Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Lenggang Timnas Indonesia Terjepit Mental Bertanding dan Tersandera Euforia Publik

20 Januari 2018   10:12 Diperbarui: 20 Januari 2018   11:49 1419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : Indosport

Kedua, Attitude kurang produktif, yang terkait seringnya memainkan bola antar sesama pemain (possession play) yang membuang waktu tanpa tujuan jelas. Ketika mendadak dikejar lawan justru pemain timnas panik sehingga bola direbut lawan.

Ketiga, kerjasam tim yang belum kompak. Pemain sering bermain secara individu, padahal pemain lain siap menyambut umpan atau sebaliknya pemain lain tidak pandai mencari posisi. Kelambatan menghantar umpan menyebabkan hilangnya momentum dan peluang.

Keempat, minimnya skema penyerangan. Tidak terpenuhinya permainan kolektif dan kreativitas membuat sulitnya pemain Timnas membuat penyelesaian akhir.

Kelima, kurikulum pembinaan. Seringnya kesalahan dasar yang dilakukan para pemain Timnas yang notabene memiliki skill individu bagus disebabkan masalah kurikulum pembinaan yang tidak optimal. Mereka menjadi individu pemain tanpa visi bermain yang luas dan tajam, kurangnya keberanian mengolah permainan dan kecerobohan saat dalam tekanan.

sumber gambar : http://cdn2.tstatic.net
sumber gambar : http://cdn2.tstatic.net
Terkait pilihan lawan dalam laga ujicoba Timnas kita, publik dan media massa ramai mempersoalkan pengurus PSSI yang seolah tidak serius memilih negara lawan tanding. Terlebih, laga tersebut pointnya dihitung FIFA untuk menentukan peringkat dunia. Kompasianer Supartono JW membuat sudut padang menarik dan jarang dipikirkan publik sepakbola kita. Dia melihat adanya kesadaran pengurus PSSI bahwa Timnas belum layak diandalkan merengkuh prestasi. Oleh karena itu kita tidak perlu sombong menghadirkan tim kelas dunia untuk meladeni Timnas Indonesia, dan cukuplah dihadapkan dengan tim-tim gurem. Dikatakannya bahwa kerinduan publik akan prestasi Timnas dan ekspetasi yang besar seringkali hanya berdasarkan fakta terlihat di lapangan, namun tidak memahami fakta yang terjadi di balik layar. Inilah yang diduga jadi dasar pemikiran pengurus PSSI dalam memilih lawan ujicoba Timnas kita.

Melihat timnas tidak lengkap bila tanpa menyertakan pesaing abadi di level Asean, yakni timnas Malaysia dan Thailand. Ini terjadi di semua level kejuaraan berdasarkan umur. Sudah menjadi pengetahuan umum publik sepakbola bahwa Thailand adalah momok Timnas kita. Thailand adalah tim yang tangguh. Secara statistik, Thailand lebih banyak meraih kemenangan saat melawan Timnas kita.

Kompasianer Dejan Gilang menuliskan "Thailand selalu ingin berada diatas kita". Dalam tulisannya dia mengulas kejuaraan futsal Asia U20 dimana Thailand ngotot tidak mau kalah dengan Timnas Indonesia. Kejuaraan itu jadi pintu gerbang menuju kejuaraan dunia sepakbola futsal. Bagi Thailand, kedigdayaan mereka di sepakbola konvensional harus juga berlaku pada sepakbola futsal. Mereka ingin tetap diatas Indonesia.

Timnas Malaysia merupakan pesaing klasik timnas kita. Kedua negara punya gengsi  pribadi tidak mau dikalahkan. Gengsi ini adalah harga diri yang seringkali bernuansa politis bagi kedua negara serumpun ini. Ada semboyan di kalangan publik sepakbola tanah air ; "Lebih baik kalah dengan negara lain, asalkan jangan dengan Malaysia". Kalah lawan Malaysia terasa lebih menyakitkan dibanding kalah lasan negara Asean lainnya.

Kompasianer Pebrianov mengulas perseteruan abadi sepakbola kedua negara dalam Sea Games 2017 di Malaysia. Saat itu terjadi insiden memalukan dan bikin 'kesal' publik Indonesia, yakni gambar bendera Merah Putih dipasang terbalik pada buku panduan acara pembukaan Sea Games. Imbasnya, suhu persaingan di cabang sepakbola makin memanas. 

Timnas kedua negara itu kemudian bertemu di semifinal. Laga itu dapat antusiasme sangat dari besar publik kedua negara. Laga itu tak lagi semata menentukan manusia unggul olahraga--sesuai spirit olahraga--melainkan sudah menjadi "barometer" harga diri bangsa. Indonesia ingin "menghajar" Malaysia dengan cara menaklukkannya di lapangan hijau. Sementara bagi Malaysia, mengalahkan Indonesia punya alasan terndiri yang tak kalah gengsinya. Bahan bakar politis jadi realitas persaingan Timnas Indonesia vs Malaysia. Realitas ini harusnya diambil sisi positifnya, yakni terbangunnya semangat bertanding yang tinggi, bertenaga, indah, sehingga memuaskan kedua publik pendukung kesebelasan. Sejatinya pertandingan merupakan sebuah prosesi "sakral" menuju keagungan dunia olahraga, yakni Sportifitas dan Prestasi.

Sejumlah point dalam ulasan para Kompasianer tersebut merupakan realitas permasalahan  Timnas kita serta keberadaannya (eksitensi Timnas) di lingkup Asean. Harus diakui bahwa untuk saat ini 'kosmologi' Timnas kita masih berkutat di lingkup Asean. Hal tersebut jadi PR besar Timnas beserta segala komponen yang menyertainya (pengurus, stake holder, media, publik dan lain-lain) untuk diselesaikan kalau mau menatap trophy tingkat Asia dan Dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun