Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen | Mata Tangan

25 November 2017   13:24 Diperbarui: 25 November 2017   18:18 1781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: tub.tubgit.com

Seorang perempuan tua tiba-tiba datang mendekat. Satu tangannya menengadah. Kukira dia akan meminta-minta, ternyata tidak. Dia ingin memberi sesuatu.

Aku terdiam. Kutatap sosok perempuan tua itu. Terlihat banyak bintang kecil menyelimutinya.

"Maaf, Ibu ini siapa? Datang dari mana?" tanyaku

Dia tersenyum

"Saya Ibu Aksara, berasal dari kampung kata yang kemarin  telah hancur, nak"

"Hancur? Kenapa, Bu?"

"Disana setiap orang berlomba-lomba mendirikan istana kebesaran nama mereka sendiri, tapi mereka tak mengindahkan beragam tabu para sesepuh kampung kata, hingga petaka  bandang  mengubur kampung itu. Ibu bisa selamat karena berumah di dataran nurani dan logika yang teduh. Tanahnya banyak akar kuat". 

Mendengar hal itu aku kembali terdiam, sementara tangan perempuan tua itu masih menengadah.

Tiba-tiba seperti ada kekuatan besar menyuruhku segera menerima pemberiannya, walau aku diliputi ragu. 

"Kalau dua mata ini untukku, bagaimana ibu bisa melihat?"

Dia tersenyum

"Saya melihat dengan hati, nak"

"Lalu apa arti mata ini untukku?"

Masih dengan senyumnya dia menjawab, 

"Untukmu menulis. Ibu lihat tanganmu tak memiliki mata".

Kemudian dia memasangkan kedua mata itu di tanganku. Saat aku mematut-matutkan kedua tanganku di depan kaca jendela, tanpa kusadari ibu tua itu pergi. Kucari dia disekitar teras rumah, namun jangankan sosoknya, jejaknya pun tak ada. 

Aku terus mencari ibu tua itu sampai ke luar rumah, tapi sia-sia. Tak ada seorang pun di sekitar situ melihatnya pergi.

Kini kedua tanganku tersemat dua mata. Sejak terpasang, semua huruf saat dicurahkan benak tak luput dari tatapan selidik. Dibuatnya mereka patuh pada nurani. Tiap huruf dipilih dan diletakkan hati-hati pada simpul kebenaran dan diaturnya sesuai makna. Dia tak mau kata-kata itu menjadi budak kebohongan yang banyak menawarkan kenikmatan duniawi.

Secara diam-diam aku sering bicara dengan mata tangan. Kami selalu bertemu di ruang benak, atau saat aku berpeluh menyusun kata. Dari situ kami sepakat setiap tulisanku juga harus bisa dibaca orang lain dengan telinga.

---- 

Peb/Nov2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun