaku Wagub DKI--kursi jabatan politis  bercitra SARA---menjadi Cawapres untuk semua orang. Yang dilakukannya itu sah-sah saja sebagai politisi dan calon wakil presiden agar bisa diterima semua lapiran masyarakat negeri ini. Siapa sih yang tidak ingin diterima seluruh rakyat Indonesia? Menjadi orang yang terlihat baik adalah poin penting untuk meraih suara dalam kontestasi Pilpres 2019.
Ketika upaya menggubah image itu dilakukan Sandi, selain menguntungkan dirinya, di sisi lain Jokowi pun diuntungkan. Jokowi kini tak sendiri dicap suka pencitraan karena kini sudah ada Sandiaga Uno dengan berbagai aksi sebagai "anak baik" di ruang publik.
Sebelumnya "sasaran tembak" publik yang berseberangan politik dengan Jokowi selalu menyerang Jokowi dengan labeling "pencitraan". Apapun aksi dan kegiatan Jokowi yang memuat simpati publik seringkali dianggap pencitraan oleh sebagia publik lainnya. Label pencitraan seolah-solah hanya milik Jokowi saja.
Soal kriteria penilaian pencitraan yang relatif pada masing-masing kubu. Penilaian tentu bersifat subyektif, namun satu hal yang tak bisa dibogongi adalah gestur tubuh dalam setiap aksi. Mulut publik bisa mencibir atau memuji, tapi hati nuani mereka tak bisa dibohongi, yang bisa jadi "lain di bibir lain di hati".
Kini "pencitraan" tak lagi bisa diperdebatkan untuk menjatuhkan lawan, baik kubu Prabowo/Sandi maupun Jokowi/Ma'ruf. Karena kalau mau jujur melihat realitasnya, saat ini kedua kubu punya gaya aksi terlabel "pencitraan" dalam meraih simpati publik.
Kalau pun nantinya  Sandiaga Uno menukar semua hartanya dengan nilai rupiah, aku sih rapopo.Â