Hari Kartini tahun ini memunculkan ikon baru yakni Susi Pudjiastuti dan Sri Mulyani. Keduanya merupakan 'Perempuan Hebat" negeri ini. Begitulah fenomena yang tampak "bersliweran" di media sosial, para netizen memberikan  label kedua perempuan itu sebagai 'Kartini Jaman Now'. Fenomena tersebut diberitakan beberapa media arus utama sehingga makin mempertegas label kedua perempuan itu sebagai 'Ikon Kartini Jaman Now.'
Dalam salah satu cuitannya di Twitter dalam menyambut Hari Kartini, ibu Susi Pudjiastuti menuliskan ; "Bebaskanlah pikiranmu bahwa perempuan adalah sebuah keterbatasan. Langkahkan kakimu jauh ke depan bersama kebebasan, menjadi Kartini-Kartini baru".Â
Sementara ibu Sri Mulyani menuliskan dalam akun facebooknya ; "Hari ini, pemikiran Kartini masih sangat relevan karena gender gap masih besar. World Economic Forum dalam hasil risetnya menunjukkan bahwa masih banyak perempuan di dunia yang tertinggal 200 tahun dari kondisi umum dunia." (sumber kompas.com).
Satu hal menarik pada ibu Susi Pudjiastuti dan Sri Mulyani, dari aspek pendidikan  beda bagai bumi dengan langit. Ibu Susi Pudjiastuti hanya sampai tingkat SMP (menjalani SMA namun tidak sampai selesai). Ibu Sri Mulyani berpendidikan Doktor, yang merupakan tingkat pendidikan tertinggi. Tak hanya itu, dia juga mendapakan gelar Profesor, yakni sebuah jabatan tertinggi dunia akademis.Â
Ibu Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, kehebatannya sering dibanding-bandingkan dengan para profesor doktor--yang tidak ada apa-apanya dibandingkan ibu Susi yang "cuma" berpendidikan SMP. Ini adalah anggapan publik, dasarnya adalah di Indonesia banyak ahli kelautan dan perikanan namun konon mereka tak banyak bisa bikin gebrakan "berani' dibidang kelautan dan perikanan dibandingkan seorang Susi yang cuma lulusan SMP.Â
Disini, 'framing' publik tentang kehebatan Ibu Susi adalah sebuah perlawanan terhadap tingkat pendidikan. Lewat 'nasib pendidikan' Ibu Susi, seorang perempuan berpendidikan rendah sekalipun bisa "mengalahkan" atau "duduk sejajar" dengan orang-orang berpendidikan tinggi.
Kalau melihat framing tersebut, fokus perlawanan Ibu Susi dan Ibu Sri Mulyani memang berbeda, namun energi yang mereka keluarkan relatif sama. Dengan keterbatasan pendidikan, seorang Susi Pudjiastuti harus berpikir keras agar "tak kalah" dengan profesor doktor. Sedangkan seorang Sri Mulyani harus berpikir keras agar pendidikan tinggi yang dimilikinya tak kalah dengan kaum laki-laki yang juga berpendidikan tinggi.Â
Beda Nasib dan Kesamaan Energi
Energi Ibu Susi dan Ibu Sri Mulyani merupakan energi keperempuanan yang dililit banyak "batasan" tersebab setting kultur Indonesia. Oleh karena itu garis perjuangan keperempuanan mereka berawal dan dibentuk oleh nasib. Kenapa demikian? Karena nasib merupakan pencapaian suatu bentuk yang didapat dari proses perjuangan terhadap berbagai keterbatasan yang dialami. Dengan kata lain ; nasib tidak akan berubah kalau tidak diperjuangkan.Â