Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belenggu Romantisme Hari Buruh dan Cara Pandang Baru

1 Mei 2018   10:45 Diperbarui: 1 Mei 2018   13:12 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : asset.kompas.com

Hari buruh di Indonesia eksis setelah  runtuhnya rezim Orde Baru. Pada masa Orde Baru gerakan buruh dilarang pemerintahan Soeharto  karena diidentikan gerakan komunis.  Tujuan Orde Baru melarang perayaan Hari Buruh adalah untuk meredam gejolak yang dikuatirkan timbul dari gerakan jutaan pekerja terhadap stabilitas politik dalam negeri.

Pada pemerintahan pasca Reformasi, Hari Buruh tanggal 1 Mei diakui dan dijadikan hari libur nasional. Seolah mengikuti tren sejarah, setiap tanggal 1 Mei ratusan ribu buruh Indonesia di berbagai kota turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi menuntut perbaikan nasib atau kesejahteraan. Mereka berpatokan pada peringatan peristiwa Haymart, Chicago, Amerika yang merupakan sejarah perjuangan para pekerja sehingga lahir Hari Buruh.  

Tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada konggres Federation of Organized Trades and Labor Union tahun 1886.  Tanggal tersebut diambil untuk mengenang peristiwa Haymarket 1 Mei tahun 1886 saat sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat melakukan demonstrasi menuntut pengurangan jam kerja mereka dari 20 jam menjadi 8 jam sehari.  Aksi tersebut bentrok dengan aparat sehingga ratusan orang tewas dan para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati. Para buruh yang tewas pada peristiwa  itu dianggap sebagai martir. 

ilustrasi Tragedi HayMarket, Chicago, sebagai awal sejarah Hari Buruh Sedunia. Sumber gambar ; https://img.okezone.com/content/2016/05/01/18/1377354/tragedi-haymarket-huru-hara-buruh-terbesar-dalam-sejarah-DFC20DPXlv.jpg
ilustrasi Tragedi HayMarket, Chicago, sebagai awal sejarah Hari Buruh Sedunia. Sumber gambar ; https://img.okezone.com/content/2016/05/01/18/1377354/tragedi-haymarket-huru-hara-buruh-terbesar-dalam-sejarah-DFC20DPXlv.jpg
Sejarah hari buruh tanggal 1 Mei kemudian dipandang mampu memberikan semangat perjuangan kelas pekerja terhadap kapitalisme Industri. Ini dipertegas lagi dengan pernyataan Juru Bicara Gerakan Buruh untuk Rakyat (Gebrak) M Yahya bahwa himbauan "May Day is Fun Day" pada hari buruh merupakan upaya membelokkan sejarah Hari Buruh Internasional . (baca kompas.com ini dan ini ). Pernyataan itu mengisyaratkan Hari Buruh merupakan "pelestarian" sejarah Hari Buruh, sebuah moment heroik masa lalu yang berisi demonstrasi para pekerja. 

Atas dasar pemaham tersebut, Hari Buruh di Indonesia sampai sekarang tetap diisi dengan demonstrasi besar-besaran oleh para buruh di berbagai kota.

Tren demonstrasi hari buruh memunculkan pertanyaan, kalau isinya demonstrasi, lalu kapan para buruh bisa sukacita merayakan Hari Buruh? Apakah tidak sebaiknya diisi dengan istirahat bersama keluarga atau kegiatan rekreatif bersama lainnya layaknya hari raya atau hari nasional yang sudah ditetapkan pemerintah? 

Baca ; Hari Buruh, Kenapa Selalu Harus Demontrasi Besar-besaran?

Kalau hari raya keagamaan biasanya diisi ibadah (sebagai hal yang utama) kemudian dilanjutkan dengan silaturahmi pada keluarga dekat dan kerabat dalam suasan sukacita bersama. Kedua kegiatan Hari Raya itu memberi dua kesenangan / sukacita utama yang berbeda, satu kesenangan bersifat sakral (ke-Ilahi-an) atau religi, sedangkan silaturahmi  bersifat profan (ke-duniawi-an).  

Kalau hari raya nasional lainnya, misalnya hari kemerdekaan RI 17 Agustus diisi dengan upacara peringatan detik-detik proklamasi, kemudian lomba-lomba unik masyarakat yang tujuannya mengakrabkan diri di lingkungan komunitas, tempat kerja, sekolah, atau tempat tinggal dan lain sebagainya. Demikian juga hari-hari nasional lainnya, misalnya Hari Pahlawan, Hari Kartini,  dan lain-lainnya kurang lebih sama.

Adakah suka cita Hari Buruh?

Ada suatu yang "aneh" ketika Hari Buruh "terkonotasikan" sebagai hari demonstrasi para buruh. Framing media pada aksi buruh yang turun ke jalan di hari spesial mereka lebih mendominasi pemberitaan sehingga di benak publik luas bahwa Hari Buruh identik dengan Demontrasi. Kalau jumlahnya ditotal,  ratusan ribu orang buruh dari berbagai kota di Indonesia berdemontrasi pada "Hari Raya" mereka. 

Pada sisi lain, diberbagai tempat, khususnya kota yang memiliki banyak kawasan industri, sebelum tanggal 1 Mei warga kota sudah siap mental "dapat susah" yakni terjebak macet. Mereka akan berpikir ulang melewati jalan-jalan tertentu yang jadi jalur demonstrasi. Demikian juga angkutan umum khususnya yang rutenya  termasuk jalur demonstrasi. Sekoordinatif apapun pelaksana demontrasi dengan para aparat terkait, arus lalu lintas tidak selancar biasanya karena jalan (dan ruang publik lainnya) sebagian tersita demontran. Kalau terjebak macet, ada harga yang harus dibayar angkutan umum, yakni waktu lebih banyak terbuang dan pengeluaran bensin jadi lebih besar. 

Renungan dan Harapan

Kalau merujuk pada hari raya keagamaan (yang bersifat universal atau mendunia), kita akan dapatkan suasana berbeda dari zaman ke zaman. Ada transformasi perayaaan ketuhanan ke dalam suca cita baru yang bersifat keduniawian tanpa menghilangkan romantisme keilahian itu sendiri. Dengan cara pandang baru, semua item perayaan relevan dengan kehidupan zaman, bahwa silaturahmi dan perayaan adalah bagian tuntutan kelilahian. Memperbaharui relasi manusia dengan manusia adalah pembaharuan relasi manusia dengan Tuhan. 

Perayaan keagamaan itu kemudian menjadi sebuah wujud syukur dan sukacita---semenderita apa pun si pemeluk agama itu dalam kehidupan yang dijalaninya. Golongan orang miskin tidak menggugat Tuhan karena mereka miskin. Golongan rakyat kaya tidak menggugat Tuhan kenapa tidak lebih kaya lagi. Dalam hal tersebut, pemerintah memberi ruang yang sama kepada seluruh rakyat untuk merayakan hari Tuhan bagi pemeluknya. Bahkan kepada warga miskin seringkali ada kebijakan tertentu agar mereka bisa bersuka cita bersama seluruh rakyat pemeluk agamanya.

Kalau melihat hari raya nasional seperti hari kemerdekaan atau hari pahlawan juga ada transformasi pemaknaan yang kemudian diwujudkan dalam tindakan komunal mengarah pada sukacita bersama. Bayangkan saja, kemerdekaan dan pahlawan adalah kegetiran masa lalu, nyawa, darah dan air mata tertumpah, kehinaan sebagai manusia dan bangsa jadi hal (luka batin) yang sulit dilupakan. Semua itu jadi romantisme yang tak menyedihkan. Namun dalam transformasi pemaknaannya dapat diwujudkan dengan beragam kegiatan sukacita bersama untuk mempererat persaudaraan sebagai anak bangsa di lingkungan masing-masing.

Bagaimana dengan Hari Buruh? Akan kah terus terkonotasikan demontrasi? Tidak adakah ruang transformasi romantisme masa lalu hari buruh menuju suatu wujud kesukacitaan bersama dalam beragam kegiatan menyenangkan di lingkungan terdekat seluruh masyarakat --seperti hari raya keagamaan, hari kemerdekaan, hari Kartini atau hari kepahlawanan lainya?

Semoga suatu saat nanti semua orang merayakan Hari Buruh dengan kesukacitaan, segetir apapun hidup yang dialami. Kelak, kesukacitaan hari buruh itu dimaknai sebagai energi baru untuk membangun relasi baru pada tantangan kerja hari ini dan masa depan menuju perwujudan kesejahteraan.(peb2018)

---- 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun