Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menulis Artikel Politik Tidak Cukup Bermodal "Gemes"

30 April 2018   06:16 Diperbarui: 30 April 2018   16:37 2206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persoalan politik selalu bikin gemes bagi siapa pun. Gemesnya politik tak melulu soal kebijakan politik, melainkan adanya  aksi atau perilaku tokoh politik, peristiwa politik, dan lain sebagainya yang terhampar di berbagai media.

Orang yang mengaku dirinya tak perduli politik pun bisa dibuat jadi gemes.  Di dalam gemes itu terjadi  benturan nalar publik terhadap ragam aksi teatrikal pelaku politik yang memiliki nalar sendiri. Uniknya, tumpuan pelaku politik justru pada suara (simpati) publik.

Sikap gemes menawarkan publik awam pada pilihan ; tak perduli atau perduli. Bagi yang perduli maka akan ada banyak pilihan aksi,  salah satunya adalah menulis soal politik di berbagai media (khususnya medsos) yang memungkinkan ekspresi politik publik tersalurkan secara langsung .

Entitas politik sangat kompleks. Setiap isu politik aktual memuat beragam dimensi , baik itu dimensi  waktu (masa lalu dan masa kini), dimensi etis, moral, religi, maupun konvensi nilai-nilai tertentu serta aturan/undang-undang, dan lain-lain . Selain itu satu isu politik hampir pasti terkait isu-isu lainnya, baik yang sedang hangat maupun yang sudah jadi masa lalu. 

Menulis dan Politik adalah dua ranah yang berbeda, namun bisa bersatu dalam bentuk tulisan politik yang bentuknya bermacam-macam. Salah satunya adalah artikel politik.  Lalu, apakah menulis politik cukup berbekal rasa "gemes"?

Ketika kita akan menulis artikel suatu isu politik, maka sejatinya kita harus mau mengetahui berbagai dimensi  yang melatarbelakanginya, kemudian memilih dan memilah, kemudian menyusunnya  menjadi sebuah logika awam.

Artinya, artikel itu memuat referensi yang valid, dan dibuat secara terstruktur agar mudah dimengerti orang banyak. Disinilah persoalannya, menulis artikel politik itu 'mengasyikkan' sekaligus 'rumit'.  

Mengasikan, karena saat menulis artikel politik ibarat sedang bermain menyusun puzle-puzle aneka ukuran peristiwa terkait plus dimensi tadi--menjadi satu kesatuan bentuk yang utuh dan menarik para pembaca.

Rumit, karena sebuah isu aktual politik berdimensi banyak. Seringkali saking gemesnya publik menulis politik secara spontan (reaktif), hal tersebut seperti  suara beragam alat musik yang mereka tabuh sebagai sebuah reaksi spontan, namun suaranya tanpa nada jelas. Suara terdengar tak lebih sebuah keriuhan. Ada yang mengatakan itulah 'demokrasi'. 

Lihat saja ketika Rocky Gerung melambungkan pemikiran "kitab suci merupakan fiksi", atau Amien Rais mengatakan "partai setan dan partai Allah". Hal yang kemudian muncul adalah suara riuh di ruang publik dengan berbagai jenis alat musik dan pukulan tak beraturan.

Lihat saja di berbagai status Facebook, Twitter, Instagram dan ruang medsos lainnya. Suara apa yang terdengar?

sumber gambar : http://www.rumahbacakomunitas.org/
sumber gambar : http://www.rumahbacakomunitas.org/
Tugas seorang penulis artikel politik adalah mengambil salah satu sudut pandang, atau menentukan nada musik yang jelas (genre musik) dari beragam pilihan dimensi beserta keterkaitannya dengan isu lain yang relevan. Inilah salah satu yang membedakan tulisan politik berbentuk artikel politik dengan tulisan politik di status Facebokk atau Twitter pada umumnya. 

Beruntunglah ada "ruang musik" seperti media Kompasiana yang tersedia beragam alat musik untuk para penulis artikel politik "memainkan musiknya" secara jelas. Artinya di Kompasiana memiliki sumber informasi beserta rangkaiannya yang relatif lengkap.  

Persoalan sebuah artikel politik itu merupakan pembelaan suatu isu aktual atau sebaliknya bukan lagi hal yang utama karena artikel politik memberi ruang permisif yang luas dan nyaman bagi  si Penulis untuk menentukan sikap politiknya. Disisi lain, yang dicari pembaca adalah "nada musik"  yang jelas.

Bukan seperti suara grumunan lebah yang sedang marah atau birahi---semata-mata datang berdasarkan insting. Sudah lah tidak jelas, malah makin memperkeruh keterbatasan pemaham publik awam terhadap suatu isu aktual politik.

Seorang penulis artikel politik sejatinya bisa membangun sebuah perpektif bagi pembaca dari elemen dimensi yang dia pilih dan isu lain terkait yang dia kumpulkan. Minimal si Penulis tersebut mampu membangun satu dimensi secara jelas.

Selain itu, walau tidak mudah, kalau mampu meramunya dalam dua atau tiga dimensi secara logis, runtut, penuh referensi, maka bukan tidak mungkin menjadi artikel yang menarik, baik bagi para pembaca yang satu pilihan politik, maupun  bagi pembaca netral dan yang berseberangan pilihan politik. Di sinilah sebuah artikel politik jadi bernilai, bukan semata bermodalkan rasa "gemes".

----- 

Peb2018 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun