Generasi emas pemain Timnas sepakbola Indonesia bisa saja berganti tapi harapan publik sepakbola Indonesia tetap sama yakni prestasi dalam bentuk trophy bergengsi. Harapan tersebut sangat wajar bila melihat modal yang dimiliki Indonesia untuk membentuk tim sepakbola yang kuat, baik di kawasan Asean, Asia bahkan Dunia. Modal tersebut tak kalah dibandingkan negara-negara lain yang sepakbolanya sudah diperhitungkan di tingkat internasional. Sebut saja modal jumlah penduduk lebih dari 250 juta orang--sebagian besar suka dan bermain sepakbola. Modal lain adalah banyaknya talenta pemain yang mumpuni dari seantero nusantara. Dua hal itu merupakan sumber daya alami/dasar  yang masih butuh kombinasi modal lain untuk menjadikan sebuah Timnas yang kuat.
Sejak meraih medali perunggu di multi event Asian Games 1958 Tokyo dan meraih emas Sea Games 1991 di Filipina, baru ada satu kejuaraan bergengsi yang diraih Timnas kita, yakni kejuaraan sepakbola yunior piala AFF U19 tahun 2014. Sungguh sebuah rentang waktu puasa juara yang panjang!
Gaung untuk meraih juara sepakbola Sea Games dan piala AFF sangat mendominasi sepakbola nasional saat ini. Generasi pemain Timnas sudah berkali-kali berganti namun belum juga trophy itu teraih. Hal ini merambat pada ketidakberanian pengurus dan Timnas untuk menatap trophy multi event Asean Games dan kejuaraan sepak bola Asia.
Piala AFF dan kejuaraan Asia (Asian Cup) sebagai event khusus sepakbola mampu menjadikan gaung Timnas semarak. Even tersebut 'menyediakan' trophy dalam berbagai level usia pemain dari U16,U19,U22 hingga Senior. Tahun 2017 piala AFF sudah melakukan berbagai pertandingan kualifikasi menuju final di tahun 2018. Selain itu ada juga pertandingan uji coba Timnas melawan negara lain. Â
Berbagai laga tersebut jadi perhatian publik dan membuat suasana sepakbola nasional semarak, khususnya terhadap keberadaan Timnas kita. Namun kesemarakan itu tak berbanding lurus dengan prestasi Timnas dalam laga yang dilakoni. Hal ini ditulis oleh Kompasianer Achmad Suwefi yang membuat catatan pertandingan Timnas dan peristiwa di tingkat liga/klub beserta polemik pengurus PSSI selama tahun 2017. Tulisan itu berisi data cukup lengkap dan runtut yang bisa digunakan untuk melihat kalender perjalanan Timnas selama tahun 2017. Pada akhir catatannya, diharapkan PSSI tidak larut dalam polemik sepakbola nasional dan fokus dengan target serta program yang ada.
Penampilan Timnas di kualifikasi piala AFF relatif berkesan dimata publik. Kanal berita media masa utama pun ramai menyorot. Sejumlah nama pemain tampil gemilang dan jadi bintang bukan hanya di lapangan sepakbola, namun juga merambah di dunia maya dan media massa utama. Sosok mereka jadi idola, sering beritakan media, diulas, dan diwawancarai langsung di televisi. Jadilah mereka seleb entertainment baru.
Terbentuknya seleb sepakbola ini tak lepas dari euforia publik pada beberapa penampilan menarik  Timnas---walau untuk meraih trophy kejuaraan masih jauh. Hal itu memunculkan kritik. Ada kekuatiran publik bahwa ke-seleb-an pemain Timnas bisa merusak mentalitas dan kesiapan bertanding. Berbagai ulasan telah ditulis sejumlah Kompasianer. Ada pula yang mengulas teknis setiap scen pertandingan, ada pula yang mengulasnya secara lebih komprehensif.
Masalah non teknis Timnas dikritik Kompasianer Susy Heryawan. Secara satire dia menulis "Timnas Kalah oleh Sinetron". Apa hubungannya? Inti ulasannya adalah ada aspek berlebihan (lebay) yang diidap pemain Timnas saat bertanding. Seringkali tampak kepanikan pemain saat tertinggal atau lawan lebih dulu mencetak gol. Padahal slot waktu pertandingan masih cukup panjang. Pemain jadi tidak fokus dan mudah emosi. Faktor usia  muda, jadwal pertadingan yang mepet, kondisi lapangan buruk tidak bisa dijadikan alasan permisif untuk bermain tidak stabil dan kasar dalam pertandingan Internasional. Tentu saja hal itu dimanfaatkan lawan untuk memprovokasi pemain Timnas sehingga jadi makin rusak teknis permainannnya. Selain itu motivasi bertanding jadi lemah.
Hal yang terjadi pada pemain Timnas itu tak lepas dari pengaruh kultur pertandingan di Liga Indonesia--tempat asal pemain Timnas--yang cenderung kasar dan brutal. Sementara hal itu tidak menunjukkan ciri permainan bola level internasional. Hal tersebut  jadi kelemahan non teknis Timnas kita.
Masalah teknis Timnas diulas secara menarik oleh Kompasianer Ksatriawangsa. Ulasannya  bisa menggambarkan 'penyakit lama dan akut' Timnas kita yang belum sembuh hingga sekarang. Muatan ringkasnya adalah sebagai berikut :
Pertama, melakukan kesalahan tidak perlu, misalnya soal salah umpan dan lemah saat mengamankan bola.
Kedua, Attitude kurang produktif, yang terkait seringnya memainkan bola antar sesama pemain (possession play) yang membuang waktu tanpa tujuan jelas. Ketika mendadak dikejar lawan justru pemain timnas panik sehingga bola direbut lawan.
Ketiga, kerjasam tim yang belum kompak. Pemain sering bermain secara individu, padahal pemain lain siap menyambut umpan atau sebaliknya pemain lain tidak pandai mencari posisi. Kelambatan menghantar umpan menyebabkan hilangnya momentum dan peluang.
Keempat, minimnya skema penyerangan. Tidak terpenuhinya permainan kolektif dan kreativitas membuat sulitnya pemain Timnas membuat penyelesaian akhir.
Kelima, kurikulum pembinaan. Seringnya kesalahan dasar yang dilakukan para pemain Timnas yang notabene memiliki skill individu bagus disebabkan masalah kurikulum pembinaan yang tidak optimal. Mereka menjadi individu pemain tanpa visi bermain yang luas dan tajam, kurangnya keberanian mengolah permainan dan kecerobohan saat dalam tekanan.
Melihat timnas tidak lengkap bila tanpa menyertakan pesaing abadi di level Asean, yakni timnas Malaysia dan Thailand. Ini terjadi di semua level kejuaraan berdasarkan umur. Sudah menjadi pengetahuan umum publik sepakbola bahwa Thailand adalah momok Timnas kita. Thailand adalah tim yang tangguh. Secara statistik, Thailand lebih banyak meraih kemenangan saat melawan Timnas kita.
Kompasianer Dejan Gilang menuliskan "Thailand selalu ingin berada diatas kita". Dalam tulisannya dia mengulas kejuaraan futsal Asia U20 dimana Thailand ngotot tidak mau kalah dengan Timnas Indonesia. Kejuaraan itu jadi pintu gerbang menuju kejuaraan dunia sepakbola futsal. Bagi Thailand, kedigdayaan mereka di sepakbola konvensional harus juga berlaku pada sepakbola futsal. Mereka ingin tetap diatas Indonesia.
Timnas Malaysia merupakan pesaing klasik timnas kita. Kedua negara punya gengsi  pribadi tidak mau dikalahkan. Gengsi ini adalah harga diri yang seringkali bernuansa politis bagi kedua negara serumpun ini. Ada semboyan di kalangan publik sepakbola tanah air ; "Lebih baik kalah dengan negara lain, asalkan jangan dengan Malaysia". Kalah lawan Malaysia terasa lebih menyakitkan dibanding kalah lasan negara Asean lainnya.
Kompasianer Pebrianov mengulas perseteruan abadi sepakbola kedua negara dalam Sea Games 2017 di Malaysia. Saat itu terjadi insiden memalukan dan bikin 'kesal' publik Indonesia, yakni gambar bendera Merah Putih dipasang terbalik pada buku panduan acara pembukaan Sea Games. Imbasnya, suhu persaingan di cabang sepakbola makin memanas.Â
Timnas kedua negara itu kemudian bertemu di semifinal. Laga itu dapat antusiasme sangat dari besar publik kedua negara. Laga itu tak lagi semata menentukan manusia unggul olahraga--sesuai spirit olahraga--melainkan sudah menjadi "barometer" harga diri bangsa. Indonesia ingin "menghajar" Malaysia dengan cara menaklukkannya di lapangan hijau. Sementara bagi Malaysia, mengalahkan Indonesia punya alasan terndiri yang tak kalah gengsinya. Bahan bakar politis jadi realitas persaingan Timnas Indonesia vs Malaysia. Realitas ini harusnya diambil sisi positifnya, yakni terbangunnya semangat bertanding yang tinggi, bertenaga, indah, sehingga memuaskan kedua publik pendukung kesebelasan. Sejatinya pertandingan merupakan sebuah prosesi "sakral" menuju keagungan dunia olahraga, yakni Sportifitas dan Prestasi.
Sejumlah point dalam ulasan para Kompasianer tersebut merupakan realitas permasalahan  Timnas kita serta keberadaannya (eksitensi Timnas) di lingkup Asean. Harus diakui bahwa untuk saat ini 'kosmologi' Timnas kita masih berkutat di lingkup Asean. Hal tersebut jadi PR besar Timnas beserta segala komponen yang menyertainya (pengurus, stake holder, media, publik dan lain-lain) untuk diselesaikan kalau mau menatap trophy tingkat Asia dan Dunia.
Timnas Indonesia jangan lagi terjepit mental bertanding dan tersandera euporia publik sepakbola di tanah air. Di sisi lain, publik pecinta Timnas harus tetap berharap lenggang Timnas kita kelak bisa lebih lincah, menawan dan penuh percaya diri menjemput trophy kejuaraan internasional sepakbola dimanapun di seluruh dunia. Semoga.
-----
Peb20/01/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H