Ingggris, Perancis, Belgia dan Kroasia memilik sensualitas magis masa lalu. Semua itu hanya untuk cerita rakyat mereka. Namun ketika mereka harus tampil ke dunia internasional, magis itu mereka sembunyikan atau tak digunakan. Mereka lebih memilih faham mekanistik (mesin) untuk membawa negaranya menaklukkan dunia, termasuk dalam bidang sepakbola.
Berharap sensualitas magis tim Amerika Latin dan dunia ketiga sampai puncak dengan "memohon" lebih regulasi ini-itu pada FIFA hanya akan membuat sepakbola modern tercoreng. Sepakbola bukan politik berdasarkan bargaining politik menuntut jatah demi keberpihakan kaum lemah atau keseimbangan geopolitis. Sepakbola adalah murni olah raga, yang bersandar pada sportivitas.
Bagaimana dengan Indonesia?
Bangsa dan negara kita sebenarnya banyak kemiripan dengan negara-negara Amerika Latin. Kita punya segala perangkat sensualitas dan magis sepakbola itu dari seluruh penjuru nusantara. Namun untuk saat ini, semua perangkat itu hanya  bisa tampil di televisi, plaza dan cafe nonton bareng piala dunia, bukan hadir saat pemain kita berlaga. Bukan saat kapten tim nasional menerima trophy piala dunia di panggung kehormatan. Dan bukan pula saat seremoni yang tak berkesudahan selama 4 tahun piala dunia itu "ngekos" di negara kita.
Tak mengapa, asalkan kita tak berhenti mencintai sepakbola, dan selama kita tak pernah lupa hal magis dan sensual : "jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda", karena dengan jumlah penduduk 260 juta jiwa, kita  merupakan bangsa pemilik sensualitas dan magis tersendiri dalam dunia sepakbola yang tak bisa dipandang sebelah mata FIFA.  Sejatinya, bangsa-bangsa lain pun harus tahu : "Jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda".
----
Peb2018 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H