Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ketika Piala Dunia Kehilangan Sensualitas Magis

9 Juli 2018   16:49 Diperbarui: 9 Juli 2018   21:00 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber gambar : viva.co.id
sumber gambar : viva.co.id
Negara-negara barat sendiri bukan tak memiliki sejarah dalam hal sensualitas magis dan estetika. Mereka pernah tenggelam dalam era kegelapan jauh sebelum abad 14. Kemudian terjadi perubahan besar, mereka masuki  jaman renaissance abad 14-16 yang mengajarkan pengetahuan sambil tak lupa menciptakan dan menikmati keindahan karya seni. Selanjutnya, revolusi industri memberi pelajaran penting  bagaimana menjadi manusia unggul.

Ingggris, Perancis, Belgia dan Kroasia memilik sensualitas magis masa lalu. Semua itu hanya untuk cerita rakyat mereka. Namun ketika mereka harus tampil ke dunia internasional, magis itu mereka sembunyikan atau tak digunakan. Mereka lebih memilih faham mekanistik (mesin) untuk membawa negaranya menaklukkan dunia, termasuk dalam bidang sepakbola.

Berharap sensualitas magis tim Amerika Latin dan dunia ketiga sampai puncak dengan "memohon" lebih regulasi ini-itu pada FIFA hanya akan membuat sepakbola modern tercoreng. Sepakbola bukan politik berdasarkan bargaining politik menuntut jatah demi keberpihakan kaum lemah atau keseimbangan geopolitis. Sepakbola adalah murni olah raga, yang bersandar pada sportivitas.

Bagaimana dengan Indonesia?

Bangsa dan negara kita sebenarnya banyak kemiripan dengan negara-negara Amerika Latin. Kita punya segala perangkat sensualitas dan magis sepakbola itu dari seluruh penjuru nusantara. Namun untuk saat ini, semua perangkat itu hanya  bisa tampil di televisi, plaza dan cafe nonton bareng piala dunia, bukan hadir saat pemain kita berlaga. Bukan saat kapten tim nasional menerima trophy piala dunia di panggung kehormatan. Dan bukan pula saat seremoni yang tak berkesudahan selama 4 tahun piala dunia itu "ngekos" di negara kita.

Tak mengapa, asalkan kita tak berhenti mencintai sepakbola, dan selama kita tak pernah lupa hal magis dan sensual : "jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda", karena dengan jumlah penduduk 260 juta jiwa, kita  merupakan bangsa pemilik sensualitas dan magis tersendiri dalam dunia sepakbola yang tak bisa dipandang sebelah mata FIFA.  Sejatinya, bangsa-bangsa lain pun harus tahu : "Jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda".

viva.co.id
viva.co.id
 

----

Peb2018  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun