Apa yang sebelumnya telah dia capai dan miliki di kehidupan nyata menjadi tak ada artinya dimata publik yang shock oleh tulisan status kebencian tersebut. Tanpa bekasnya, dan nasibnya telah ditentukan oleh orang lain. Lewat tulisan kebencian dan fitnah, dia telah merubah nasibnya dengan cara bertindak di luar nilai kemanusian universal. Tak ada lagi waktu dan tempat untuk menarik buah pikirnya kembali karena semua itu telah tertempel di ruang benak publik sebagai "manusia jahat tak tahu diri', dan lain sebagainya. Â
Sangsi hukum positif memang memberi ruang kecil dan waktu singkat untuk dia merenungkannya kembali, memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa, meminta maaf kepada publik depan sorot kamera dan alat rekam lainnya. Namun semua itu tak akan bisa menghilangkan bekas luka publik dan tempat terjerembabnya nilai kemanusiaan si Pemilik akun.
Sekarang bagi para netizen yang selalu ditantang pertanyaan ; 'Apa yang anda pikirkan?'' seharusnya selalu punya waktu untuk berpikir berulangkali serta terus menghidupkan filter diri, agar apa yang kita pikirkan dan posting di media sosial tak menjadikan kita terjerembab dalam ruang kepuasan tanpa nilai kemanusiaan, apapun sematan jabatan dan harta yang kita miliki. Kalau demikian, adakah tempat yang tepat untuk menghina orang lain di media sosial? Tidak Ada!
******
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H