Â
"Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia, melalui olahraga, bahwa kami eksis. Olahragawan adalah duta terbaik bagi kami. Ini merupakan inspirasi besar untuk mewakili Kroasia. Ada banyak kebanggaan. Dengan perang dan semua yang terjadi, itu meningkatkan energi nasional. Dengan olahraga kami tidak harus mengajari anak-anak menyanyikan lagu kebangsaan untuk memunculkan rasa kebangsaan nasional," (Igor Stimac, Legenda hidup Kroasia di Piala Dunia1998). Â
Pernyataan Igor Stimac itu menyiratkan sebuah spirit kebangkitan negara yang memiliki masa lalu kelam, keterpurukan dan inferioritas. Maka, dengan sepak bola mereka akan ubah semua itu dan bangun dari perihnya masa kelam.
Dalam pandangan umum geopolitis masa perang dingin (1947-1991) di Eropa terbentuk frase Blok Barat dan Blok Timur. Blok Timur diasosiasikan negara-negara Eropa yang berpaham komunis, sementara negara Eropa non-komunis diasosiasikan sebagai Blok Barat.
Secara ekonomi dan ilmu pengetahuan, Blok Barat lebih maju dibanding Blok Timur. Hal tersebut terkait sistem politik komunis yang mengekang kebebasan  warga negaranya untuk menentukan kehidupan.
Kroasia masa perang dingin merupakan bagian negara Yugolavia yang termasuk Blok Timur, atau Eropa Timur. Dalam perkembangannya, Kroasia merdeka tahun 1991 setelah melepaskan diri dari Republik Federasi Sosialis Yugoslavia melalui perang saudara yang panjang.
Saat Yogoslavia masih berdiri, tim juniornya pernah menjuarai piala dunia U-20 tahun tahun 1990. Di dalam tim junior tersebut para pemain asal Kroasia jadi bintang sepak bola dunia, seperti Zvonimir Boban, Davor Suker, Robert Jarni, Robert Prosinecki.
Tahun 1998, saat baru 7 tahun merdeka, Kroasia menggemparkan dunia, dengan meraih peringkat ketiga Piala Dunia 1998 setelah mengalahkan Belanda 2 : 1.Â
Untuk sampai ke semifinal mereka mengalahkan Rumania dan Jerman di babak knock out. Saat itu Kroasia diperkuat pemain generasi emasnya  seperti Zvonimir Boban, Davor Suker, Robert Jarni, Robert Prosinecki, Slaven Bilic, Zlatco Kranjcar dan lain-lain, yang berkiprah dan matang di liga elite Eropa Barat, seperti Italia dan Inggris.
Tahun ini Kroasia masuk final, lebih baik dari tahun 1998. Mereka diperkuat pemain generasi emas seperti Ivan Rakitic, Luka Modric, dan Mario Mandzukic, Mateo Kovacic, dll yang juga malang melintang di liga elite Eropa.
Namun bila dibanding dengan negara-negara Eropa Barat yang juga tampil di piala dunia, seperti Inggris, Belgia, Perancis, Jerman, atau Spanyol, maka Kroasia bukan hanya tertinggal dalam hal ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, namun juga infrastruktur sepak bola.
Sepak bola di Eropa Barat merupakan industri gila-gilaan dengan investasi besar yang seringkali jumlahnya di luar nalar awam, mengalahkan APBD satu propinsi negara kita. Dari inspirasi revolusi Industri tahun 1750-1850 di Inggris, Industri sepak bola Eropa tumbuh.Â
Bermula dari pendirian klub-klub profesional di Inggris, Spanyol, Italia, dan Jerman pada pertengahan abad 18 dengan sistem kompetisi terjadwal rapi. Lihat saja sejarah tahun berdirinya klub-klub besar Eropa seperti AC Milan, Juventus, Barcelona, Real Madrid, Bayern Munich, Manchester United, Liverpool, Notingham Forest, Â dan lain-lain. Â
Kiprah mereka berkembang tak hanya di negara tersebut namun juga lintas negara dan benua. Menariknya, kebanyakan klub profesional tertua lahir di Inggris---negara tempat lahirnya Revolusi Industri itu sendiri. Tak heran bila Inggris mengklaim sebagai tempat lahirnya sepak bola, walau sejarah mencatat permainan sepak bola telah dimainkan sejak abad 12-13 di belahan dunia lain (Tiongkok dan Amerika Latin).
Industri sepak bola Eropa Barat menjadi rujukan dunia dalam ilmu sepak bola beserta infrastruktur pendukungnya. Mereka mampu mempengaruhi berbagai bidang kehidupan di dalam dan diluar sepak bola itu sendiri, untuk melahirkan sepak bola unggul, seperti : Â
Sistem pembinaan usia dini yang berjenjang: hirarki kompetisi, asupan gizi pemain, sistem membangun kekuatan, kecepatan dan kecerdasan pemain, pemulihan kebugaran, perlindungan dan keselamatan pemain, recruitmen pemain dan pelatih, strata kepelatihan dan klub, pola-pola strategi baku permainan, tata kelola, pendanaan, pemasaran, aturan, hukum dan relasi/jaringan, infrastruktur lapangan/stadion, dan banyak lagi sistem pembentuk infrastruktur dunia sepak bola komplit dan canggih.
Hal yang dilakukan negara-negara Eropa Barat itu merupakan "renaissance sepak bola", yang ditindak lanjuti "revolusi industri sepak bola" yang semakin hari terus menerus mencari inovasi demi keuntungan besar. Â
Renaissance adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman di mana orang merasa dirinya telah dilahirkan kembali dalam keadaban yg diartikan sebagai suatu periode sejarah di mana perkembangan kebudayaan Barat memasuki periode baru dalam semua aspek kehidupan manusia, seperti ilmu-ilmu pengetahuan, teknologi, seni dalam semua cabang, perkembangan sistem kepercayaan, perkembangan sistem politik, institusional, bentuk-bentuk sistem kepercayaan yang baru dan lain-lain. (sumber)
Gelombang renaissance sepak bola mengubah mindset "bola ditendang ke sana-ke mari untuk kesenangan, kebugaran, rasa bangga dan persahabatan" menjadi suatu "karya seni, berharga, fanatisme, gaya hidup dan peradaban" yang bisa diciptakan.Â
Untuk  "renaissance sepak bola" maka dilibatkanlah kerja intelektual dan mesin industri agar sepak bola mudah dipahami dan jadi milik semua orang. Sepak bola tak hanya berkisar dua kelompok pemain yang berlaga, melainkan beragam lapisan berpengaruh di sekitar kelompok tersebut.Â
Lapisan itu menembus batas teknis sepak bola yang memuat aspek sosial, ekonomi, budaya, seni, ilmu pengetahuan dan teknologi dan lain sebagainya. Itulah kerja inteletual "renaissance sepak bola".
Sistem itu membentuk badan kapitalisme, sedangkan pemain jadi alat produksi dan "budak" kapitalisme. Mereka dibentuk sejak usia dini. Diolah dari bahan dasar menjadi bahan setengah jadi, kemudian diolah lagi jadi inti produk siap pakai untuk dijual ke pasar sepak bola dunia.
Di balik semua itu ada dukungan ilmu pengetahuan, riset dan teknologi yang menjadikan sepak bola sangat rasional, terukur, dan ambisius. Â
Bagaimana dengan sepak bola Kroasia?
Gelombang "renaissance sepak bola" Â juga melanda Kroasia sejak masih bernama Yugoslavia. Namun mereka belum bisa total karena sistem politik negara Yugoslavia yang anti kapitalisme. Bagi mentalitas inferior Blok Timur (komunis), sepak bola bukanlah industri melainkan alat propaganda negara kepada dunia.
Kroasia sendiri sudah lama memiliki kultur sepak bola, jauh lebih dahulu dari kemerdekaannya. Â Ini modal kuat Kroasia untuk menjadi "negara sepak bola" di era sekarang ini. Berprestasi tingkat dunia merupakan perjuangan fase kedua rakyat Kroasia untuk memperkuat pengakuan dunia setelah merdeka dari belenggu Yugoslavia.
Namun Kroasia hadir di pentas Eropa dan dunia bukan sebagai pusat industri sepak bola melainkan sebagai pemasok "budak industri sepak bola" yang bernilai tinggi karena memiliki skill, telenta dan daya juang hebat dalam bekerja di industri tersebut. Sejak penampilan perdana tahun 1998 yang mengesankan, hingga kini infrastruktur sepak bola Kroasia tidak berkembang sebagaimana hebatnya para "budak industri sepak bola" Kroasia bekerja di sejumlah klub terkemuka di Eropa Barat.
Mindset pemerintah dan publik Kroasia belum sepenuhnya menerima "renaissance sepak bola" seperti Eropa Barat, melainkan masih terkukung mentalitas "keras kepala" dan "irasional" ala Blok Timur yang masih bangga pada propaganda semata.Â
Lihat saja, Â prestasi klub asal Kroasia masih tergantung satu-dua klub, yang masih tak lepas nama besar Yugoslavia, seperti Dinamo Zagreb, Lokomotiv Zagreb, HNK Hazduk Split. Prestasi mereka di kompetisi liga elite Eropa belum mendunia seperti klub-klub Eropa Barat: Juventus, AC Millan, AS. Roma, Barcelona, Real Madrid, MU, Liverpool, Paris Saint Germain, Â AS Monaco, dan lain-lain.
Dibandingkan negara-negara barat seperti Inggris, Italia, dan Spanyol, publik dan lembaga sepakpola dari luar pun jarang mencari tahu "kesuksesan" sepakbola Kroasia.Â
Kroasia dianggap bukanlah rujukan yang tepat. Selain itu, tak banyak investor (kapitalis) kelas dunia menanamkan modalnya untuk "meramaikan pasar" sepakbola Kroasia.Â
Sementara di sisi lain pemerintahnya tidak agresif menjual diri  untuk membangun infrastruktur sepak bola mereka. Sikap alergi  "kapitalisme barat" di tanah sendiri dan rasa kepercayaan diri yang terlalu tinggi atas prestasi anak negeri menjadi dua sisi mata uang yang tak laku bagi "renaissance sepak bola" itu sendiri.
Pada piala dunia kali ini, "sifat keras kepala" dan "irasional" yang "anti mainstream Barat"  ditunjukkan pelatih timnas Kroasia Zlatko Dalic dalam taktik bermain. Saat melawan Rusia dan Nigeria dia pakai formasi 4-2-3-1. Saat melawan Islandia, Kroasia pakai formasi 4-3-2-1. Dan pakai formasi 4-1-4-1 saat melawan Argentina, Denmark, dan Inggris. Formasi itu unik (kalau tidak mau dikatakan aneh), padahal tim yang mereka hadapi adalah tim kelas dunia.
Bandingkan dengan formasi baku dan klasik Eropa Barat 4-4-2 atau 4-3-3 yang sudah jadi rujukan sepak bola dunia. Formasi itu mengutamakan peran lini tengah dan belakang demi kemenangan. Lini tengah adalah hidup-mati sepak bola di lapangan.Â
Sementara taktik pelatih Kroasia dengan  4-1-4-1 tentu saja diluar "buku teori" yang berlaku. Hebatnya, taktik itu membuat "pusing" para lawan: Argentina mereka tekuk 3 gol tanpa balas, Tim "Dinamit" Denmark tak mampu meledak, mereka tahan 1:1 (kemudian menang adu pinalti 3 ; 2), dan  Inggris (England) mereka bikin sulit bernafas dan mati angin di lapangan hingga kalah 1 : 2. Â
Bagi Kroasia masuk grand final menghadapi Perancis "wakil Eropa Barat", apalagi bisa jadi Juara Piala Dunia 2018 bukan hanya mengangkat nama negaranya di mata dunia.
Namun lebih dari itu, Kroasia membawa angin puting beliung pembongkar istana megah renaissance sepak bola Eropa Barat---dan dunia.Â
Angin itu muncul dari timur. Lahir dari mindset Blok Timur yang sedang mengalami tranformasi ke realitas baru sebagai orang Eropa yang utuh. Mereka berangkat dari ruang kemiskinan infrastruktur sepak bola. Dan 'puting beliung' Kroasia itu menjadikan sebuah mesin bandel pengkritik "renaissance sepak bola" yang penuh dokrin dan hegemoni sepak bola Eropa Barat. Â Â
Lalu, akankah Kroasia dalam waktu dekat menjadi rujukan sepak bola Eropa dan dunia? Mungkin perjalanannya masih jauh.
Justru yang lebih nyata dan sangat dekat adalah rujukan Kacang Garuda pada sepak bola, dengan adigium ; "Jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda". Ini merupakan renaissance lain dalam sepak bola. Suer!
---
peb@2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H