Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ketika Piala Dunia Kehilangan Sensualitas Magis

9 Juli 2018   16:49 Diperbarui: 9 Juli 2018   21:00 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bandingkan dengan para pemain bintang yang masih bertahan hingga semifinal sekarang. Tim Inggris dengan Harry Kane, Jordan Pickford, Jammy Vardy, dll ; Eden Hazard, Romelu Lukaku, Marouane Fellani, dll (Tim Belgia) ; Kylian Mbappe, Olivier Giroud, Antoine Griezmann, dll (Perancis); Luka Modric, Mario Mandzukic dan Ivan Rakitic, dll (Kroasia). Mereka memiliki gaya permainan individu yang sama, bukan dari varian tarian tradisonal mereka dalam pesta rakyat. Kecepatan,  kekuatan dan postur tubuh menjadi andalan program, bukan oleh tubuh pas-pasan sosok David yang ingin menaklukkan Goliath.

Keberhasilan mereka tergantung kolektifitas tim, bukan oleh kenakalan aksi magis dan kreativitas individu saat dalam tekanan berat. Mereka rata-rata lahir dari sebuah program jangka panjang yang disiapkan secara kelembagaan resmi (sekolah sepakbola), bukan dipungut dari jalanan dan permukiman kumuh.

Sejak kanak-kanak mereka dibiasakan pada sistem promosi dan degradasi bila berprestasi atau sebaliknya, bukan dari pemberontakan suramnya masa depan. Mereka hadir di panggung setelah ditempa mesin kapitalisme klub sepakbola barat, bukan oleh mimpi burung punduk pada bulan. Statistik (kuantitatif) adalah acuan, bukan perdebatan kualitatif publik di cafe kumuh, kartel narkoba dan asssosiasi bola yang koruptif.  Mereka sejak awal  didukung oleh sistem ilmu pengetahuan dan teknologi olahraga, bukan oleh para dukun mistis dari pelosok.

Melihat mereka bermain seperti membaca program dari  text book atau manual book. Tiap gerakannya  mudah dihapal karena setiap pemain adalah komponen mesin yang menjalankan fungsi menurut program, bukan dari kenakalan kecil dan talenta dari langit.

Mari kita lihat perbandingan lain, ketika 2014 tim Jerman--yang merupakan "gambaran" negara Eropa (Barat) meraih piala dunia. Apa yang ada dibalik kisah mereka? Tidak ada.

Usai menerima trophy, para pemain Jerman dan publiknya kembali kepada kehidupan mesin. Sistem. Rencana. Rutinitas. Aktivitas dan seremoni tanpa estetika. Pemainnya naik ke panggung mengenakan jas---yang sama bagi semua orang dimanapun. Bandingkan dengan Amerika Latin, pemain dan publiknya  hadir riuh. Berisik. Gegap gempita "joget primitif" dengan pakaian adat (tradisional) tanpa guntingan pola yang jelas, alami, berwarna-warni dari beragam suku di negaranya. Keberbedaan disatukan dalam ruang kemenangan dan semarak cinta mereka pada negara, dan dunia sepakbola itu sendiri.

Bagi negara barat, tak ada berhala untuk sebuah piala emas. Tak ada denyut sensualitas dan magis sepanjang waktu trophy sepakbola itu "ngekost" di negaranya. Para pemain bintangnya tak ada yang jadi dewa untuk disembah karena rasionalitas publiknya "tak menyediakan ruang untuk dewa". Sistem demokrasi modern dan egalitarianisme menempatkan para pemain bintang sama saja dengan pemain lainnya, juga terhadap publik bola itu sendiri. 

Bagi bangsa barat, tak perlu ada dukun yang terus menerus berhala pada piala dunia. Tak ada drama orang miskin bangkit jadi jutawan demi marwah kaumnya. Tak ada inspirasi bagi kaum "proletar" untuk menjadi "Borjuis" bersama para kapitalis lewat aksi magis lapangan hijau. Untuk jadi borjuis atau  kapitalis haruslah berada dalam sistem mesin, bukan lewat aksi magis. Karena (memang) magis sepakbola tak pernah lahir di dunia barat, melainkan dari tanah Amerika Latin.

Semua peristiwa itu jadi kisah pada sisi lain Piala Dunia sepakbola yang selalu hidup melebihi empat tahun bermukimnya sebuah trophy Piala Dunia di negara pemenang.  Kisah itu tak lepas dari rentetan pertandingan sejak babak penyisihan grup hingga grand final.

Harus diakui, Piala Dunia di Rusia adalah kemenangan teknologi (mesin) dunia barat terhadap belahan dunia lain, khususnya Amerika Latin. Di dalam sepakbola termuat "Citius, Altius, Fortius", yang berarti "Faster--Higher--Stronger" atau "Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Kuat". Konten itu sejak jauh hari sudah dimasukkan dalam program mesin (teknologi) dunia barat. Mesin taktis dan efesien bekerja, yang seringkali melindas tarian ciamik possesion football Amerika Latin. Walau saat permainan, sang mesin dikepung beragam tarian magis, tapi sebagai mesin dia merupakan pembunuh jitu. 

Tak ada  fitur rasa ketakutan apapun. Bagi mesin, fitur untuk menjalankan program yang tepat adalah lebih penting. Cilakanya sekarang, faham mesin (mekanistik) barat mencemari magis Amerika Latin di lapangan hijau. Dunia barat jadikan Amerika Latin obyek hegemoni mereka. Dan demi prestasi, sebagian pemain dan pelatih Amerika Latin ikut latah menjalankan sistem mekanistik sepakbola secara terbata-bata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun